Avarie (2).

346 52 5
                                    

"Rion, bisa ikut paman sebentar? ada hal penting yang ingin paman sampaikan mengenai Ava" tanya seorang dokter dengan nametag "Kevin Michiel" yang ternyata adik dari ayah mereka.

"Baik paman" ujar Rion sambil mengangguk dan mengikuti ke ruang pribadi pamannya.

"Kami permisi dulu" keempat saudara itu mengangguk.

Sesampainya di ruangan.

Mereka berdua duduk dan saling berhadapan. Hati Rion dari tadi berdebar-debar takut kalau pembicaraan ini akan mengarah ke hal yang buruk. Sang dokter/paman menghela nafas sebelum bersuara.

"Apakah Ava tidak pernah mengatakan sesuatu tentang penyakitnya?" hal pertama yang Rion lakukan adalah membulatkan matanya, terkejut dengan perkataan sang paman.

"Tidak, dia tidak pernah mengatakan apapun. Sebenarnya adikku kenapa paman?" dokter yang berstatus pamannya itu menghela nafas lagi dan memandang Rion dengan tatapan serius.

"Adikmu mengalami kanker otak"

Deg.

"Apa?! kanker otak?! bagaimana bisa?!" Rion berdiri lalu menggebrak meja sambil meninggikan suaranya.

Bagaimana bisa adiknya itu terkena kanker otak?! ini sungguh mengejutkan baginya.

"Rion tenanglah, paman akan berusaha menyembuhkan adikmu" ujar sang paman berusaha menenangkan ponakannya yang sepertinya sangat shok mendengar kabar itu.

"Tapi paman, bagaimana bisa bocah itu tidak memberi tahu salah satu dari kami kalau dia terkena penyakit berat seperti itu, apakah dia sudah bosan hidup, huh?!" Rion mengacak surainya, frustasi.

Ayahnya yang tampak tak peduli.

Urusan perusahaan yang belum selesai.

Levi kabur dan masih belum pulang.

Lalu sekarang Ava terkena kanker otak.

Good, begini amat nasib jadi anak sulung tanpa orang tua.

"Tenang Rion, dia masih bisa sembuh lagian itu baru stadium awal dan paman nanti akan meracik obat untuknya" ujar sang paman sambil mengelus bahu ponakannya yang sedang frustasi.

"Semoga dan terima kasih paman, tidak ada yang tahu masa depan" Rion bangkit dan berjalan ke arah pintu lalu membukanya. Sebelum keluar, di ambang pintu dia menoleh ke arah pamannya yang masih menatap ke arahnya, mengatakan sesuatu lalu pergi meninggalkan ruangan itu.

"Aku percaya kau bisa menyembuhkannya karena kau satu-satunya harapan selain Tuhan, aku permisi."

Kevin tersenyum sendu menatap ke arah pintu yang baru di tutup oleh ponakannya itu. Sungguh, sebuah tanggung jawab besar untuk seorang kakak mengurus enam adik tanpa orang tua.

"Paman tahu kau sekarang sedang frustasi karena kakakku, urusan perusahaan, Levi, juga Ava tapi tidak apa-apa. Bersabar saja karena Tuhan tahu kapan kalian bahagia..."

"Kau hebat Rion."

***

Kini ruangan itu hanya di isi dengan isak tangis yang pilu dari tujuh bersaudara yang sedang mengelilingi ranjang ayah tercinta mereka.

Sesosok pahlawan yang sangat berjasa untuk mereka kini terbaring dengan keadaan pucat dan tak bernyawa lagi. Volentia dari tadi tak henti-hentinya mengucapkan kata ayah membuat saudara-saudaranya menatap sendu ke arah si bungsu keluarga itu.

"Ayah, wajahmu pucat sekali. Volentia buatkan teh hangat ya"

"Lalu setelah itu kita akan bertukar cerita seperti dulu lagi, melepas rindu setelah 3 tahun kalian tidak pulang"

Gadis bersurai putih itu bicara sambil tersenyum manis dan jangan lupakan air mata yang terus membanjiri pipi sehalus tepung itu.

"Ayah...dulu kau berjanji saat 3 tahun yang lalu sebelum pergi akan pulang dengan selamat dan mengajak ku berjalan-jalan seperti dulu lagi. Tapi kenapa kau mengingkar janjimu?" Kin-Chan mengeluarkan suara yang serak karena habis menangis sambil memegangi dadanya yang terasa sesak.

"Ayah, buka matamu kumohon. Kalau ayah membuka matamu Chasty janji akan memijit ayah setiap pulang dari kantor" gadis bersurai blonde itu menangis sambil memegang tangan sang ayah yang dingin.

Sedangkan yang lain hanya diam, sesekali menangis mendengar penuturan adik mereka. Namun, mereka sudah mengikhlas kan kepergian sang ayah walaupun sulit tapi ayah mereka akan lebih tenang kalau mereka mengihklas kan beliau.

Aleah tidak sanggup memberi tahu sang ibu tentang suaminya ini, takut nanti sang ibu terkena serangan jantung apalagi beliau baru sembuh.

Sedangkan Nyonya Jane sudah di pindahkan ke ruangan biasa dan tinggal menunggu beliau siuman.

***

Rion kembali ke ruangan sang adik dan masuk ke dalam. Terlihat Ria sedang menghibur Ava, gadis yang duduk di ranjang itu dengan bibir yang pucat. Acedia sedang tidur di sofa dengan kaki Gurra sebagai bantal.

"Ah kak Rion, kau sudah kembali? apa kata paman Kevin?" Gurra yang pertama kali menyapa. Rion ingin memberi tahu tapi dia mengurungkan niatnya karena ingin bertanya pada Ava terlebih dahulu secara personal.

"Dimana Irra?" bukannya menjawab, Rion malah balik bertanya.

"Di toilet" jawab Ava singkat. Rion hanya mangut-mangut dan mengambil duduk di sebelah kanan Ava [Ria di sebelah kiri].

"Kau merasakan sesuatu? seperti sakit kepala? mual? atau semacam nya?" Ava menggeleng singkat.

Setelah sekitar 12 menit Irra baru keluar dari toilet dan langsung menatap Rion.

"Kak Rion? apa kata paman Kevin?" ah, lagi-lagi saudaranya bertanya tentang hal ini. Itu sudah pasti karena mereka pasti ingin tahu. Sebenarnya tidak seharusnya Rion menyembunyikan ini dulu tapi, dia ingin bicara dengan Ava dulu tentang hal ini baru nanti memberi tahu saudara yang lain.

Rion hanya menatap Irra dengan datar sedangkan yang di tatap hanya menaikan satu alisnya dan duduk di dekat Gurra.

"Kenapa kau menatapku begitu kak?" Rion hanya menggeleng.

"Ini sudah malam, kenapa kalian belum tidur?" tiba-tiba ada yang menyahut dari arah Gurra.

"Ini aku sudah tidur tapi terbangun karena suara berisik sialan" kalian pasti tahu ini siapa dan suara berisik apa yang dia maksud.

"Siapa suruh kau dengar suara berisik sialan itu" sahut Irra setelahnya dia tidak menjawab lagi, karena sudah berada di alam mimpi lagi.

"Ahh aku tidak tahan mau ke toilet sebentar!" ujar Ria lalu langsung ngicir ke toilet.

"Kau sudah telfon ayah?"

"Sudah" jawab Irra singkat sambil membuka ponselnya.

"Apa katanya?" sebenarnya Rion tahu pasti tidak akan di jawab oleh sang ayah namun siapa tahu mungkin kali ini akan di jawab kan?

"Tidak di jawab seperti biasa kak" kata Irra dengan santai, mereka sudah biasa di abaikan begitu oleh sang ayah.

Rion menghela nafas, jujur dia sudah lelah. Ia bersumpah setelah Levi di temukan nanti, dia tidak akan membuat saudaranya bertengkar dan main hukum-hukuman lagi bila perlu dia akan bikin peraturan di rumah itu.

Persetan dengan ayahnya nanti karena Rion tahu sang ayah akan marah jika si sulung asal buat peraturan tanpa persetujuan dari beliau. Rion tidak peduli, si tua itu saja tidak peduli lagi dengan mereka lalu untuk apa dia peduli dengan perkataan ayahnya itu?






***

Tbc.

Dearest Brother, Levi [Desime]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang