Bab 25

7.8K 628 70
                                    

Makanan tanpa ada bumbu tak sedap rasanya, seperti juga dengan rumah tangga yang mana di dalam perjalanan nya ada bumbu masalah yang melengkapi kemesraan kami selama ini.

Saling ngambek, saling mendiamkan mungkin itu adalah bumbu penyedap selama ini, tetapi kali ini adalah bumbu rahasia dalam rumah tangga yang tak semua orang mengalami nya.

Di saat bulan-bulan pertama memang terisi akan pacaran halal yang berisi bumbu manis, kemudian ditambah semakin manis ketika Aisyah di nyatakan hamil buah hatiku, dan berjalan nya waktu dalam bulan selanjutnya mungkin bumbu asin hingga asam terjadi mulai dari kita yang mulai mengetahui kebiasaan masing-masing, di tambah hormon orang hamil yang tak menentu sehingga membuat kami kadang kala berselisih paham, dan di hampir ulang tahun pernikahan kami, dimana kandungan Ais yang memang sudah masuk trimester ketiga, dan Ais yang capek setelah perjalanan jauh berlibur bersamaku, membuat dirinya harus melahirkan buah hati kami sebelum waktunya.

Seharusnya ini adalah sebuah permen untuk kami, manis yang membahagiakan tetapi ini menjadi sebuah kepahitan dalam hidupku.

Masalah sama dengan sang ibu, seperti yang di ceritakan oleh tante Karin, jika umi mertuaku meninggal di saat melahirkan Ais karena perdarahan, meskipun itu tak berlangsung di saat melahirkan, ternyata dalam masa nifas itu seorang wanita masih begitu rentang akan banyak bahaya yang harus kita berhati-hati.

Perdarahan hebat setelah melahirkan di kembar, iya aku memiliki dua anak kembar laki-laki dan itu pula yang membuat Ais harus tak sadarkan diri hingga kini di hari kedua minggu setelah melahirkan.

Bunda mungkin sudah tahu akan apa yang terjadi, sehingga beliau yang baru saja keluar dari ruang ICU untuk melihat kondisi Ais tiba-tiba menangis dalam pelukan ayah yang kini duduk di sampingku.

Kemudian bunda mengajak ayah untuk menuju ruang bayiku, dan aku yang sedari tadi ikut tak harus berbuat apa, akhirnya mengikuti bund menuju ruang bayi.

Satu persatu bunda menggendong bergantian kedua cucunya, menangis dalam diam, mengecupi pipi bayi-bayi mungil ku, kemudian membisikkan kata yang tak jelas kudengar.

Hampir satu jam kami di ruang bayi, kemudian bunda meminta ayah untuk menghubungi semua kerabat kami semua, di kumpulkan kami semua di ruangan khusus dokter di ruang ICU.

"Bang"

Bunda memeluk ku dengan tangisannya yang sedari tadi tak mau berbicara ada apa, aku memang sudah merasa ada sesuatu yang tak baik terjadi, akan tetapi melihat Aisyah yang aku pun tak mengerti tentang hal kesehatan ini sehingga hanya bisa memasrahkan semua kepada Tuhan dan para tenaga medis.

Tante Karin sudah tiba, kini ada aku yang berada di samping bunda, dan menghadap kearah bunda langsung.

"Bang, Aisyah sudah lama tak sadar pastinya abang tahu apa yang di maksud bunda"

Aku menggeleng karena memang diriku tak mengerti apa yang di maksud bunda, karena semenjak dua minggu lalu otaku sudah tak berjalan dengan benar dalam berpikir.

"Kasihan Ais kalau harus kita paksa bertahan, kalau alat bantu itu kita lepas bagaimana?"

Seketika aku seakan tersengat aliran listrik, tersadar akan apa yang terjadi, otak ku berputar, mengatakan jika alat-alat itu terlepas berarti aku harus mengikhlaskan Aisyah pergi untuk selamanya, meninggalkan diriku serta anak-anak kami.

"Bunda enggak, jangan bun"

"Ci"

Eyang kakung yang sedari tadi hanya diam menenangkan eyang uti, kini memanggil bunda untuk mengajak beliau keluar dari ruangan, dan aku tak tahu kemana mereka pergi karena kini aku tak lagi bisa tenang menguasai emosiku yang menangis, dan tak lagi kupikirkan di lihat oleh siapa saja disini.

I am Aisha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang