Bab 13

7.3K 694 36
                                    

Malam ini seperti malam sebelum aku menikah, menikmati lebarnya kasur sendiri tanpa harus berbagi dengan seorang suami.

Setelah makan malam bersama eyang aku kembali masuk ke dalam kamar, karena memang rasanya badanku sudah sangat lelah.

Tinggal bersama eyang Ara serta eyang Erix sangat menyenangkan, meskipun beliau sudah menua tetapi jiwa dari keduanya begitu sangat muda.

Kadang kalanya melihat beliau yang saling perhatian, tingkah eyang Erix yang suka menggoda eyang Ara ketika berkebun membuat ku tersenyum, rasanya nanti aku ingin sekali menua seperti beliau, yang selalu romantis meskipun kini sudah tak lagi muda.

Masuk kedalam ponsel ku pesan dari Saka, yang memintaku untuk segera istirahat.

Badan yang terasa lelah, tak seperti biasanya yang bisa membuat ku dengan cepat memasuki dunia mimpi, tetapi kini hingga pukul sebelas malam mataku masih sangat sulit terpejam.

Kulangkahkan kaki menuju ruangan yang katanya dahulu adalah kamar milik ibu kandung Saka tetapi kini menjadi ruang kerja untuknya sedangkan kamar tidur yang kami tempati adalah kamar milik bunda.

Melalui pintu penghubung aku memasuki ruangan yang tiga hari kami tinggal disini belum sama sekali ku masuki.

Tak banyak foto di ruangan ini tak seperti ruangan lainya, tetapi disini hanya ada foto dua wanita yang sama persis ketika masih muda, jika yang satu dengan mengenakan jas dokter sedangkan yang satunya bergaya seolah wanita kantoran.

"Ini ibunya Saka, wanita yang mengandung suamiku"

Sedikit merasakan rindu dengan umi, saat menginggat cerita ku dan Saka yang hampir sama jika sejak bayi kami di tinggalkan oleh ibu kami selama-lamanya.

Duduk pada kursi kerja Saka, memandang foto dalam bingkai, dua wanita yang menjadi ibu bagi Saka.

Rasa kantukku datang, hingga tanpa sadar aku pun tertidur dalam ruang kerja Saka.

Dan paginya aku terbangun sudah berada di atas ranjang dalam pelukan suamiku, Saka. Yang entah kapan dia pulang.

"Pagi sayang"

Kata sayang masih saja membuat ku gugup serta malu sendiri di pagi ini di hari ke empat kamu menjadi suami istri.

"Auhh"

Teriaknya karena merasa kan cubitan di perutnya yang pastinya ulahku.

"Lebay"

Tawa dari Saka menggema di subuh ini, mendengar perkataan ku yang entah kenapa membuat nya tertawa lebar.

"Masih aja malu-maluin"

Apakah mungkin semua pengantin baru merasakan seperti ku, yang setiap saat dan ada kesempatan sang suami pasti selalu saja nyosor ini itu.

"Subuhnya masih lima belas menit, bentar aja yuk"

Dosa jika menolak ajakan suami untuk berhubungan suami isteri, sehingga dalam keadaan sehat, tak sedang menstruasi maka layanilah.

Empat hari menjadi isteri dari Saka maka empat hari itu pula setiap pagi aku harus mandi keramas untuk bersuci.

Bukan lima belas menit melainkan satu jam kurang lima belas menit, berjamaah subuh bagi Saka di Masjid terlewatkan.

"Mandi bareng ya, keburu subuhnya habis"

Bukan lagi pertanyaan melainkan pernyataan ketika aku belum sempat menjawab, tetapi Saka lebih dulu membawa ku dalam gendongan nya menuju kamar mandi.

Mandi sekedar mandi bareng, saling membantu menggosok punggung dengan sabun, sesekali bercanda berdua.

Berjamaah berdua, setelah mengganti baju karena waktu subuh benar-benar akan habis.

Nantinya jika ada yang menanyakan mandi bareng apakah menghemat waktu, aku akan dengan lantang menjawab tidak sama sekali, itu lebih banyak membuang waktu.

Perlakuan Saka sangat manis beberapa hari ini menjadi suamiku, selalu mengecup di segala kesempatan tak terkecuali saat selesai jamaah, bukan hanya kening tetapi bibir pun menjadi sasarannya.

Saka menuju ruang kerjanya, ingin memeriksa email dari kantor, sedangkan aku menuju lantai satu ingin membantu menyiapkan sarapan.

"Pagi uti"

Sapa ku kala melihat eyang uti yang sedang duduk di kursi meja makan, dengan memakai kacamata membaca majalah yang berisi resep membuat kue.

Asisten Rumah Tangga uti Ara yang bernama mbak Rina, sedang memasak, wanita yang cukup muda tetapi sudah memiliki seorang anak dan berstatus single parent, itu pun baru kuketahui sore kemarin saat berdua dengan uti menikmati acara televisi.

"Mbak aku bisa bantu apa?"

"Enggak usah mbak Ais, sebentar lagi sudah selesai kok"

Larang mbak Rina, kemudian cukup kusiapkan segelas susu untuk Saka, dan dari mbak Rina ini pula aku mengetahui kesukaan Saka saat pagi hari adalah minum susu bukan teh atau kopi.

Kuletakan segelas susu pada meja makan, kemudian duduk di samping uti Ara yang memintaku untuk bergabung bersama beliau.

Aku buta akan masak memasak lebih tepatnya dalam segi perkuean, mungkin jika memasak makanan sehari-hari aku bisa tapi jika memasak level restauran maka aku dengan segera angkat tangan.

Sejak kecil selalu di manjakan eyah uti ketika di rumah, dan saat di pesantren dahulu hanya sering kebagian untuk menyiapkan makanan di piring bukan membantu memasak di dapur, dan saat masuk masuk universitas dengan segala kesibukan mahasiswa membuat ku sangat jarang masuk kedalam dapur, apalagi tinggal di Yogyakarta yang kaya akan kuliner, belum lagi sahabat abi, tante Galuh yang hobi mengirim masakan.

"Ais bisa masak?"

Kugelengkan kepalaku saat uti menanyakan pertanyaan yang selalu membuat ku minder.

"Sama, Uti dulu juga nggak bisa masak saat awal nikah, apalagi bikin kue sama sekali nggak bisa, tapi lama kelamaan saat memutuskan jadi ibu rumah tangga akhirnya belajar"

Uti Ara memang tipe orangtua yang modern tak banyak aturan ini itu kepada menantunya, apalagi cucu menantu pertama nya seperti ku.

"Yang mau bikin kue? Gulanya pakai gula jagung loh ya"

Romantis sangat, pasangan manula ini, eyang Erix yang baru saja berkebun di taman belakang rumah, bergabung bersama kami di ruang makan, dan dengan sigap uti mengambil kan air minum, dan yang terpenting eyang Erix selalu memanggil 'yang', dan uti memanggil mas.

"Ais semalam Saka pulang jam berapa, tadi kok nggak ke masjid?"

Bingung menjawabku, aku sendiri tak tahu kapan Saka tiba, bahkan aku tak tahu jika Saka memindahkan ku ke kasur, dan ini kenapa tadi Saka tak jamaah, masak iya aku jawab jika kami masih itu-itu.

Tiba-tiba kedua pasangan suami isteri yang tak lagi muda itu, terkekeh kompak.

"Jangan di godain mas"

Uti yang sudah mereda tawanya memperingati sang suami.

"Tapi kayaknya sih kita bentar lagi jadi eyang buyut mas, nih tiap pagi keramas"

Kelanjutan ucapan uti Ara membuatku tersadar, jika kedua pasangan manula ini sedang menggoda ku, meskipun sedikit absurd.

Bukan sampai disitu rasa malu yang kurasakan, ketika tiba-tiba Saka ikut bergabung bersama kami dengan perlakuan nya yang secara spontan membuat kedua eyang tertawa semakin lebar.

Cup, cup

Kecupan lembut itu mendarat manis di pipiku.


Tbc

I am Aisha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang