Sinar matahari masuk melalui celah jendela membuat pria bersurai merah itu membuka matanya karena merasa terganggu dengan kehadiran sinar matahari. Irra duduk dan mengumpulkan nyawa-nyawanya yang sedang berkelana kemana-mana. Dia baru ingat kalau kemarin dirinya telah menghukum adik kecilnya yang nakal itu.
Drap...Drap...Drap
Langkah kaki Irra menggema di seluruh penjuru lorong rumah mereka yang megah itu. Rumah itu masih sepi, pembantu, juru masak, satpam, Bodyguard dan saudara-saudari nya pun masih berkelana di alam mimpi.
Ada rasa ingin tertawa namun di telannya kembali. Toh dia sudah melihat nya semalam saat menemukan Ava di sini sedang memfoto ketiga saudara nya yang tertidur pulas.
Kriet...
Saat Irra membuka pintu gudang matanya mencari-cari keberadaan Levi, adiknya yang nakal. Namun, tak kunjung ketemu juga. Di telusuri nya gudang yang luas tak ada tanda kehidupan itu. Mata nya menangkap tumpukan barang yang tinggi hingga berhenti di sebuah jendela yang terbuka dan tidak terkunci.
Irra memicingkan matanya, heran. Tak butuh waktu lama dia mengerti dari mana asal tumpukan barang-barang tersebut. Matanya membulat sempurna dengan rasa marah bercampur rasa bersalah dia meneriaki nama adik nakalnya.
"LEVIIIIIIIIIII!" teriakan itu membuat Rion, Gurra, dan Ria yang tidur di depan gudang terbangun lebih dulu lalu dengan cepat masuk ke gudang untuk melihat dari mana asal suara itu.
"Ada apa kak?" tanya Gurra yang masih setengah sadar.
Irra diam mematung dengan rasa marah dan bersalah yang menghinggapi dirinya saat ini. Bagaimana bisa aku sebodoh ini? pikirnya dalam hati.
"Kau kenapa Irra? dimana Levi?" tanya Rion sambil menguap dan mengucek mata nya yang gatal.
"Kak Irra? ada apa? kenapa diam saja? dimana adik tampanku itu?" cerocos Ria membuat Irra makin diam tak sanggup bicara. Tanpa di sadari dan tanpa di minta, ujung kelopak mata nya mengeluarkan cairan bening yang sedikit demi sedikit makin deras.
"Kak, kau menangis?" ini pertama kali nya Irra menangis setelah 7 tahun yang lalu. Membuat Gurra menatap nya tak percaya. walaupun Irra menangis tapi ia tak mengeluarkan suara. menangis tak mengeluarkan suara itu sangat menyakitkan.
Rion dan Ria pun ikut terkejut melihat Irra menangis kembali setelah 7 tahun kematian Ibunda mereka. Ada apa dengan nya? pikir Rion dan Ria bersamaan.
"Mana Levi kak?" tanya Ava yang tiba-tiba muncul di pintu, mungkin karena terbangun habis mendengar teriakan Irra.
"Kak?"
Irra tak mau menjawab. Dia hanya mengarahkan jari telunjuknya ke tumpukan barang-barang yang tinggi itu. Awalnya semua orang heran. Kenapa dengan tumpukan barang itu? Siapa yang melakukan nya?.
Namun siapa sangka Acedia yang entah kapan muncul, dari tadi diam dan menyimak tiba-tiba meneteskan air matanya dengan wajah yang sulit untuk di jelaskan.
"Kak, katakan ini bohong..." ujar nya lirih masih setia menatap jendela yang terbuka dan tidak terkunci itu.
Ava yang berdiri di sebelah nya di buat pusing sendiri. Ria dan Gurra menatap kedua nya dengan wajah yang seolah bertanya Kenapa?. Dengan tidak sabaran Rion mengguncangkan tubuh Irra karena dia tidak mengerti apa maksud dari tumpukan barang tersebut.
"KATAKAN ADA APA IRRA BART?!"
"DAN KAU MENGERTI ACEDIA BART? KATAKAN!"
Titahnya. Irra tetap diam tak menjawab dan akhirnya Acedia mengatakan hal yang tidak di mengerti keempat saudara nya dengan air mata yang membanjiri pipi nya.
"Levi..."
"APA? KENAPA?!"
"LEVI KENAPA KAK?!"
"ADA APA DENGAN ADIK KU YANG PALING IJO ITU KAK ACEDIA?!"
"KATAKAN KAK! KENAPA INI?"
Semua nya meminta penjelasan yang jelas dan tidak mau di gantung seperti itu.
"Levi kabur melalui jendela itu dan tumpukan barang itu adalah ulah Levi."
Deg!
Bagai di sambar petir pada pagi hari membuat mereka diam mematung.
Rion shok, dan menangis dalam diam. Merutuki dirinya yang hanya diam saja saat adik bungsunya itu di hukum.
Ava terduduk karena terlalu shok, dia menangis menjadi-jadi sambil menyebut kata maaf dan nama adik nya berkali-kali.
Gurra tidak tau harus bagaimana. Dia diam, ingin menangis tapi rasa nya tertahan, dada nya sesak, saking shoknya rasanya dia ingin menghabisi Irra sekarang juga.
Sedangkan Ria? dia sudah lama pingsan.
Semua orang melotot dan terkejut terutama Irra kala Gurra menampar nya dengan keras. Ini pertama kali nya Gurra melakukan hal itu. Sebab di rumah yang mewah ini tak ada yang berani melayangkan tangan mereka ke wajah Irra bahkan Rion sekalipun kecuali, Tuan Bart ayah dari 7 bersaudara itu. Tangannya bergetar saat menyadari bahwa dia telah menampar sang kakak, rasa bersalahnya muncul namun rasa kecewanya lebih besar.
Dengan suara yang pelan namun terdengar menyakitkan untuk siapapun yang mendengarnya dan sorot mata yang sendu menatap sang kakak yang masih terkejut dengan tamparan sang adik.
"Maaf kak, aku tahu bahwa aku ini adalah adik yang paling kurang ajar karena telah menampar kakak nya sendiri..."
"Dari awal aku ragu dengan hukumanmu ini namun aku tetap diam karena tidak mau membantahmu dan aku pikir dia akan menjadikan kejadian ini sebagai pelajaran...tapi, perlu ku ingatkan kembali kalau kakak lupa bahwa adik bungsu kita itu adalah orang yang sangat nekat." Gurra berlalu meninggalkan gudang yang hanya di isi dengan isak tangis para saudara keluarga Bart.
Mendengar kata Gurra tadi membuat Irra teringat dengan kata-kata Ava semalam.
"Jangan buat dirimu menyesal karena menghukumnya"
Ternyata dia benar, sekarang...sosok pria berambut merah itu sangat menyesali perbuatannya. Memang benar, penyesalan selalu berada di akhir.
Rion memijit pelipisnya "Astaga tuhan cobaan apalagi ini?" bagaimana dia tidak mengatakan hal itu? pekerjaannya banyak, tugas yang menumpuk, temannya mengajak pergi, dan sekarang adik bungsunya kabur dan entah sekarang ada dimana. Dia tidak tahu kondisinya sekarang seperti apa, dia sudah makan atau belum, apakah dia semalam tidur dengan nyenyak atau tidak.
Di tatapnya adik keduanya yang tengah menangis menyesali perbuatannya yang bodoh itu. Dengan pelan Rion menepuk bahu Irra membuat sang empu mendongak menatapnya. "Kak? apakah aku keterlaluan?".
Rion merasa iba melihat adik pemarahnya ini, namun dia juga merasa kesal sama seperti Gurra. Hanya saja dia pandai mengontrol emosi tidak seperti Gurra, emosi nya akan meledak kalau menyangkut masalah adik bungsu keluarga Bart itu.
"Sudah jangan menyalahkan diri sendiri. Aku akan menyuruh para Bodyguard untuk mencarinya. Dia masih berumur 14 tahun dan tidak membawa apa-apa karena dari gudang bukan dari kamar, pasti dia masih di sekitar sini" kata Rion meyakinkan Irra, yang di yakinkan hanya mengangguk patuh pada sang kakak.
Rion lalu pergi dan tak lupa menggendong adik laknat nya yang pingsan dengan tidak elitnya ala bridal style menuju ke kamar sang adik. Ava yang merasa tidak ada apa-apa lagi di gudang itu dengan segera keluar mengekori Rion dengan air mata di pipinya. Tersisalah Acedia dan Irra yang di temani dengan kesunyian, Irra masih setia menunduk dan menahan tangisnya. Sedangkan Acedia sudah tidak menangis lagi, dia memeluk boneka nya dan berniat untuk pergi. Namun sebelum pergi dia sempat berkata sesuatu pada Irra membuat kakak keduanya itu menoleh.
"Jangan menyalahkan dirimu sendiri, ini sudah takdir yang tuhan susun melalui perbuatanmu kak." lalu dia menghilang meninggalkan Irra sendirian di gudang yang gelap tak ada tanda-tanda kehidupan itu.
***
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dearest Brother, Levi [Desime]
General FictionStory seorang anak laki-laki yang kehidupannya seolah di permainkan takdir. [Notes : Envy sebagai Levi disini anak terakhir. Gue gamau nurut ama di webtoon yang ngenalin dia sebagai kakak kedua setelah Pride. Intinya Envy or Levi itu anak terakhir a...