"Kesempatan nggak akan datang dua kali"
-Hanbin,2020-Jeni berdecak kesal. Pasalnya, kakaknya-Mino- tidak bisa dihubungi, padahal sekarang ia sedang sangat membutuhkan bantuan Kakaknya itu. Jeni mencoba menghubunginya berkali-kali, namun tetap saja Kakaknya itu sama sekali tak mengangkat satupun panggilannya. Ck, paling lagi di rumah Kak Irene.
"Mbak, mohon maaf ya. Ini gimana pembayarannya?" Tanya seorang pelayan cafe kepada Jeni, ini sudah kali ketiga pelayan itu bertanya. Ya, Jeni sedang makan di cafe yang cukup terkenal. Dan sialnya, ia tidak membawa dompet. Makanya sekarang ini dia butuh bantuan. Betapa tak beruntungnya Jeni hari ini, semua sahabat-sahabatnya juga tak ada satupun yang bisa dihubungi.
"Bentar ya, Mbak. Ini saya lagi ngehubungin orang" Jeni masih sibuk dengan gawainya, mencoba menghubungi siapapun yang ada di kontaknya.
Pelayan cafe itu mulai jengah juga, ia berkali-kali bertanya namun tetap seperti itu saja responnya. "Mbak mohon maaf ya, kerjaan saya juga banyak. Nggak cuma nunggu gini, Mbak"
Jeni tetap diam, menghubungi Mami dan Daddynya yang masih berada di luar negeri. Meskipun ia tau itu mustahil jika mereka mengangkat panggilannya, karena mereka sedang sibuk mengurusi perusahaan.
"Mbak gimana? Mbak sebenarnya niat bayar apa nggak?" Pelayan itu mulai kesal menunggu. Nada bicaranya pun sudah mulai agak tinggi.
"Ya sabar dong mbak. Gue kelupaan naruh dompet dimana. Ini lagi nelfonin orang rumah" Jeni mencoba untuk tetap sabar. Ia tau dirinya yang salah.
"Emang bener ya, zaman sekarang tuh penampilannya aja yang kayak orang kaya. Gengsi makan di tempat mahal, tapi aslinya nggak ada uang" Jeni udah emosi, apalagi semua orang melirik ke arahnya. Persetan dengan perihal Jeni yang salah atau bukan. Perempuan ini udah kelewat batas.
Jeni berdiri. "Eh ngomong yang sopan dong, restoran ini aja bisa gue beli" Ucap Jeni lantang, ia kesal harga dirinya di rendahkan.
"Ya kalo ngerasa bisa ngebeli restoran ini kenapa bayar makanan aja nggak bisa, Mbak?" Perempuan ini benar-benar udah bangunin singa tidur.
Jeni udah mau maju ke depan, ngejambak pelayan perempuan ini. Namun ada laki-laki yang tiba-tiba menarik tangan Jeni untuk mundur.
"Berapa totalnya, Mbak?" Tanya laki-laki itu pada pelayan.
"Tiga ratus lima puluh dua, Mas" Laki-laki itu mengambil dompet di sakunya dan mengeluarkan empat lembar uang seratus ribuan. "Kembaliannya ambil aja, Mbak"
Jeni kaget, ia merasa tak mengenal laki-laki ini. "Eh gue sanggup ya bayar sendiri"
Laki-laki itu menatap Jeni, kemudian menaruh jari telunjuk di bibirnya. "Sssttt" Karena merasa semua pasang mata di ruangan ini menatapnya, Jeni keluar cafe dengan perasaan sangat malu. Nggak ada di kamus keluarga Punjabi ngalamin kejadian kayak gini. Jeni benar-benar malu, pingin rasanya menghilang saat ini juga.
——-
Laki-laki itu mengejar Jeni. Mencekal tangannya, agar perempuan itu berhenti.
"Apa sih?" Tanya Jeni ketus, ia hari ini sangat kesal. Pengen ngamuk aja rasanya.
Laki-laki itu menahan senyumnya. "Nggak mau bilang makasih?"
Jeni memutar bola matanya. "Makasih" Jeni dengan cepat menuruti laki-laki itu, ingin cepat pulang.
Jeni ingin pergi, namun laki-laki itu mencegahnya lagi. "Eh, tunggu.." Jeni menatap seolah mengatakan 'apa lagi sih?'
"Emm..gue Hanbin" Laki-laki itu diam sejenak. "Kapan ka..eh, lo ganti uang gue?" Tanya Hanbin agak gugup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blackvelvet
No FicciónA story nine girls with her boyfriends Start : 26 Maret 2020 End : -