27 Harapan

601 49 4
                                    

☘️ Teman Hidup ☘️

Membuka pintu kamar, Ayra mendapati kamar miliknya dan Athaya yang kosong tanpa penghuni. Lalu kemana perginya lelaki itu? Pikir Ayra.

Rasa kantuk sudah mendesaknya, membuat dia sesekali menguap lebar. Naik keatas ranjang, Ayra menyusun bantal miliknya lalu mulai memejamkan matanya. Namun percuma saja, pikirannya masih berkelana entak kemana membuat dia begitu susah untuk tidur, padahal matanya sudah begitu berat. Kembali duduk, Ayra menatap sisi ranjangnya yang masih kosong. Kemudian kembali berbaring dan terduduk lagi.

Menarik nafas dalam, Ayra kemudian memutuskan untuk tidur dibawah. Menggelar selimut tebal kemudian menyusun bantalnya rapi dan mulai terlelap.

"Bangun," suara Athaya membuat Ayra terbangun, dikuceknya matanya, Ayra kembali menguap.

"Ngapain tidur dibawah sih? Jangan buat saya terlihat seolah-olah adalah suami yang jahat. Naik!" Perintah Athaya.

"Naik, saya bilang. Kamu mau cari penyakit dengan tidur dibawah? Cukup ingatan mu aja yang bermasalah."

"Disini aja," jawabnya serak.
"Ck, " Berdecak. Athaya kemudian mendekat kearah Ayra. Membungkuk, kedua tangan Athaya terulur melingkari punggung dan bawah lutut Ayra kemudian menghempasnya diatas kasur.

"Berat banget," decak Athaya.

Ayra menoleh sengit.

"Tidur!" Melempar selimut yang semula di jadikan alas oleh Ayra, Athaya kali ini memungut bantal milik Ayra lalu menatanya.
"Kita cuma tidur, saya nggak akan ngapa-ngapain kamu!" Ucap Athaya.

Memilih diam, Ayra mencoba memejamkan matanya yang memang sudah begitu berat ingin tertutup.

Paginya, Athaya terbangun lebih dahulu. Dirinya terkejut ketika melihat posisi tidurnya yang begitu dekat dengan Ayra, wajah keduanya saling berhadapan. Mencari ponselnya Athaya melihat jam yang masih menunjukkan angka 4:06 pagi.

Menarik nafas dalam Athaya tetap tak merubah posisinya, mengamati wajah Ayra yang nampak tertidur lelap.

"Kamu nggak pernah tersenyum seperti itu didepan saya selama ini, kenapa?"

☘️☘️☘️

Pagi setelah sarapan, Ayra ikut ngobrol santai bersama Fani dan Gandi, ketiganya terlihat begitu serius. Membicarakan berbagai topik yang tengah hangat dilingkungan masyarakat.

"Perempuan pun dalam agama apapun tetap punya hak kan untuk memilih jodohnya," ucap Fani.
"Iya, perempuan tetap memiliki hak untuk menerima siapa yang kelak akan menjadi pendamping hidupnya. Tidak serta-merta dapat di johkan begitu saja tanpa meminta pendapat dari sang anak. Kalau sudah seperti itu, itu namanya pemaksaan." Fani dan Gandi mengangguk setuju.
"Tapi sekarang kebanyakan orang tua maksa anak mereka tanpa mau dengerin anaknya," timpal Gandi.
"Kalau gue yang begitu, gue mending kabur! Rasulullah aja nih, waktu nikahkan anaknya Zainab sama Abdul ash bin rabi, beliau masih bertanya sama putrinya," timpal Fani.

Ayra tersenyum mendengarnya.

"Iya. Waktu Abdul ash bin rabi datang menemui Nabi, untuk memintanya menikahkan dia dengan putrinya, Nabi masih meminta pendapat Zainab. Saat Rasulullah bertanya dengan Zainab putrinya, Zainab cuma diam. Tapi Rasulullah tahu dan paham betul akan arti ke terdiaman Zainab, sebab dalam Islam. Perempuan yang masih perawan atau seorang gadis masih begitu malu untuk mengungkapkan pendapatnya, sekedar mengatakan iya pun, Zainab putri Rasulullah begitu malu saat itu." Timpal Ayra.

"Beda sama generasi sekarang, mereka lebih memilih menyuarakan pendapat mereka." Gandi bersuara kembali.
"Eittss bukan berarti perempuan harus terima begitu aja ya, pas dapat lamaran. Kan udah jelas juga, kalau diawal tadi, Rasulullah, masih mementingkan pendapat Zainab, itu artinya perempuan tetap memiliki hak untuk menyeleksi!"

Teman HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang