Bab 17

7.3K 708 55
                                    

Di sudut kantin Rumah Sakit, aku dan suamiku berhadapan dengan pikiran masing-masing, bahkan ramainya kantin, hiruk pikuk para pengunjung kantin tak mengalahkan ramainya isi otaku.

"Sumpah demi Allah yang, aku enggak ada sama cewek"

Tangan Saka masih terus berusaha menggenggam tanganku, tetapi selalu ku tolak, entah berpura-pura memegang gelas, sedotan, bahkan kumasukan kedalam saku sneli.

"Kemarin itu aku di ajakin temen kuliah yang lama enggak ketemu, karaoke dan aku minum itu pun cuma dikit karena di paksa teman-teman, lagian lambung aku kan enggak kuat kalau minum alkohol"

Saka menghentikan ucapannya, ketika ibu kantin mengantarkan soto pesananku.

Istri yang sholehah, kalau lapar ya makan, kalau lagi marah sama suami ya makan aja sendiri, enggak usah sok baik nawari makan.

"Yang kami enggak malu di lihatin orang-orang loh"

Aku masih saja tak bersuara sejak duduk di kantin, kunikmati soto panas ini dengan cepat, misal tak sedang marah mungkin akan kuminta Saka untuk mengipasnya, hanya saja ini kan lagi mode senggol bacok.

"Sayang aku belum makan"

"Bodo amat"

Tentu nya hanya terucap dalam hatiku, tak berani ku ucapkan langsung pada Saka, aku masih mencoba mengontrol emosiku.

"Astaghfirullah, ngeri amat ngambeknya, kagak lagi-lagi deh gue nongkrong-nongkrong"

Saka berkata sendiri sambil berdiri meninggalkan ku yang menikmati makan siang.

Sepuluh menit Saka kembali dengan membawa ketoprak dan teh tawar, dan duduk kembali di hadapan ku, sedangkan aku telah selesai makan dan kini bermain ponsel.

Kulirik terlihat sangat lahap Saka menikmati ketoprak nya, mungkin dirinya juga tak sempat sarapan, karena tak kubangunkan tadi pagi.

Menunggu Saka hingga selesai menikmati makan nya, dan setelah nya kami berdua menuju masjid untuk menjalankan sholat dhuhur.

Saat aku akan bersiap kembali ke ruangan, Saka sudah duduk berada di tangga masjid tempat dimana sepatuku berada.

Aku masih diam membisu, bel ada sehari tak apalah, kan batasan nya sampai tiga hari.

"Nanti pulangnya bareng ya"

"Aku bawa mobil, lagian mau ke apartemen"

Saka yang berjalan di sampingku mencekal pergelangan tanganku, setelah mendengar jawaban ku.

"Kamu jangan minggat, nanti aku bisa di amuk eyang"

Takutnya hanya sama eyang Ara, bahkan Saka juga lebih dekat dengan eyang Ara di banding dengan orang tuanya.

Ingin tertawa rasanya, padahal aku ke apartemen hanya ingin mengambil berkas kampusku yang masih tertinggal disana, tak ada dalam pikiran ku untuk pergi dari rumah eyang.

"Nanti aku tidur sendiri dong"

Merasa malu sendiri rasanya, ketika kulihat lalu lalang orang yang melewati kami pasti akan menoleh kearah kami yang kini berada di samping taman dekat masjid.

"Siapa juga yang mau minggat? Keenakan kamu kalau aku pergi, bebas pulang pagi"

Dikiranya aku cewek-cewek yang akan menyerah, melarikan diri, yang ada nanti akan ku beri pelajaran tipe-tipe lelaki seperti Saka ini.

"Dah aku mau balik keruangan"

Kutarik tangan Saka untuk kucium, dan segera pergi dari hadapan Saka.

Tak semestinya memelihara pikiran negatif terhadap suami, tetapi rasa was-was itu juga sangat penting untuk para isteri.

Setidaknya setelah kita puas untuk marah dengan nya, berikan waktu untuk suami menjelaskan alasan-alasan nya.

Sungguh tak disarankan jika kita sedang marah, sedang dilanda emosi, mengucapkan kata-kata yang tak semestinya di ucapkan seorang isteri, lebih baik kita tahan untuk tetap diam, merendam kata-kata hasutan setan yang akan membelah rumah tangga.

*****

Saat kumandang adzan magrib, aku baru saja memasuki garasi kediaman eyang Erix, di atas kursi teras terlihat Saka yang sudah segar, dengan memakai sarung dan baju Koko, berdiri menyambut ku dengan senyum manisnya.

Ego seorang wanita, tetap berpura-pura merajuk, jangan sampai mempermudah suami untuk mendapatkan maaf dari kesalahan-kesalahan yang di perbuatnya.

"Alhamdulillah akhirnya pulang isteri ku"

Ketika aku menaiki tangga teras, dan berada di hadapannya.

"Memang kamu, yang enggak pulang dan enggak kasih kabar"

Terdiam,

Kalah telak dengan ku yang memang sudah sangat jago, untuk berdebat, apalagi ini dalam keadaan lawan yang memang bersalah.

"Nanti habis magrib kita nonton film di bioskop"

" Terus makan malam romantis gitu, sudah lama kita enggak keluar"

"Atau belanja kayaknya juga seru"

Sudah mulai rayuan mautnya, menawarkan segala hal yang di sukai wanita, masih terus mengoceh sambil mengikuti ku menuju kamar kami di lantai dua.

"Kalau belanja eyang ikut ya"

Eyang Ara yang sudah memakai mukena, hendak menuju mushola pribadi di rumah ini, berpapasan dengan kami.

"Ini nenek-nenek gaul ikut-ikut aja"

Ucapan lirih Saka yang setelah nya berkata cukup keras agar di dengar sang nenek.

"Kita mau kencan eyang, kencan sendiri sama si Erix aja"

Cucu tak beradab memang, bisa-bisa nya memanggil eyangnya dengan sebutan nama.

Karakter keluarga disini memang kadang suka bercanda tetapi kadang kala peraturan yang di terapkan cukup tegas, untuk eyang Erix sendiri hingga saat ini sering sekali ribut dengan Saka untuk hal kecil, tetapi jika di saat serius mereka berdua akan saling berinteraksi dengan selayake kakek dan cucu.

"Aku mau mandi, masih mau ikut juga?"

Saat aku kan memasuki kamar mandi, Saka yang berada di belakang ku hanya bisa tertawa.

"Aku mandiin gimana?"

"Terus kamu sholatin?"

"Astaghfirullah, jangan dong tega banget bikin aku jadi duda"

Aku hanya bisa terkekeh, gagal sudah aksi aktingku yang berpura-pura marah dengan Saka.

"Cieh ketawa"

Brakk

Kututup pintu kamar mandi dengan keras, telah di buat malu oleh Sak akan godaanya, setelah mendengar ku yang berhasil di buatnya tertawa.

Benar sesuai rencana Saka, setelah kami jama'ah magrib, kencan malam ini terlaksana, mulai dari makan malam dan belanja sambil menunggu waktu nonton tiba.

Bukan hanya berkencan berdua melainkan double date, bahasa kerennya, sepasang lansia yang tinggal bersama kami pun ikut dalam rencana Saka.

"Yang"

Aku dan eyang Ara yang berjalan di depan, kompak menoleh kebelakang, kearah Saka.

"Apaan sih aku loh manggil eyang Kakung"

"Woh cucu kurang ajar memang, jangan kasih jatah Ais nanti tu bocah"

Eyang Ara sudah mengomel, pasalnya kami berdua yang tadinya sedang fokus pada obrolan sampai merelakan menoleh kebelakang, ternyata hanya sebuah prank dari Saka untuk kami.

Kedua lelaki di belakang kami terdengar begitu bahagia, karena tawanya begitu jelas renyahnya.

Beginilah orangtua, keluarga, tak perlu mengikuti campur rumah tangga anak-anaknya, cukup selalu menghibur, memberikan semangat, dan memberi contoh indahnya cinta yang nyata.




Tbc

I am Aisha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang