"Ais, sayang kamu sudah besar nak"
Wanita yang kuinginkan menjadi Umiku waktu dahulu, kini kami di pertemuankan kembali.
Saat aku usia tujuh tahun aku masuk kedalam pesantren, dan pertempuranku dengan seorang wanita yang berprofesi sebagai dokter kandungan, yang juga santriwati di pesantren, membuatku terobsesi sepertinya, yaitu menjadi seorang dokter.
Selain itu Abi dan almarhum Umi juga berprofesi sebagai dokter di salah satu rumah sakit.
Tetapi kami berpisah dan tak mengetahui kabar masing-masing saat beliau sudah kembali ke Jakarta, dan aku pun sudah melupakan impianku yang menjadikan beliau menjadi pengganti Umi.
Pasalnya di pesantren waktu itu beliau lebih memilih menikah dengan ayah seorang anak laki-laki yang usianya dibawah ku beberapa tahun, dan akupun kalah dari pertarungan merebut Umi impian.
"Alhamdulillah, Ais sudah menanti bertemu Umi sejak baca nama Umi sebagai konsulen Ais"
Aku yang kini sebagai dokter Koas, di salah satu rumah sakit di Jakarta tak menyangka akan mengantarkan ku pada pertemuan yang membahagiakan ini.
"Gimana kabar Abi sama eyang, sehat?"
Dokter Sachi atau yang lebih akrab kupanggil Umi sejak dahulu, dengan wajah yang awet ayu, tak berubah sedikitpun meski kini umur sudah banyak bertambah.
Teman nyantriku, yang suka membelikanku jajanan, mentraktirku dan juga para santriwati yang lainya, kini benar-benar menajdi lebih anggun dengan gamis dan jas putihnya.
Tak salah jika aku selalu menjadikanya panutan, tetapi pertandingan kini membuatku kembali mengingat masa sedihku.
Aku wanita yang saat bayi sudah di tinggalkan untuk selamanya oleh Umi, dan aku di rawat oleh eyang uti dati Umiku juga di besarkan hanya dengan Abi seorang.
Hingga di usiaku masuk SMP, eyang meninggal dunia, dan yang waktu itu aku masih di pesantren harus terpaksa pulang karena tak mungkin meninggalkan Abi sendiri dirumah tanpa ada yang menemani.
Abi tak ingin menikah lagi, cukup almarhum Umi yang menyandang status menjadi istri Abi.
Hingga aku lulus SMA dan diterima disalah satu universitas negeri di Jakarta, Abi meninggalkan aku juga untuk selamanya, kini aku sudah menjadi anak yatim piatu yang berjuang sendiri untuk masa depanku.
Beruntungnya selama aku kuliah, aku mendapatkan banyak beasiswa mulai dari prestasi hingga beasiswa bagi penghafal Al-Qur'an, ya, aku seorang Hafizah seperti yang diharapkan kedua orangtuaku.
Selain itu harta, yang di tinggalkan oleh Abi sangat cukup untuk kehidupan kedepan sampai nanti aku bisa menghasilkan pendapatan sendiri.
Aku sebenarnya masih memiliki Tante, adik perempuan dari Abi yang juga seorang dokter hanya saja, kami yang dahulu sangat dekat kini menjadi sedikit tak akrab karena perbedaan gaya hidup kami.
Tante Karin yang sebenarnya wanita yang baik, selalu berusaha memberiku perhatian, sesekali memintaku menginap dirumahnya.
Yang dari ceritanya dahulu beliau kuliah dengan biaya Abi, jadi setidaknya beliau ingin menebus itu semua untuk meraawatku.
Tetapi aku yang merasa tak nyaman saat tinggal dengan beliau, karena selain kami yang jarang bertamu dan perbedaan prinsip, adalagi yaitu sang putri yang tak bersahabat denganku, memandangku seolah aku tak pantas bersanding denganya.
Beda dengan sang ayah dan ibu yang sederhana, sang putri pertamanya yang kini baru saja masuk kuliah di universitas di Jerman tak pernah mau sekalipun menyapaku saat kami berjumpa, meskipun aku yang lebih dulu menyapanya.
Umi Aci, memeluku erat setelah kuceritakan jika eyang dan Abi sudah meninggal dunia.
Setelah lama kami bercerita, menanyakan kabar dari semuanya, bertukar nomor telepon kami harus berpisah karena, umi Sachi harus kembali bekerja begitu pun denganku.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
I am Aisha
RomanceBukan wanita sholehah seperti isteri Nabi, Aku hanya Aisyah, wanita yang masih jauh dari kata sempurna.