Keluar dari ruang operasi, aku dan sekelompok koasku yang kini bertugas di stase kandungan dan kebidanan, berjalan menuju ruangan Umi atau dokter Sachi.
Sangat profesional meskipun kami telah saling kenal, jika aku bersalah beliau tak segan menegurku dan memberikan tugas sebagai hukuman.
Duduk melingkar pada ruangan beliau, membahas masalah yang baru saja kami temukan di meja operasi tadi.
Satu persatu kami mendapat giliran untuk memberikan pendapat dan juga bertanya, hingga di tengah-tengah waktu, seorang laki-laki dewasa membuka pintu dan mengucapkan salam.
"Maaf, saya kira tak ada tamu"
Pria itu hendak keluar, tetapi dicegah dokter Sachi.
"Bang, sudah hampir selesai kok, tunggu di luar bentar ya"
Kemudian pintu kembali di tutup dan diskusi kami lanjutkan hingga selesai.
Saat aku sudah berjalan dengan berangkulan dengan sahabatku Nirina, panggilan dari dokter Sachi di belakang kami, membuat kami terhenti.
"Ais saja, sini bentar"
Dokter Sachi melambaikan tangannya agar aku mendekat menuju beliau yang berdiri di depan pintu.
"Kita tunggu di kantin aja ya Ais"
Teman sekelompok ku melanjutkan menuju kantin. Sedangkan aku kembali menuju ruangan dokter Sachi dan masuk kedalam ruangan beliau, yang kini bukan hanya dokter Sachi melainkan pria yang tadi masuk ditengah kami berdiskusi.
"Ais ingat ini siapa?"
"Abang juga ingat ini siapa?"
Kami berdua kompak menggelengkan kepala saat ditanya oleh dokter Sachi.
"Kalian pernah bertengkar di pesantren waktu kecil, hingga kalian terjatuh dari tangga"
Penjelasan dokter Sachi membawaku kemasa lalu, saat aku masih di pesantren, laki-laki yang selalu mengajakku bertengkar, yang mengklaim bahwa dokter Sachi adalah bundanya, dan akan menikah dengan ayahnya bukan dengan abiku.
"Ohh, kamu"
"Ohh, loe"
Kami kompak menunjuk, saat mengingat masa-masa kecil kami.
"Gimana menang gue kan, sekarang Abi loe jadi nikah sama siapa?"
Pertanyaannya membuat ku ingin sekali menyakar wajahnya yang kuakui tampan, tetapi tidak dengan atitudenya.
"Abang"
Bentakan dokter Sachi pada laki-laki yang kuingat selalu dipanggil Saka waktu dulu.
Dokter Sachi menggeleng tanda memintanya untuk tak meneruskan pertanyaannya.
"Ais, kalau mau makan silahkan, besok kita ketemu lagi ya dengan kasus baru"
Dokter Sachi berdiri di sampingku mengusap lembut kepalaku.
Belum jauh aku pergi dari ruangan dokter Sachi, teguran untuk Saka masuk kudengar.
"Bang, omongannya dijaga dong, Abinya sudah meninggal, dosa kamu sampai bikin dia sakit hati"
"Innalilahi, Saka nggak tahu bun, tadi becanda"
Samar aku masih mendengar obrolan ibu dan anak, dan langkah ku semakin menjauhi ruangan itu dan tak lagi mendengar obrolan mereka.
Hingga sampai di kantin, teman-teman sudah menungguku untuk menyantap makan siang yang sudah terlambat sangat jauh karena kini sudah hampir masuk waktu asyar.
"Ais, diapain loe, sama dokter Sachi lesu gitu"
Nirina memberikan jeruk hangat yang kuminta untuk memesankan terlebih dahulu tadi.
"Kagak di apa-apain, aku cuma kelaparan"
Tak mungkin kuceritakan pada teman-temanku tentang yang terjadi di dalam ruangan dokter Sachi tadi, pasti aku akan bersedih kembali mengingat Abi.
Ditengah kami menikmati soto ayam yang kami pesan sebagai makan siang yang telat ini, Saka masuk kedalam kantin berjalan santai menuju lemari es yang berisi macam-macam air dalam kemasan botol dengan berbagai rasa dan merk.
Kemudian masih dalam tangkapan mataku, dia mengobrol dan sesekali tertawa kemudian pergi keluar dari kantin, dan masih sempat melirik ku saat melewati meja yang kududuki dengan teman-temanku.
"Itu yang tadi masuk keruang dokter Sachi kan?"
"Ganteng banget, mana wangi lagi pas lewat barusan"
"Putranya dokter Sachi itu"
"Umurnya berapa sih?"
"Siap menghalalkan belum ya?"
Celotehan dari teman-teman perempuanku yang semuanya adalah kalimat mengagumi Saka.
"Berondong itu, mau kalian"
Entah kenapa aku tak biasanya ikut bergosip dengan mereka, karena aku bisanya hanya diam menyimak meskipun aku tahu.
"Masak sih? Tapi enggak papa badanya pelukable kok"
Sintia yang paling genit diantara kita, sudah berbicara ngawur dalam hayalanya.
"Kok tau sih loe, kalau dia berondong?"
Aku lupa jika teman-teman ku ini semua sangat cerdas-cerdas.
Tak mau berbohong, akhirnya kuceritakan jika aku sudah lama mengenal dokter Sachi, hanya saja kita lost kontak.
"Pantesan tadi loe disuruh balik"
"Kita panggilnya dek Saka ya ini, berarti?"
Masih dengan keabsurdan semuanya, kami kembali berdiskusi tentang kasus-kasus yang kita temui hari ini.
Doni yang hari ini terjadwal akan membayari makanan kami semua kembali dengan senyum lebar.
"Kagak jadi berkurang uang gue"
Duduk pada kursinya lagi, menyeruput teh dingin dari botol yang baru dibawanya dari lemari es.
"Terus yang berkurang uang siapa ini, kan jadwal loe"
"Sudah di bayarin sama putranya dokter Sachi semua yang kita makan, malah masih sisa"
Doni bermain ponsel sambil menjelaskan rezeki yang diterimanya.
"Kalau mau ambil gih jajanan lagi"
Gayanya sok bosy, padahal bukan uang miliknya.
"Tuhkan si brondong baik hati pula"
"Duh adek Saka, aku padamu"
Baru juga dibayarin makan, sudah kembali memuja yang berwujud manusia.
"Ada loe kali Ais, makanya kita dibayarin"
Dewa cowok yang berasal dari Bali, dengan kedewasaanya diantara kami semua, selalu paling bijak.
"Nraktir kakaknya"
Celotehan Sintia membuat kami semua tertawa terbahak, bahagia sekedar uang makan utuh tetapi perut kenyang.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
I am Aisha
RomanceBukan wanita sholehah seperti isteri Nabi, Aku hanya Aisyah, wanita yang masih jauh dari kata sempurna.