Kantin (2).

283 45 8
                                    

Flashback.

Acedia sedang berjalan sambil menenteng sekantong plastik berisi makanan. Saat hendak keluar dari kantin dengan cerobohnya gadis itu menginjak lantai yang baru di pel dan hampir membuatnya jatuh terpeleset.

Dia sudah pasrah jika harus jatuh dan di tertawakan oleh banyak orang yang berada di kantin ini. Namun, hal itu tidak terjadi karena dia merasa ada lengan yang menahannya sehingga dirinya tidak terjatuh. Acedia bersyukur bahwa dirinya ini tidak jadi terjatuh di depan banyak orang.

Acedia melirik ke arah pemilik lengan yang sudah berbaik hati menolongnya.

Tapi, dari sekian banyaknya orang di sini kenapa yang menolongnya adalah pemuda bersurai orange ini?! dengan cepat Acedia berdiri lalu melirik orang di sekitarnya.
Tidak sedikit orang-orang berbisik tentang nya, memangnya kenapa? hanya karena menolong seperti di film-film lantas ia langsung jadi topik pembicaraan begini?
huh, dasar manusia tukang gosip!

"Nona, ku rasa kau tahu jika kita sedang berjalan harus memperhatikan jalan dan tidak boleh ceroboh. Kasihan tubuhmu pasti akan sakit jika aku tidak sempat menahanmu tadi, lain kali jangan ceroboh lagi ya!"

"Aku duluan Nona" katanya sambil melambaikan tangan dan tersenyum.

Gadis bersurai ungu dan bermata ungu itu menatap datar ke arah punggung yang semakin menjauh, kenapa dia seperti peduli sekali dengan Acedia?

Sudahlah, toh gadis ini tidak peduli juga. Dia bahkan sudah tidak memperdulikan bisikan-bisikan itu lagi.

Ah, Acedia bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih tadi. Tapi pria itu juga pasti ikhlas menolongnya bukan karena semata-mata agar mendapatkan ucapan terima kasih.

Tapi kalau boleh jujur saat ini.....


Acedia malu sekali.

Flashback off.

***

Pintu terbuka menampilkan dua Tuan muda di rumah megah dan mewah ini. Semua pembantu menunduk saat menyambut kedatangan dua pria yang satunya hanya menatap lurus ke depan sedangkan yang satunya lagi tersenyum ke semua pembantu.

Rasanya sudah sangat lama Levi tidak menginjakan kakinya di rumah ini. Jujur saja, bocah itu rindu dengan semua yang ada di rumah ini. Tapi, serindu-rindunya dia dengan rumah ini tidak akan mengalahkan rindunya kepada sang ayah yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu dengan bocah ini.

Pertemuan terakhir mereka sangat buruk, Levi hanya tersenyum miris ketika mengingatnya.

"Selamat datang lagi, Tuan muda" sapa bi Emma selaku kepala pelayan dengan ramah saat mereka sudah masuk ke dalam rumah. Levi yang di maksud kepala pelayan itu hanya tersenyum manis ke arah bi Emma membuat wanita paruh baya itu sedikit terkejut pasalnya Tuan mudanya yang satu ini sangat jarang bahkan hampir tidak pernah tersenyum semanis ini semenjak kematian Nyonya Bart.

"Iya, terima kasih bi. Tolong siapkan aku air hangat ya? badanku ini sudah bau" wanita paruh baya dan putra sulung keluarga Bart itu hanya terkekeh mendengar penuturan si bungsu. Bi Emma mengangguk dan langsung pergi menyiapkan air hangat.

"Kak, besok jadwal siapa?"

"Aku dan Irra, kau akan bertugas besoknya lagi dengan kakak resemu itu" bocah bersurai hijau itu tampak bingung dengan kata 'kakak resemu' siapa yang di maksud Rion? setaunya ke enam kakaknya ini rese semua.

