XXII

5.5K 682 333
                                    

Double up loh ini. Ramein komen yak! Wkwkwk ~ ♡

.

.

.

= SEBUAH JANJI BAHWA, DI MUSIM SEMI, BUMI AKAN TERLAHIR KEMBALI =

.

.

.

Playlist: Sorry - Nothing But Thieves; Dream Song - Finish Ticket; Only the Winds - Olafur Arnalds

.

.

.

"Di mana Donghyuck?"

Jeno bahkan tidak mendongak dari kopor besar yang berbaring di tengah ruangan. Sebuah tas kecil telah terisi dan didudukkan di sisi ranjang yang berantakan, tetapi ia meninggalkan nyaris semua keperluannya di istana, untuk dikirim padanya di musim semi nanti, ketika rute laut kembali dibuka. Seharusnya mereka mengantar pemuda itu sampai ke pelabuhan, arak-arakan panjang kereta yang akan menghabiskan waktu tiga hari dengan perjalanan yang super lamban untuk memangkas jarak antara Dawyd dan Dalia, tetapi tidak ada waktu untuk itu. Kapal terakhir akan berangkat malam ini, dan Jeno harus berkendara dengan cepat apabila ingin tiba tepat waktu.

"Kupikir dia masih di sini, bersamamu."

Jeno menutup kopor dengan suara berdebum keras dan menatap ke arah Mark, alisnya tertaut atas kata-kata itu. Kedua matanya tampak sedikit bengkak.

"Dia sudah pergi," gumamnya. Ia mendengus, seolah berusaha menarik kucuran air mata terakhir. "Dia tidak suka perpisahan."

Kata-kata itu tidak diucapkan dalam nada menyudutkan, tetapi tetap terasa menyakitkan. Namun tidak banyak yang bisa Mark lakukan mengenai Jeno di titik ini.

"Aku membakar suratmu," ia lantas berkata. "Aku minta maaf."

Ia tidak menyebutkan alasannya meminta maafㅡsebab menghancurkan surat Jeno, sebab ingin menghajar wajah pemuda itu hingga tidak lagi dapat dikenali, sebab tidak mampu menghentikan keputusan ayahnya untuk mengirimnya pergi, sebab menyakiti Donghyuckㅡtetapi Jeno tampak tidak peduli. Kedua matanya melebar ketika Mark menyebut perihal surat itu, tetapi ia dengan cepat kembali menunduk.

"Donghyuck benar, kau lumayan menyebalkan. Aku akan mempertahankan kemarahanku padamu sebab kau pantas mendapatkannya, tetapi sekarang aku harus berterima kasih padamu karena sudah membakar surat bodoh itu."

"Itu adalah surat yang bagus," Mark menambahkan, berusaha bersikap menenangkan. Jeno membuang napas.

"Itu adalah surat yang bodoh dan aku menyesal telah menulisnya. Itu membuat segala hal jadi rumit."

"Kau tidak seharusnya menulis surat itu, atau kau seharusnya menghancurkan surat itu sendiri, tetapi ini bukan salahmu. Ayahku tetap akan menemukan cara yang lain untuk menjebak dan memulangkanmu. Dia sudah menunggu adanya kesempatan ini untuk waktu yang lama." Sakit rasanya untuk mengakui ini. Mark menyayangi ayahnya dan menghormati rajanya, dan sepanjang hidupnya, ia telah memercayai keduanya. Meski demikian, malam ini, rasanya ia telah melewati batas yang tidak seharusnya dilewati. Ia tidak yakin akan tetap mampu memandang ayahnya, rajanya, dan melihat ayah dan raja di saat bersamaan, alih-alih seorang pria kesepian yang semakin menua dan keras kepala dan pencemburu.

"Dia ingin Donghyuck sendirian di sini," lanjutnya. Ia tidak hanya ingin Jeno pergi, ia juga ingin Mark marah. Ia ingin mereka berdua marah pada satu sama lain, menyakiti satu sama lain dalam cara yang tidak berujung. Oh. "Pada akhirnya, dia mendapat apa yang dia inginkan."

[🔛] Semanis Madu dan Sesemerbak Bunga-Bunga LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang