Bab 22

6.3K 593 33
                                    

Hari berganti minggu dan minggu berganti menjadi bulan, disaat kondisi tubuh sudah tak lagi mual muntah, nafsu makan mulai membaik, bahkan berat badan pun meningkat, dengan adanya dua janin dalam kandungan ku, membuat porsi makanku pun juga dua kali lipat dari sebelum hamil.

Ketika hari libur nasional, dan aku pun mendapatkan jadwal untuk libur, bersama keluarga besar dari suamiku, kami semua pergi ke Jawa Timur, pertama kalinya ada kota Jombang sebagai tujuan kami, berziarah ke makan eyang buyut Saka, orang tua dari eyang Erix, kemudian berlanjut berziarah ke makam kedua orangtuaku serta nenek dan kakek ku.

Kembali rasa rindu yang telah lama kupendam itu bangkit, menangis dan mengaminkan doa yang di pimpin ayah Satria, dan akhirnya rasa lega, plong di dalam dada terasa.

Rindu akan kedua orangtuaku telah terobati, meskipun sudah sekian tahun di tinggalkan beliau, dan kini akupun telah berkeluarga, berkumpul bersama orang-orang yang menyayangi ku tetapi rasa kasih sayang dari keluarga kandung itu tetap selalu kita rindukan.

"Sayang ayok"

Satria membantu ku berdiri dari duduk bersila di tanah karena perut yang mulai membesar membuat ku sedikit kesulitan bangkit dari duduk.

Kemudian bunda Aci berganti yang menggandeng ku menuju mobil yang terparkir, dan bisikan beliau di telinga ku membuat ku menjadi terkekeh.

"Mampir ke tempat mantan fans nya bunda dulu ya"

Yang di maksud bunda adalah pesantren yang dimana, aku dan bunda pertama kali bertemu dan saling mengenal, hingga di pesantren itu pula pertama kalinya aku bertemu dengan suamiku Saka, di masa kecil kami.

Tak begitu jauh jarak antara makam umum tempat orang tua ku di semayamkan, untuk menuju pesantren, cukup sepuluh menit kami telah tiba di pelataran parkir mobil depan masjid pesantren yang mana dahulu adalah tempat akad nikah kedua mertuaku.

"Tempat bersejarah nya ayah sama bunda nih"

Selorohan Saka membuat kami semua tertawa, bahkan ayah sudah menjual kepala putra sulungnya.

"Masjid nya sudah berubah ya, tambah bagus dan besar"

Eyang Ara sudah berjalan bersama si kembar, adik ipar ku untuk melihat bangunan masjid yang memang sekarang terlihat lebih modern dan megah.

"Eh, eh malah nongkrong di Masjid, kita menyapa pak kyai dulu"

Teguran eyang Erix pada kami semua yang kini duduk pada tangga teras masjid, hingga kami semua akhirnya bangkit mengikuti eyang dan ayah yang sudah berjalan terlebih dahulu.

"Kak Ais dulu mondoknya disini ya? Keren tempat nya"

Sheza si kembar yang nomor satu kini berada di samping ku menggandeng lenganku, dengan mata yang meneliti seluruh isi pesantren.

"Dulu kak Ais ketemu sama abang dimana?"

Dan sikembar Shezi pun ikut bersuara yang kini berjalan di belakang ku bersama si bungsu Samuel.

"Baku hantam ya dulu kakak sama Abang"

Benar-benar membuat ku terhibur, hanya saja aku terlahir sebagai anak tunggal, sehingga baru kali inilah aku merasakan bahagianya memiliki adik yang begitu peduli satu sama lain kepada saudara.

"Kamu kira Samuel, yang suka baku hantam di sekolah"

Saka tak terima ketika si kembar mengatakan jika aku dan Saka baku hantam, karena kami hanya sekedar cekcok adu mulut, saling menghina ayah lawan kami, untuk merebutkan bunda Sachi.

"Cowok sejati itu tawuran Bang, bukan ganti-ganti pacar"

Seketika kami semua tertawa terbahak-bahak, mendengar jawaban pembelaan si bungsu Samuel, yang sering sekali bertengkar dengan temannya, hingga sampai-sampai bunda, ayah, Saka menjadi berlangganan berkunjung di ruang BP sekolahannya.

Dan untuk yang berganti-ganti pacar, sepertinya itu sindiran untuk Saka di masa sekolahnya, yang memang kata bunda dulu suka ada cewek-cewek centil yang suka main kerumah membawa buah tangan yang sekedar makanan, buah atau jajanan oleh-oleh, dan wanita-wanita itu semua sebenarnya bukanlah pacar Saka hanya saja korban PHP nya.