Nyadar jika adiknya tampak bingung, pemuda berkaos hitam itu langsung membenarkan kata-katanya. "Maksud kakak, kau dan Ria" Levi mengangguk-angguk tanda ia mengerti.

"Kenapa harus sama kak Ria sih?" batin Levi dengan kesal, pasti kakak bungsunya bakal bikin kepala pusing lagi dan Ava tambah sakit jika hal itu terjadi, bagaimana Levi bisa mengatasinya?

"Tuan muda, airnya sudah siap" Levi mengangguk lalu melenggang pergi dari hadapan semua orang menuju kamar yang sudah lama tidak dia tempati semenjak kabur.

Kriet...

Pintu kamar terbuka menampilkan kamar yang bernuansa hijau pastel dengan sedikit hiasan-hiasan yang lucu, itu pemberian ayah dan ibunya saat dia masih berumur 5 tahun. Masih di simpan nya dengan baik sampai dia berumur 14 tahun.

Matanya menelusuri setiap sudut kamarnya sendiri, menatap semua figur mainan miliknya, meja belajarnya, kasur empuknya, lemari besarnya, sampai manik merah keunguan itu berhenti di sebuah foto kecil yang di pajang di ujung sudut kamar.

Kakinya melangkah mendekati foto kecil yang memiliki banyak kenangan tersendiri menurutnya. Di dalam sana terdapat sembilan orang sedang berdiri dengan gaya yang berbeda-beda. Ada yang sedang makan snack, bermain game, membuat gaya lucu dengan wajahnya, bergaya seolah siap untuk meninju seseorang, membentuk huruf V di tangannya, dan lain-lain.

Atensinya teralihkan pada gambar seorang wanita berambut hitam legam yang sedang menggendong seorang bayi bersurai hijau. Levi tahu, bayi itu adalah dirinya dan wanita itu adalah orang yang selama ini ia rindukan melebihi apapun. Ibu tercintanya, Hana.

Tanpa di sadari sebulir air mata terjun bebas di kelopak mata Levi membayangkan saat-saat menyenangkan bersama dengan sang ibu, begitu banyak kenangan indah yang beliau tinggalkan membuat hati Levi sakit saat teringat kembali.

Mengapa waktu bersama mereka terasa sangat singkat? jika Levi adalah Aladdin maka dia akan meminta Jin itu untuk mengembalikan ibunya lagi.

Di elusnya gambar wanita itu sebelum mendengar suara ketukan dari arah pintu.

Tok...Tok...Tok

Dengan cepat Levi menghapus air matanya dan membuka pintu, dia tahu siapa ini. Siapa lagi kalau bukan kakak tertuanya?

Kriet...

"Ada ap-" belum sempat menyelesaikan kata-katanya pemuda yang ada di hadapan nya ini langsung masuk ke dalam kamarnya tanpa meminta izin sang pemilik.

"Hei kak, minta izinlah dulu sebelum masuk dasar tidak sopan!" pemuda itu duduk di tepi ranjang. "Aku izin masuk"

"Telat! hah, sudahlah ada apa kakak ke sini? bukannya kakak sudah berangkat untuk mengurusi pekerjaan?" bukan nya menjawab, pemuda berumur 26 tahun itu malah menyuruh adiknya menutup pintu dan duduk di sebelahnya.

Levi tidak mau di cap sebagai adik kurang ajar lagi maka dari itu dia langsung menuruti perkataan sang kakak. Menutup pintu lalu duduk di sebelah kakaknya. Rasanya canggung jika begini, kenapa kakaknya ini diam saja? bicara kek biar suasana tidak terlalu canggung.

Karena kakaknya ini masih belum mengeluarkan suara sedikit pun akhirnya Levi yang mengalah dan mencoba memulai pembicaraan tapi belum sempat dia bicara sang kakak langsung angkat suara.

"Maaf"

"Eh?"






***

Entah kenapa aku akhir-akhir ini suka up malem-malem gais :")

~

Tbc.

Dearest Brother, Levi [Desime]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang