2.00

995 106 39
                                    

Tanpa ditemani orang tua pun kerabat, cewek itu berjalan penuh keangkuhan di antara lautan manusia yang ikut berjalan beriringan dengannya di kawasan bandar udara internasional yang berada di New York City. Gayanya tidak cukup menarik perhatian meski rambutnya membentuk dua ikatan cepol kecil di kanan dan kiri, juga kacamata hitam berbingkai merah maroon yang bertengger di hidungnya, pun hanya memakai tank top berwarna krem dan skinny jeans biru.

Lagaknya memang sudah seperti orang muda yang hendak liburan musim panas atau travelling menghamburkan uang.

Tapi, yah, emang dia mau liburan sih... (mungkin kalau memang pantas disebut liburan, tapi yah anggap saja demikian)

Orang-orang tidak peduli sih, berbeda dengan seorang cowok yang mengikuti selangkah di belakangnya dengan gemas. Musim semi di sini memang tidak masih sedingin negara anu, tapi kan tetap saja ini belum musim panas.... tapi kan di dalam pesawat....

Gemas sekali, cowok itu pun membuka cardigannya sendiri dan melemparkannya langsung hingga bertengger di kepala sang cewek—membuatnya berhenti berjalan dan menoleh.

"Daniel—what the fuck?"

"Kalau lo gak salah inget, pesawat itu punya fasilitas Air Conditioner, so your clothes maybe useless and—"

"So, you are still tryin' to babysitting me?"

"Gak, cuman jaga-ja—"

"Speak English, Mr. Choi. We are still in American."

"No, you ARE still in American. Suka-suka gue juga mau pakai bahasa apa pun selama lo masih ngerti bahasa pribumi." balas cowok bernama Daniel itu gak mau kalah, tapi kemudian dia sadar kalau bukan itu inti percakapan yang harus dia singgung. Harusnya dia memberi WEJENGAN pada cewek ini karena terlalu NEKAT.

Ingat, catat, dan perhatikan; NEKAT bukan bodoh. Meski pun tindakannya sekarang bisa menjerumus ke bodoh, tapi tetap saja—oke lupakan.

"Lo di sana beneran mau tinggal di temen lo yang cowok itu? Si Dewi-Dewi—"

"I thought you're fluent with Korean, it's 'Daehwi' not Dewi, stupid."

"That's not the point, masalahnya dia itu COWOK." pekik Daniel tertahan dan memberikan penekanan pada kata capslock.

Cewek itu sampai berhenti berjalan dan menoleh, menatap Daniel sambil menurunkan kacamatanya. "Terus?"

"Lo bakal tinggal sama COWOK di Korea?!" sumpah, Daniel gemas setengah mati.

"Kan lo sendiri yang bilang kalau gue gak mungkin tinggal dalam jangka waktu yang lama di hotel atau tempat tinggal resmi atas nama gue sebagai penyewa kalau gak mau ketahuan nyokap."

"But still, you will—"

Sekarang dia berputar menghadap sepenuhnya pada Daniel. "Pertama, gue udah bilang sebelumnya kalau gue gak punya banyak temen di Korea, cuman Daehwi. Itu pun kenal lewat medsos dan cuman Daehwi satu-satunya yang tahu dia karena kebetulan pernah se-SMP yang sama, makanya—"

JUSTRU KARENA KENALNYA LEWAT MEDSOS MAKANYA GUE GAK TENANG HWANG LUCY, ASDFGHJKL. Jerit Daniel dalam hati. Tidak berani mengungkapkan kecuali siap menerima hantaman koper ke wajahnya yang—menurutnya—ganteng paripurna.

"—Daehwi cukup bisa dipercaya meski pun dia cowok. Lagian gue lihat di medsosnya juga kelihatan kayak anak baik-baik. Dan kita udah berhubungan selama 2 tahun."

JUSTRU MALAH KELIHATAN MENCURIGAKAN. GIMANA KALAU DIA TIBA-TIBA BERULAH? KENAPA LU GAK KEPIKIRAN GITU? TAPI KENAPA GUE BISA NAKSIR SAMA CEWEK BODOH MACEM ELU SIH?

Daniel masih menutup mulutnya rapat-rapat.

"Dan kedua, lagian jelas gak mungkin gue tiba-tiba ikut numpang tinggal di tempatnya. Dia jelas bakal merasa gak nyaman, padahal kan selama ini dia emang sengaja menghindari kita dan gue malah mau tinggal di tempatnya gitu? Masuk akal?"

LEBIH JAUH MASUK AKAL KALAU LO TINGGAL SAMA DIA KETIMBANG SAMA SI DAEHWI ITU.

"Ketiga, terakhir mungkin karena, argh, males gue ngejelasin lagi sama elu—tapi sebelumnya, bisa gak sih ekspresi lu ganti dulu dari judging me so hard?"

Daniel mengalihkan wajah, masih bisu.

Tapi kemudian Lucy hanya menghela napas sebelum kembali berbicara.

"Terakhir, gue kangen sama dia. Dan... siapa tahu dengan kedatangan gue ke sana dia bakal tergerak buat ikut gue ke Amerika."

Meski jelas juga, itu gak mungkin... sambung Lucy dalam hati.

Mereka berdua saling berhadapan dalam diam. Lucy tahu kalau Daniel punya 101 kalimat berbentuk omelan yang siap dicercakan, tapi cowok itu tetap diam sampai lima menit lewat.

"Fine, good luck then." Daniel melengos, mengalah.

"And—?"

"And..." Daniel memberi jeda enam sekon sebelum menambahkan, kali ini dia menatap tepat di mata sang lawan bicara. "...if you're comeback with your twins, be my girlfriend then."

"I'm what—?" Lucy hampir tersedak, tapi dia tidak bisa kabur kalau Daniel menatapnya penuh keseriusan. "Daniel, we are friends. I don't like your jokes."

"The answer is just 'yes' or 'yes'."

"Twice?"

Daniel memutar bola matanya seraya mendengus. "Don't comeback to American then, stay there with your twins and live happily ever after." katanya sambil melambaikan tangan dan berjalan melewati Lucy. Inginnya sih dia berbalik pergi meninggalkan cewek itu, biar drama, tapi dia sudah janji menemani Lucy sampai betul-betul berangkat.

Lucy berbalik namun tak kunjung menyusul Daniel, malah mencibir. "Such a childish and stupid boy—spasi—friends."























ha ha ha ha ha


Direction ╏ HyunMin (DICONTINUED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang