Bab 6

6.2K 660 27
                                    

Kediaman Om Satria, suami dari Umi dan ayah dari Saka, yang terlihat begitu megah, rumah dengan dua lantai dengan taman dan kolam ikan yang mengelilingi rumah, terlihat segar.

Pagi tadi setelah sholat subuh, aku yang sibuk membereskan apartemen juga mencunci baju, tiba-tiba pintu di ketuk oleh Saka.

Semalam dia hanya bilang pagi mengajak kerumah orangtuanya, tetapi tak menjelaskan pukul berapa, jadi bukan salahku jika di pukul enam pagi dia datang sedangkan aku masih keadaan basah keringat, karena selesai mengepel dan menjemur baju.

Saka menunggu ku di lobby, saat ku minta waktu untuk bersiap-siap, lagi-lagi aku bersalah dimatanya saat satu jam aku baru turun menyusulnya.

Dan kini kami telah tiba di rumah kedua orangtuanya, di sambut hangat oleh kedua adik kembarnya dan sang bunda.

Sarapan bersama yang sedikit terlambat di hari sabtu, karena menunggu kedatangan kami berdua yang pukul delapan baru tiba dirumah Om Satria.

"Maaf ya mi, Ais telat"

Saat umi merangkul ku menuju meja makan yang kini semuanya telah duduk pada kursi masing-masing.

Sarapan pagi yang tenang, tanpa ada obrolan serius hanya terdengar suara umi yang menawarkan makanan dan kami jawab iya.

Sarapan pagi bersama telah selesai, kami semua masih tetap duduk pada kursi masing-masing, kini kami menikmati makanan penutup dengan obrolan santai.

Kusampaikan salam dari Bu nyai dan pak Kyai untuk Umi, hingga akhirnya obrolan mengalir ke masa lalu yang mana saat masa-masa di pesantren.

"Sudah kuduga, kalau putra pak Kyai dulu itu naksir bunda"

Suara om Satria, di sambut tawa dari kami semua karena terlihat jelas posesif nya seorang suami.

"Masjid nya masih seperti dulu atau sudah ganti Ais?"

Pertanyaan dari Om Satria kembali terdengar, membuatku mendongak menatap beliau.

"Letaknya sih masih om, tetapi sekarang lebih modern lagi masjidnya"

"Dulu kita nikahnya di masjid itu ya bund"

Kenang om Satria, yang juga kembali mengingatkan ku jika pernikahan beliau dahulu membuatku sedih, karena gagal menjadikan umi Sachi menjadi ibuku.

"Dulu Ais sedih waktu umi sama om nikah"

Ucapku yang kini dengan senyum malu-malu.

Sontak membuat beliau berdua terkekeh, mungkin saja menginggat masa-masa kecil ku.

"Iya kamu sama Saka bertengkar, sampai jatuh dari tangga"

Umi Sachi bercerita sambil tersenyum, kemudian obrolan kami berlanjut untuk mengenang masa-masa ku dan umi Sachi saat di pesantren dahulu.

Kunjungan pertama ku kerumah orangtua Saka benar-benar sekedar sarapan, tak ada bahasan tentang rencana pernikahan, padahal aku ingin membahas tentang Kikan, karena hatiku terasa mengganjal.

Hingga di pukul sebelas Saka mengajakku untuk pulang ke apartemen kami.

Dalam perjalanan tak ada percakapan apapun diantara kami, hingga kami tiba di apartemen.

Aku lebih dulu turun dan berjalan menuju lobi, duduk pada sofa menunggu Saka yang masih memarkirkan mobilnya.

"Nunggu gue?"

Tiba-tiba Saka berdiri di depanku, tentunya pertanyaan Saka kujawab anggukan.

"Cieh" lanjutnya menggodaku.

"Duduk dulu deh loe, ada yang mau gue bahas"

Berdua duduk pada sofa, berseberangan karena ada meja di antara sofa yang kami duduki.

"Gue sepertinya enggak bisa nikah sama loe"

"Maksud loe?"

Saka yang terkaget, seketika berdiri dari duduknya.

"Duduk deh, gue jelasin"

Raut wajah Saka sudah berubah merah, dengan ekspresi antara kaget, marah atau apa aku tak mengerti.

"Kikan suka sama loe"

"Gue enggak suka dia"

Jawab cepat Saka.

"Gue jelasin dulu, loe jangan potong-potong deh"

Aku ikut kesal juga dengan Saka yang memotong penjelasan ku.

"Gue sebatang kara Sak, Abi, Umi, eyang gue semua sudah enggak ada, kini tinggal tante Karin satu-satunya keluarga gue, dan tentunya anak-anak beliau"

Kutarik nafas ku perlahan, pandangan ku jauh menerawang masa lalu, menginggat wajah orangtuaku.

"Gue enggak mungkin nyakitin sepupu gue, apalagi keluarga tante Karin sudah baik sama gue selama ini"

Aku bersender pada sofa, air mata yang sedari tadi menumpuk di peluk mata kini sudah perlahan jatuh.

"Dan sekarang loe tega nyakitin gue, kecewain bunda gue yang ngarepin loe jadi anak beliau"

Pertanyaan Saka benar, dan semakin membuatku bingung, dan sedih. Aku pun demikian ingin sekali menjadi putri dari Umi Sachi.

"Kikan sepupu gue, dia gimana Sak"

Aku sudah menangis tergugu, menunduk menghadap lantai karena tak ingin terlihat orang-orang sekitar.

Saka memberikan sapu tangan miliknya.

"Sekali-kali egois, Allah enggak ngelarang"

Aku hanya bisa menggeleng dan meneruskan tangisanku.







Tbc

Pendek-pendek aja ya yang penting update nya rajin, lemes buat ngehalu otaknya

I am Aisha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang