Malam ini Levi sibuk berkutat dengan buku-buku sialan karena sebentar lagi dia akan memasuki UN. Artinya bocah ini harus lebih giat lagi dalam belajar agar lulus. Levi tidak mau mengecewakan keluarganya yang sudah susah payah mencari uang untuk membiayai sekolahnya.
Tok...Tok...Tok
Terdengar suara ketukan dari luar pintu. Konsentrasi Levi dalam belajar jadi terganggu karena suara ketukan pintu tersebut. Mulut mungilnya menggeram kecil sambil membuka pintu menampilkan sosok gadis dengan senyuman bodohnya, menurut Levi.
"Ayo turun untuk makam malam, yang lain sudah menunggu" ajak Ria sambil menarik pergelangan tangan sang adik.
Dengan cepat Levi melepaskan nya mengundang kebingungan untuk Ria.
"Kenapa, dik?" tanyanya dengan lembut.
"Kakak duluan saja. Tugasku masih banyak" saat hendak menutup pintu tangan Ria menghalangi. "Makan dulu baru belajar!"
Terpaksa Levi menuruti perkataan sang kakak. Ia melangkah kecil mengikuti Ria dari belakang. Dua saudara itu menuruni anak tangga menciptakan suara di tengah-tengah kesunyian. Semua pasang mata menatap kedua saudara yang sedang turun ke bawah.
"Maaf lama kak" kata Ria sambil mengambil duduk di depan Gurra.
"Hm" balas Rion yang sedang mengambil lauk di depan Acedia. Tampak Rion kesulitan untuk mengambil lauk tersebut tapi Acedia seperti tidak mengerti membuat Rion kesal.
"Hei pemalas, kau ini bodoh atau bagaimana? sudah tahu orang kesulitan bukan nya di bantu malah di lihatin saja!" geram Rion sedangkan Acedia hanya memutar bola mata.
"Aku bukan orang peka kak. Jika kau mau aku bantu maka katakan jangan seperti ini" balasnya dengan nada santai membuat Rion semakin kesal.
"Aku tahu kau bukan orang yang peka tapi masa kau tidak bisa menebak padahal itu sudah ada di depan mata? itu bodoh namanya Acedia Bart!" bentak Rion. Jika si sulung sudah menggunakan nama panjang maka dia benar-benar sedang marah saat ini.
"Iya, maaf" Acedia mengalah karena malas berdebat dengan sang kakak. Manik ungu itu memperhatikan si bungsu yang dari tadi menatap makanan nya dengan tidak nafsu.
"Kau kenapa? makan makanan mu"
"Aku tidak nafsu kak"
"Kalau begitu kenapa kau makan. Tidak perlu makan jika begitu" jawab Acedia, acuh. Levi yang mendapat jawaban seperti itu hanya tersenyum miris. Dia sudah biasa di perlakukan seperti ini bahkan sebelum Ava meninggal, sebelum dia kabur dari rumah, dan setelah sang ibu meninggal.
Levi sudah biasa menerima ini semua bahkan perlakuan yang lebih menyakitkan tapi kenapa hanya dengan kata-kata seperti ini terasa jauh lebih menyakitkan? bahkan lebih menyakitkan daripada pukulan sang ayah, bentakan Rion, amarah Irra, sindiran Acedia, rasa tidak peduli Avarie. Kenapa ini terasa lebih menyakitkan?
"Kalau begitu kenapa kau makan. Tidak perlu makan jika begitu"
Padahal hanya dengan kata-kata ini hatinya terasa seperti di sayat berkali-kali. Luka lama yang mulai tertutup karena permintaan maaf dan kata-kata manis sang kakak sebelumnya kini terbuka lagi hanya dengan sifat acuh dan rasa tidak peduli dari sang kakak.
Dulu Gurra dan Ria lah yang menjadi penyemangat si bungsu kala yang lain memperlakukan nya dengan buruk tapi sekarang? Gurra bahkan acuh padanya entah apa salah si bungsu hingga Gurra tega seperti itu. Jika Ria masih peduli dengan Levi contohnya saja dia mau memanggil Levi untuk makan malam dengan lembut seperti biasa.
Kemana kata-kata mereka dulu yang akan berubah? berubah menjadi lebih baik atau lebih buruk? Ah, sepertinya Levi salah mengartikan waktu itu. Mungkin maksud kakak-kakaknya waktu itu adalah 'Berubah menjadi lebih buruk' hanya saja si bocah naif ini salah mengartikan nya dan dengan mudah memaafkan mereka begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dearest Brother, Levi [Desime]
Ficção GeralStory seorang anak laki-laki yang kehidupannya seolah di permainkan takdir. [Notes : Envy sebagai Levi disini anak terakhir. Gue gamau nurut ama di webtoon yang ngenalin dia sebagai kakak kedua setelah Pride. Intinya Envy or Levi itu anak terakhir a...