Rion tidak henti-hentinya mengucapkan kata terima kasih pada sosok wanita tua yang dia ketahui telah menolong adik bungsunya. Rion tidak menyangka kalau adiknya masih hidup bahkan di tolong oleh seorang nenek-nenek.
"Terima kasih banyak, nek."
Sang nenek tersenyum. "Sudah jangan berterima kasih lagi. Tidak apa-apa, nak."
"Untung ada nenek kalau tidak mungkin adik bungsu kami ini sudah terbang ke langit ketujuh menemui sang pencipta." celetuk Acedia membuat Levi mencubiti lengan kakaknya. Acedia meringis akibat cubitan Levi setelah itu dia kembali mengatur raut wajah.
"Bukan nak, aku tidak menolongnya ketika dia masih di sekolah. Aku dan suamiku hanya menolong menguburkan temannya dan memberinya tempat tinggal." sangkal sang nenek, Acedia dan Rion saling pandang.
"Mengubur temannya?" koreksi Rion.
"Ya."
"Nenek mau pulang sekarang?" tanya Levi mengalihkan pembicaraan. Dia tidak mau kedua kakaknya menanyakan soal Ard. Levi tidak mau kejadian itu kembali berputar di fikirannya, itu akan membuat dia semakin tidak bisa mengikhlaskan Ard.
"Iya nenek ingin pulang sekarang. Jaga dirimu baik-baik ya." Levi mengangguk dia tahu perkataan itu tertuju untuk dirinya.
"Ingin aku mintai supir untuk mengantar nenek sampai rumah?" tawar Rion.
"Tidak perlu, terima kasih." tolaknya lembut.
"Mari nek, aku antar sampai gerbang." Levi menawarkan diri.
"Baiklah."
.
.
Sampai di gerbang Levi melambaikan tangan kepada sang nenek yang sudah berjalan keluar gerbang sambil berteriak. "TERIMA KASIH!"
Nenek itu menoleh lalu tersenyum tanpa menjawab sedikit pun. Ia kembali berbalik dan melanjutkan perjalanannya. Levi juga ikut berbalik menuju pintu utama, dia ingin istirahat karena seluruh tubuhnya terasa remuk. Levi berdoa semoga setelah ini Rion dan Acedia tidak akan mengintrogasinya terlebih dulu apalagi bertanya mengenai mengubur teman itu.
Tap... Tap... Tap
Langkah kaki Levi terhenti kala suara Rion terdengar dari sofa ruang tamu. Ah, Levi tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Sudahlah Levi hanya mampu menyerahkan diri pada Tuhan, dia pasrah. Terserah saja, terserah.
Bocah berusia 14 tahun itu duduk di sofa lebih tepatnya duduk di sebelah Acedia dengan Rion di depan mereka. "Kenapa tidak telpon kami?"
Levi terdiam lalu kemudian menjawab. "Ponselku terjatuh ketika melarikan diri."
"Kenapa tidak pinjam ponsel orang saja atau ponsel nenek itu? kau tahu betapa cemasnya kami? aku merasa hampir gila karenamu." kesal Rion bahkan dia tidak sadar kalau barusan dirinya berbicara dengan sangat cepat.
"Kami? apakah kak Irra dan kak Gurra juga mengkhawatirkan diriku?" batin Levi.
"Aku tidak hafal nomor kalian. Kalian terlalu banyak dan aku malas menghafalnya." jawab Levi terlalu lempeng membuat Rion ingin mengutuk sang adik menjadi kodok hijau.
"Setidaknya hafalkan nomor salah satu dari kami biar kau bisa meminta tolong kalau butuh bantuan suatu saat nanti." Rion mengangguk menyetujui ucapan Acedia.
"Jika aku menghafal nomor kakak, memang kau mau mengangkatnya? pasti kau lebih memilih melanjutkan gamemu daripada mengangkat telpon dariku." sinis Levi.
"Hafalkan saja nomor kakak." Rion menengahi sebelum terjadi perkelahian disini.
"Hm."
"Jujur aku pikir kau tidak selamat waktu itu aku hampir kehilangan akal karena tidak dapat menemukanmu. Tapi syukurlah kau selamat dan bisa pulang dengan keadaan utuh tanpa terpisah dengan anggota tubuhmu yang lain."
"Hm."
Lagi, Levi hanya menjawab super singkat sebab dia mendadak tidak mood berbicara.
"Ngomong-ngomong soal ucapan nenek tadi apa maksudnya menguburkan temannya?"
Levi terdiam mendengar pertanyaan Rion, Rion dan Acedia pun ikut membisu menunggu jawaban dari si bungsu yang tidak minat mengeluarkan suara sedikit pun.
"Jangan tanya soal itu. Aku sedang mencoba mengikhlaskan dirinya. Jangan buat aku terus kepikiran." setelah mengatakan kalimat itu bocah bersurai hijau ini langsung melenggang pergi menuju kamar meninggalkan kedua kakaknya yang sedang menatap dirinya di sofa ruang tamu.
"Sepertinya kau salah bicara kak."
"Ya. Nanti aku akan mengajaknya bicara lagi."
"Aku ke dapur dulu."
"Untuk?" Rion menatap netra ungu sang adik.
"Meminta pembantu membuatkan Levi makanan. Aku tahu dia pasti ingin makan."
Rion mengangguk.
Acedia melenggang pergi menuju dapur yang letaknya tidak terlalu jauh dari ruang tamu. Netra biru sian itu masih terus menatap punggung sang adik sampai akhirnya dia tersenyum kecil sambil bergumam,
"Jika begini, tinggal Gurra yang harus aku urus. Kira-kira kemana anak itu ya."
***
Chapter kali ini lumayan sedikit dulu soalnya aku gak bisa bikin panjang-panjang kayak chapter yang lain sorry banget ya, tapi ini tetep aku bikinin buat kalian meski gak panjang.
See you in the next chapter!💛
KAMU SEDANG MEMBACA
Dearest Brother, Levi [Desime]
General FictionStory seorang anak laki-laki yang kehidupannya seolah di permainkan takdir. [Notes : Envy sebagai Levi disini anak terakhir. Gue gamau nurut ama di webtoon yang ngenalin dia sebagai kakak kedua setelah Pride. Intinya Envy or Levi itu anak terakhir a...