Maaf (2).

362 50 23
                                    

Keadaan warung yang kini semakin sepi tambah membuat suasana menjadi canggung. Levi melirik ke depan, melihat ketiga kakaknya yang tengah menunggu jawaban darinya. Ia menoleh ke sebelah melihat pemuda bersurai orange dan gadis bersurai merah muda pastel yang menatapnya sambil tersenyum kecil.

"Kakak minta maaf, kalau misalnya selama ini suka cuek dengan kalian" Acedia memecahkan kecanggungan di meja pojok ini.

Levi menatap Acedia dengan tidak percaya karena kakak pemalas ini sangat jarang bahkan mustahil mengatakan hal seperti itu paling dia hanya akan meminta maaf dalam hati dan di pendam, tidak lebih.

"Kakak juga minta maaf selama ini terlalu fokus pada pekerjaan sampai tidak memperhatikan mu, maafkan kakak ya?" netra merah keunguan itu berganti menatap pemuda bersurai putih yang kini tersenyum sedih ke arahnya, membuat Levi tidak tega.

Levi senang karena kakak-kakaknya menyadari kesalahan mereka selama ini tapi kenapa Irra belum mengatakan sesuatu? saat sampai di warung ini dia hanya diam, sedari tadi yang bicara hanya kak Rion, kak Acedia dan dua saudara di sebelah Levi.

Irra menatap manik indah sang adik, terbesit rasa menyesal di hatinya kala mengingat bagaimana dulu dia menghukum sang adik, keterlaluan? tentu saja. Bukan hanya Irra tapi yang lain juga keterlaluan tapi setidaknya Gurra dan Ria masih peduli padanya.

"Ayo pulang, kakak rindu dan maaf..."

Manik merah keunguan itu meloloskan air mata setetes demi setetes dan tak terasa menjadi deras, dia merasa malu menangis di depan orang karena selama dia hidup, Levi tidak pernah menangis di depan umum kecuali pada saat kematian sang ibu.

Acedia yang berada di depannya dengan cepat menghapus air mata sang adik dengan lembut membuat Levi terkesiap menatap tak percaya ke arah kakak ketiganya.

"Sudah jangan menangis, kau jelek" dia ini mau menenangkan adiknya atau mengejek sih?

Levi tersenyum manis lalu mengangguk, melihat senyum manis di wajah sang bocah bersurai hijau itu membuat mereka semua ikut tersenyum. Jujur saja, kata Argent selama mereka tinggal bersama Levi, tidak pernah melihat Levi tersenyum manis begitu. Hari ini adalah yang pertama kalinya pemuda bersurai orange itu melihat Levi tersenyum manis.

"Mau memaafkan kami dan ikut kami pulang? kakak rakus dan kakak mesum mu itu hampir gila karena merindukan mu tau" ujar Acedia yang kembali dalam mode datar.

"Iya, aku sudah memaafkan kalian, kita saudara jadi sudah pasti aku tidak akan menolak pulang bersama kalian"

"Lalu apa maksudmu kakak rakus dan kakak mesum mu itu hampir gila karena merindukanmu tau? jadi hanya mereka yang merindukanku? kalian tidak?"

Levi menaik turunkan dua alisnya, berniat menggoda sang kakak. Sudah lama mereka tidak saling goda seperti ini sejak kematian sang ibu di tambah sejak dua tahun yang lalu.

Namun, bukannya Acedia yang menjawab melainkan Irra yang menjawab.

"Kalau kau mau tau ayo kita ke kamar Avarie saja, biar kita bicarakan hal itu di sana dua orang ini juga pasti punya urusan masing-masing bukan? maaf sudah membuang waktu kalian" Argent menggeleng.

"Tidak apa-apa Tuan dan Levi jangan kabur lagi ya! selesaikan masalahmu secara baik-baik, okay?" bocah itu hanya mengangguk.

"Ah,...dan kau Phaysie tetaplah duduk di sini ada yang ingin ku bicarakan denganmu. Kalian pergilah duluan nanti aku menyusul" semua orang mengangguk kecuali Phaysie. Gadis itu tahu kalau Irra akan melakukan hal ini jadi dia sudah mempersiapkan jawaban apa saja yang akan dia lontarkan nanti saat di tanya-tanya.

Semua orang telah pergi menyisakan dua insan di meja pojokan. "Ke depanku sini Phaysie" tanpa di perintah dua kali Phaysie langsung menuruti apa kata Irra, takut kalau pemuda ini akan marah, mengingat orang ini suka marah.

Dearest Brother, Levi [Desime]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang