Suasana mobil terasa canggung. Mino sama sekali tak membuka suaranya. Irene melirik laki-laki yang tak biasanya diam itu. Ia menghela nafasnya. "No, kamu marah sama aku?" Mino masih diam, ia terlalu fokus dengan jalan raya. "Aku kan udah minta maaf sama kamu, No. Aku terpaksa ikut soalnya kemarin mau hujan" Mino masih tak bergeming, laki-laki itu tetap pada pendiriannya untuk diam. Hampir tiga tahun mereka pacaran, tak pernah sekalipun Mino marah pada Irene. Jika Mino sampai marah seperti ini, berarti kesalahan yang diperbuat Irene sudah sangat fatal.
Sampai akhirnya mobil Mino sampai di parkiran sekolah, ia masih diam. Mereka sama-sama diam di dalam mobil. "No, kenapa jemput kalo cuma mau diemin aku?" Irene menggoyang-goyangkan lengan Mino, berharap jika laki-laki itu mau membuka suara.
Mino menghela nafasnya dalam. "Kamu ngerti nggak sih, Rene?" Ia menatap Irene, "Aku itu kecewa sama kamu, kenapa sih kamu nggak jujur sama aku?"
"A..aku takut kamu marah, No" Lirih Irene sebagai alasan.
"Oke, kamu takut aku marah. Tapi sebelumnya kenapa kamu nolak jemputan aku dan milih bareng Suho, padahal kamu tau sendiri aku lagi di jalan buat jemput kamu?" Irene terdiam tak menjawab, ia menunduk karena merasa sangat bersalah, "See, kamu nggak bisa jawab kan?" Mino terkekeh.
"Dia cuma temen sekelas aku, No" Irene masih beralibi, ia ingin Mino percaya padanya.
Mino meremas rambutnya, ia kesal Irene tak kunjung mengerti maksutnya. "Kamu tau nggak kalo dia sama kamu?" Irene terdiam bingung. Ia sama sekali tak tahu mengenai ini. "Percaya atau nggak, dia pernah bilang aku nggak pantes buat kamu" Irene sedikit tak percaya, pasalnya ia yakin Suho bukan orang yang seperti itu.
"Nggak mungkin, No. Suho bukan orang kayak gitu" Irene merasa sangat mengenal teman sekelasnya itu.
Mino tak membalas ucapan Irene, melainkan langsung mengambil tas ranselnya di kursi belakang. "Masuk kelas gih, keburu telat" Ucapnya pada Irene namun sama sekali tak menatap lawan bicaranya. Mino membuka pintu mobilnya, kemudian keluar. Sebelum pergi ia membuka suara. "Kamu tanya kan tadi kenapa aku jemput kamu?" Mino mengulang pertanyaan Irene tadi. "Aku nggak mungkin lepas tanggung jawab aku ke kamu cuma karena lagi marah. Tenang aja, Rene. Aku akan tetep antar jemput kamu meski kita lagi marahan, aku bukan cowok pengecut" Setelah mengucapkan itu Mino melenggang pergi, menyisahkan Irene dengan rasa bersalahnya.
•••
Irene berjalan santai menuju kelasnya, ia baru saja dari perpustakaan. Saat akan melewati lorong kelas IPS, ia melihat Mino sedang bersama dua perempuan. Karena Irene merasa ingin tau, akhirnya ia bersembunyi di balik tembok yang tak jauh dari keberadaaan mereka. Cukup untuk mendengarkan pembicaraan mereka.
"No, katanya lo lagi marahan ya sama Irene?" Tanya seorang perempuan pada Mino.
"Lo tau darimana?" Tanya Mino balik, tak tau mengapa gosip ini cepat sekali menyebar.
Perempuan kedua tertawa. "Semua orang udah tau kali, banyak yang pengen kalian putus" Bahu Irene merosot mendengarnya, ia siap menyimak lagi. "Lagian Irene matre banget sih. Apa-apa minta sama lo" Perempuan itu mendengus. "Lo nya juga sih, main iya-iya aja. Mentang-mentang Irene cantik"
Perempuan pertama mengangguk. "Lagian lo nggak males apa direndahin Suho? Harga diri, No"
Mino santai menanggapi. "Sejak kapan Irene matre?"
"Lah kan liat aja di Instastory atau postingan lo. Malem-malem bawa makanan buat Irene, sering beliin Irene macem-macem lah"
Mino tertawa renyah menanggapi. "Emang salah ya gue ngasih dia sesuatu sebagai rasa terimakasih gue ke dia yang tiap harinya bikin hidup gue bahagia?" Kedua perempuan itu nampak kicep. "Gue juga mampu ngasih, duit gue banyak. Apa masalahnya?" Kedua perempuan itu masih diam tak menjawab. "Toh uang orangtua gue yang bertrilyun-trilyun itu nggak akan habis cuma buat beli sesuatu yang nggak seberapa harganya"
KAMU SEDANG MEMBACA
Blackvelvet
Non-FictionA story nine girls with her boyfriends Start : 26 Maret 2020 End : -