"Sam jangan memancing, ikan nya ini piranha"

Aku tahu maksud bercandaan Saka, dan aku pun tak marah lebih terhibur karena kehangatan keluarga bisa kurasakan bersama mereka semua.

Pengurus pesantren yang sudah berganti, dan salah satunya adalah teman pesantren bunda, yang kini menjadi menantu dari pemilik pesantren, sehingga kedatangan kami semua terjamu begitu mewah.

Membahas masa-masa bunda mondok disini, hingga menceritakan masa kecil hingga remaja ku selama disini, cukup mengenang masa-masa perjuangan yang penuh kasih sayang bersama teman-teman seperjuangan.

Tinggal di pesantren itu menyenangkan, banyak hal baru yang akan di dapatkan, misal mengantri mandi, hingga gayung yang pecah dan akhirnya menggunakan kaleng bekas biskuit untuk kujadikan gayung.

Dan masa kenakalan anak pesantren yang bolos mengaji lebih bersembunyi karena alasan ngantuk atau keluar pesantren diam-diam, itu semua merupakan sebuah pengalaman yang tak terlupakan.

Dua jam kami bertamu dan si kembar bersama Samuel juga telah kembali dari berkeliling pesantren dengan di temani pengurus pesantren.

Berpamitan dengan keluarga besar yang telah membesarkan ku serta mengurus dan mendidik ku sejak kecil, setelah nya kami sekeluarga melanjutkan perjalanan menuju kota Kediri, kampung halaman eyang Ara, yang kata beliau ingin menghabiskan masa tua beliau di kota itu nantinya.

"Sayang kenapa?"

Bunda yang duduk di bangku depan di samping ayah menoleh ketempat ku duduk di samping Saka, yang kini tidur pulas dan tanganya memeluk tubuhku.

"Enggak Bun, cuma nyeri punggung"

Jawabanku membuat bunda menggeplak sang putra dengan kotak tisu.

"Bang, bangun"

Terkejut karena ulah tangan sang bunda, dan seketika membuka mata dengan kebingungan.

"Ais punggungnya sakit itu, kecapekan dia, suruh rebahan"

"Yang kenapa?"

Saka yang begitu perhatian padaku, sering mencemaskan diriku secara berlebihan membuat ku tak tega untuk sekedar mengeluh akan keadaan ku padanya.

"Cuma pegal aja"

Dengan cekatan memberikan bantal pada punggung ku untuk aku bersandar, dan menaikkan kakiku keatas pangkuan nya, memijat kakiku begitu lembut.

Beruntungnya di dalam mobil ini hanya ada kami berempat, karena yang lainya berada di mobil satunya, Saka bisa habis di sorakin bucin oleh para adik-adiknya.

"Jadi suami itu yang tanggap bang, siaga apapun yang akan terjadi, misal isteri capek pijitin, isteri lapar tanyain pingin makan apa, dan kalau malam tanyain juga pingin enggak?, Soalnya wanita itu gengsi kalau mau minta duluan, tapi uring-uringan kalau enggak tersalurkan"

Panjang lebar perkataan ayah yang kukira ini sesuatu yang serius, ternyata mengandung percandaan untuk menggoda bunda, sehingga bunda yang berada di samping beliau dengan sigap mencubit lengan ayah.

"Jangan ngadi-ngadi ya"

"Loh kenapa bunda marah, kan ayah cuma kasih tahu Saka, ngerasa ya situ?"

Kutahan tawaku, tak mungkin aku menertawakan mertuaku dengan lebar, tetapi ini memang kenyataan, karena seorang wanita memang memiliki nafsu seksualitas yang sama dengan para pria, hanya saja kebanyakan wanita malu untuk memulai nya, merasa mempertaruhkan harga diri, padahal jika wanita menawarkan itu terlebih dahulu ada pahala tersendiri.

Soal bunda yang uring-uringan itu baru kudengar kali ini, dan kurasa itu benar dengan saat ini melihat bunda dan ayah yang saling mengejek tentang pembahasan yang ayah katakan.

"Kalau pingin ngomong ya, biar enggak uring-uringan"

Bisikan lembut di telinga ku membuat ku tersadar, dari melamun dengan pandangan kearah suamiku.

"Apaan sih"

Itu hal yang menggelikan kita bahas, padahal aku sudah sah menjadi isteri nya, bahkan kini aku mengandung buah hati suamiku, tak kubayangkan orang di luar sana yang bukan pasangan suami isteri bisa gamblang meminta melakukan hal sensitif ini.





Tbc

I am Aisha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang