Pernikahan tanpa adanya masalah, bagaikan sayur tanpa garam, karena bumbu dari kemesraan itu di awali dari masalah dan terselesaikan, maka tingkat keharmonisan akan bertambah.
Aku yang memang keturunan asli jawa, lama tinggal di Jawa, bahkan lulusan dari sebuah pesantren, tak pernah terpikirkan oleh ku sama sekali jika memiliki seorang suami yang akan melanggar ketentuan dari Allah.
Malam itu aku pulang dari rumah sakit, karena selesai dari sift siang, dengan menaiki taksi online menuju kediaman eyang Erix.
Pukul sepuluh malam, eyang masih menonton televisi sedangkan eyang uti telah tidur di kamar.
Segera aku pamit naik kelantai dua, setelah mencium tangan eyang Erix, membersihkan badan, berganti baju serta menjalankan sholat isya' yang tertunda.
Saka entah kemana, biasanya jika aku masuk siang dia akan menjemput ku di rumah sakit, karena pulang sudah terlalu larut malam, dan untuk hari ini sekedar menghubungi ku, memberikan kabar pun tidak sama sekali.
Kukirim pesan tak ada tanda sama sekali jika pesanku di bacanya, dan ketika ku menelpon pun tak di angkat oleh Saka.
Kepikiran hal-hal yang negatif terjadi pada Saka, bahkan kuberanikan diri untuk bertanya kepada bunda Aci, ketika aku turun kebawah dan eyang Erix menyarankan ku untuk bertanya pada putrinya.
Dua jam lebih menunggu Saka pulang, atau sekedar pesan balasan, tetapi tak kunjung datang kabar ataupun orangnya.
"Ais tidur aja, biar eyang yang nungguin Saka pulang, kamu pasti capek habis dinas"
Menurut akan saran dari eyang, akhirnya aku kembali menaikkan tangga menuju lantai dua dimana kamarku dan Saka berada.
Rasanya baru saja aku terpejam, karena sedari tadi begitu gelisah memikirkan keadaan Saja yang tak kunjung memberiku kabar.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, terlihat siluet Saka yang kembali menutup pintu dan berjalan menuju kamar mandi, setelah nya terdengar suara Saka yang sedang muntah-muntah.
Seketika aku bangkit untuk menghampiri Saka yang berada di kamar mandi, aroma alkohol menguar dari muntahan Saka bukan karena suatu tanda gejala penyakit melainkan ini adalah minuman yang haram hukumnya dalam agama kami.
Aku mundur tak jadi memijat Saka, baju yang di kenakan Saka begitu tercium aroma asap rokok.
Sebagai seorang isteri yang tergolong baru mengenal Saka, tentu aku tak tahu begitu banyak kebiasaan Saja, tetapi seingatku Saka termasuk laki-laki yang baik, dan kini aku merasa telah tertipu olehnya.
Saka masih terus muntah, begitu saja kutinggalkan dirinya di kamar mandi, pikiranku berkecamuk memikirkan apakah Saka sedang mabuk-mabukan juga bermesraan dengan wanita lain, kini aku merasa sakit, segera masuk kedalam selimut menangisi diriku sendiri.
Mencoba tetap diam, mengontrol emosi, masih mengingat waktu jika kini masih dini hari, tak mau membuat keributan takut mengganggu eyang yang sudah tua.
"Sayang, kamu belum tidur ya?"
Kutahan isakanku, menggigit bibir bawahku agar tak terdengar oleh Saka jika aku menangis dan belum tidur.
"Sayang, aku pingin"
Tangan Saka memeluk dari belakang ikut masuk kedalam selimut, tanganya dan badannya terasa dingin karena tadi terdengar suara Saka yang mengguyur badanya.
Bibirnya terasa mengecupi tengkuk leher dan daun telingaku, aku mencoba tetap diam, berusaha tak kaku agar terlihat jika aku memang tidur.
Tak ada respon dariku, akhirnya Saka hanya memeluku dan tak lama terdengar dengkuran halus, pertanda dirinya telah tidur.
****
Pagi hari seperti biasanya aku terbangun dan memulai rutinitas ku, mulai dari membersihkan diri dan menjalankan sholat subuh, kali ini aku masih merasa kecewa dan marah pada Saka, dengan sangat sengaja tak ku bangunkan Saka, bahkan setelah kujalankan sholat subuh, kutinggalkan Sakan ke dapur untuk menyiapkan sarapan bersama eyang Ara.
"Saka semalam pulang jam berapa?"
Eyang Ara yang terlihat menumis bumbu yang berhasil kuhaluskan dengan cara manual, yaitu dengan cobek membuka pembicaraan di luar menu masakan yang sejak tadi kita bicarakan.
"Lupa Ais yang, enggak sempat lihat jam"
Semoga saja Tuhan memaafkan kebohongan ku, bahkan semalam aku juga telah berdosa ketika Saka meminta hak nya, dan aku tak melayani nya.
Hingga sarapan yang kami siapkan telah selesai, di pukul setengah tujuh dan aku kembali kedalam kamarku, Saja masih dalam lelapnya berselimut dengan tengkurap bertelanjang dada.
"Mabok, enggak sholat subuh, begitu kah seorang imam yang baik?"
Gumanku lirih, tak sampai aku mengomel keras takut terdengar sampai ke lantai bawah.
Aku bersiap untuk ke rumah sakit karena setelah masuk siang terakhir adalah kemarin maka hari ini jadwal dinas masuk pagi.
Kembali kelantai bawah, memasukan hasil masakan ku kedalam wadah bekal, lebih baik aku sarapan di ruangan, dan cepat berangkat ke rumah sakit keburu Saka bangun tidur.
"Eyang, Ais berangkat dulu ya"
Pamit ku pada kedua eyang mertua ku, tak ada pertanyaan dari beliau-beliau, mungkin tak ingin ikut campur pada masalah kami, dan aku pun merasa tak nyaman jika harus membawa orang tua dalam masalah rumah tangga ku.
Mengendarai mobil ku, menuju rumah sakit, pikiranku memang sedang kacau, benar kata eyang Ara tadi ketika aku berpamitan pada beliau, hanya wejangan dan doa yang beliau ucapkan.
Kembali pada rutinitas di rumah sakit, kesibukan dengan pasien, status pasien membuat ku bisa sejenak melupakan masalah yang kualami.
Hingga pukul sepuluh pagi, ketika aku berjalan menuju laboratorium, terlihat mobil Saka baru saja memasuki area parkir karyawan.
"Bangun juga tu anak"
"Kenapa?"
Dina teman seprofesi ku ternyata mendengar suara yang kurasa begitu lirih.
"Enggak papa"
"Suami loe tuh Ais"
Aku menoleh kearah Saka yang berjalan menuju arah tangga yang akan menuju ruangannya.
"Biarin, di rumah udah ketemu"
Jawaban ku sontak membuat Dina tertawa cekikikan, mungkin diartikan oleh Dina ini sebuah becandaan.
Hingga di waktu istirahat, aku menuju kantin dengan yang lainya, tetapi terlihat Saka yang berjalan menuju ruangan ku, seketika sebelum Saka tahu dan yang lain menyadari, dengan buru-buru aku izin lebih dulu ke kantin karena ingin ke toilet terlebih dahulu.
Seperti ABG yang sedang ngambek dengan kekasih nya, ketika aku mencoba mengeluarkan kepalaku untuk melihat keluar toilet, apakah ada Saka atau tidak, ternyata suami itu kini telah bersender pada dinding menghadap arah pintu, dengan bermain ponsel.
Judulnya adalah ketahuan, tapi inilah ego seorang wanita, seorang isteri, dengan seolah cuek aku berjalan menuju kantin tanpa membuka suara untuk menjawab semua pertanyaan Saka.
"Sayang"
"Kamu kenapa?"
"Kamu marah sama aku, semalam pulang telat?"
"Semalam hape ku mati, power bank ku ketinggalan di kantor"
"Aku janji enggak ulangi lagi, janji enggak pasti kabari kamu kalau pulang telat"
Saka tak lagi memperlihatkan wibawa nya yang seorang wakil direktur rumah sakit, bahkan tangan yang hendak menarik tangaku dan dengan kasar ku hindari, pasti akan menjadi bahan pembicaraan seisi rumah sakit.
"Mabok sama cewek-cewek seksi mana mungkin inget kalau punya istri di rumah"
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
I am Aisha
RomanceBukan wanita sholehah seperti isteri Nabi, Aku hanya Aisyah, wanita yang masih jauh dari kata sempurna.