Surat Kesembilan

1.3K 140 32
                                    

Halo, aku pengen berbagi pengalamanku. Kuharap bisa membuat teman-teman yang membacanya mau membuka pikiran kalian pada kaum queer atau LGBTQ+ sepertiku.

Secara pribadi aku enggak pernah menanggap kalau yang namanya gay atau lesbian itu sesuatu yang salah. Di sini aku enggak akan membahas soal agama atau moral, hanya pendapat pribadi yang bersifat subjektif.

Aku udah enggak muda lagi dan udah pernah menjalin hubungan serius dengan cowok maupun cewek. Dan sekalipun, aku enggak pernah merasakan adanya perbedaan sama sekali.

Sebelumnya aku pernah berpacaran dengan seorang cowok selama 8 tahun dan putus setelah dia menghamili temanku. Mereka akhirnya menikah, memutuskan persahabatan kami selama bertahun-tahun karena sesuatu yang mereka sebut kekhilafan.

Setelah itu aku pacaran dengan seorang cewek selama 5 tahun dengan pertimbangan hubungan jangka panjang. Ini benar-benar berat untuk dijalani. Teman dan keluarga enggak setuju, selain itu dia kerja di luar negeri. Jadi kami benar-benar harus berkorban waktu dan biaya besar hanya untuk bertemu 2-3 kali dalam setahun.

Meskipun begitu aku enggak merasa mengambil pilihan yang salah. Karena perasaan kami tulus apa adanya, bukan karena trauma atau rasa penasaran.

Aku enggak bego, enggak bakal mau bertahan selama itu hanya karena alasan konyol kayak trauma atau rasa penasaran seperti yang dikatakan orang-orang di sekitar kami.

Aku bisa bilang begini karena aku tidur dengan mereka, mantan pacar cowok yang pertama dan mantan cewek yang kedua ini. Nggak ada perasaan jijik, tak nyaman atau takut.

Padahal aku sendiri sempat menjalani perawatan untuk PTSD selama hampir dua tahun karena mengalami pemerkosaan sebelum bertemu dengan pacar pertamaku.

Jadi kesimpulanku adalah ketertarikan pada cowok atau cewek enggak ada kaitannya dengan rasa trauma. That's just my own feelings. Kebetulan aja orang yang aku sukai itu dia. Bukan karena dia cowok atau cewek.

Aku bilang begini karena banyak yang salah mengartikan perasaanku sebagai pelampiasan rasa trauma terhadap cowok. Hanya karena aku mengalami pengalaman pahit, disakiti dan dikhianati.

Tentu saja itu enggak benar. Aku bukan anak kecil yang gampang terpengaruh hal-hal remeh seperti itu.

Mau pacaran sama cowok atau cewek. Rasa sakit itu ada, pertengkaran pasti, disakiti sudah biasa.

Yang membedakan hanyalah kamu pacaran dengan dia atas keinginan kamu sendiri atau karena tekanan orang lain?

Aku memilih mereka dan jatuh cinta karena pilihan hatiku sendiri. Jadi bila aku terluka dan hubungan kami gagal. Satu-satunya yang akan aku salahkan adalah pilihan dan kebodohanku yang memutuskan untuk percaya dan bertahan. Bukan mereka.

Yes! Aku akhirnya putus dengan pacar cewek ini setelah mendekati tahun keenam. Alasannya benar-benar rumit, melibatkan banyak orang dan masalah berkepanjangan hingga aku akhirnya berpikir aku sudah enggak sanggup.

Tapi aku bisa bilang tak ada penyesalan atau rasa benci yang tersisa. Mungkin karena kami nggak jodoh aja, sama kayak pacar pertamaku.

Saat ini aku enggak berhubungan dengan siapa pun dan mulai mempertimbangkan masa depan tanpa pernikahan.

Pikiran itu hanya sesaat mungkin, atau bertahan selamanya. Masa depan siapa yang tahu?

Kalau nanti aku bertemu dengan seseorang yang bisa membuatku berubah pikiran, baik itu cowok atau cewek kupikir aku bakal mencoba lagi.

Kemudian, aku ingin menyinggung soal stigma yang melekat erat di antara kaum LGBTQ+. Di mana banyak sekali orang yang mengaitkan hubungan sesama jenis dengan seks bebas atau sebutan lainnya hubungan yang didasari oleh nafsu semata.

Kita ambil contoh yang dekat saja, di mana di Wattpad ini dipenuhi oleh cerita-cerita LBGTQ dengan tema yang negatif. Isi cerita yang melecehkan dan dipenuhi oleh kegiatan ranjang sebagai bahan baku.

Kenyataan, dalam hubungan sebenarnya tidaklah seperti itu. Mau kamu hetero atau penyuka sesama jenis, sama aja. Tetap ada hubungan seks bagi kebanyakan pasangan, kecuali kamu dan pasanganmu menganut prinsip sex after marriage.

Aku sebagai bagian dari kelompok minoritas ini, jujur saja merasa sedih melihat begitu banyaknya pandangan seperti itu hanya karena kebanyakan orang tidak tahu kebenaran yang sebenarnya.

Mereka membaca novel yang dibuat oleh orang-orang yang hanya mengandalkan imajinasi mereka tanpa memiliki pengalaman pribadi sebagai pasangan sesama jenis. Kemudian percaya kalau apa yang mereka baca di novel itu sama dengan apa yang sesungguhnya terjadi di dunia nyata. Inilah yang menjadi akar kesalahpahaman dan stigma buruk itu tumbuh dengan subur.

Kuharap setelah membaca ini, ada yang hatinya terbuka dan mau mencoba mengenal lebih dulu kenalan, teman atau mungkin keluarga yang senasib denganku sebelumnya mulai menghakimi mereka secara sepihak.

Pandang seseorang dari tindakannya, seperti apa dia memperlakukanmu. Bukan dari siapa dia jatuh cinta.

Sampai di sini dulu curhatku.

Terima kasih buat Tim LGBTINA yang menyediakan wadah untuk berbagi.

Semoga kita semua bisa belajar saling menghargai. (◕ᴗ◕✿)

Kotak Surat LGBTQIAP+ IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang