27 - Dilemma

3.2K 290 10
                                    

Sesampainya di Gimpo airport, Jeongyeon segera berlari mencari taksi. Ia tak ingin membuang waktunya. Ia harus segera menghampiri isteri dan anaknya yang kini sedang membutuhkannya.

"Aish! Ayo, cepatlah!" Jeongyeon benar-benar gelisah saat keadaan jalan tidak berada di pihaknya. Hari ini jalanan Seoul sangat macet.

"Pak, apakah tidak ada jalan alternatif lain?" tanya Jeongyeon pada supir taksi yang ia tumpangi.

"Tidak ada, Tuan. Dimana-mana terjadi kemacetan. Ini karena ada kecelakaan di jalan utama."

Jeongyeon melihat arloji di tangannya. Sudah terlalu lama waktu yang ia habiskan. Ia tidak akan membuang waktunya lagi untuk menunggu kemacetan mereda. 

"Ini bayarannya, Pak. Aku turun di sini saja." Jeongyeon segera membayar tagihan taksinya. Ia langsung berlari sekencang-kencangnya menuju ke rumah sakit.

Ia tidak memperdulikan sejauh apapun jaraknya menuju rumah sakit. Semua rasa lelahnya, tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa khawatirnya pada keluarga kecilnya.

15 menit Jeongyeon berlari penuh, ia akhirnya sampai di rumah sakit. Ia segera menuju ruangan yang diinfokan oleh Jihyo sebelumnya. Di depan ruangan tersebut, ternyata sudah ada kedua orang tua Nayeon dan juga Jihyo.

"Jeongyeon!" Jihyo langsung bangkit dari duduknya saat melihat Jeongyeon sudah sampai. Begitupun dengan kedua orang tua Nayeon.

"Huh.. Jihyo, ba-bagaimana dengan keadaan huh.. Nayeon?" tanya Jeongyeon dengan napas terengah-engah.

"Jeongyeon, duduk dulu. Tenangkan dulu dirimu." ibu Nayeon membawa Jeongyeon untuk duduk di kursi ruang tunggu.

Setelah diberikan minum oleh Jihyo, akhirnya Jeongyeon bisa sedikit tenang. Napasnya kini sudah mulai teratur.

"Aku menemukan Nayeon pingsan di kamar mandi apartemen kalian tadi pagi. Aku berkali-kali menghubunginya karena tidak biasanya ia telat bekerja tanpa alasan. Namun, tidak ada jawaban. Jadi, aku memutuskan untuk mendatangi apartemen kalian. Dan aku sudah menemukan Nayeon pingsan dengan penuh darah di kakinya. Tadi Nayeon sudah diperiksa oleh dokter. Keadaan kandungannya benar-benar lemah. Dokter menyarankan untuk mengangkat kandungan Nayeon. Namun, ia menolak. Ia ingin bicara terlebih dahulu denganmu." jelas Jihyo.

Jeongyeon tertunduk. Ia menjambak rambutnya kuat-kuat. Dirinya merasa bersalah karena tidak ada di sisi Nayeon di saat Nayeon membutuhkannya.

"Jeongyeon, kau tidak perlu merasa bersalah. Ini bukan salahmu, Nak." ucap ibu Nayeon dengan lembut, berusaha membesarkan hati Jeongyeon.

"Sekarang, temui Nayeon. Ia menunggumu sejak tadi." kali ini ayah Nayeon yang berbicara.

Jeongyeon mengusap air matanya terlebih dahulu. Ia harus terlihat kuat di depan sang isteri. Jika ia lemah, maka siapa yang akan menguatkan Nayeon jika bukan dirinya.

Dengan perlahan, Jeongyeon masuk ke ruang perawatan Nayeon. Dapat ia lihat kini Nayeon sedang terbaring lemah dengan selang infus menempel di tangannya.

"Nayeon.." panggil Jeongyeon dengan lirih saat dirinya sudah duduk di kursi samping ranjang Nayeon. Tangannya menggenggam tangan sang isteri dengan lembut.

"J-Jeongyeon.."

"Iya, Sayang. Ini aku. Aku sudah pulang." jawab Jeongyeon dengan senyum yang dipaksakan. Ia tidak ingin air matanya jatuh lagi karena melihat betapa lemahnya Nayeon saat ini.

"J-Jeongyeon.."

"Iya, Sayang? Kau ingin bicara apa?"

"Jeongyeon.."

One Night Stand [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang