Klarifikasi
Sebenarnya mengomentari ngaj menghujat. justru dia ngomong baik-baik dan nyaranin author buat nggak nulis tema hamil duluan. karena zina kan dosa jadi jangan sampai memberi contoh nggak baik.
Tapi berhubung author lagi hamil jadi mudah baperan.
Jujur author sempat down, karena ini masalah agama yang dibahas. author jadi merasa gimana ya
Susah menjelaskan.
Agama itu hal yang sensitif untuk dibahas dimanapun kita berada.
Ya, author sadar zina itu dosa. dan Alhamdulillah author nggak pernah zina.
Tapi jujur author sempat down
Author merasa bukan penulis yang baik
Tapi berkat supportnya readers yg begitu hebatnya, author bangkit
Oke
Ini karya gue
Mau gue bikin itu tokoh hamil diluar nikah. Bunuh-bunuhan. Suka-suka gue.
😂😂😂😂😂
Dan akhirnya berkat readers setia author kembali up
👏👏👏👏
Thanks readers tercinta, semuanya love you 😘😘😘😘
Karya ini aku persembahkan untuk menghibur kalan
Semoga syuka.
***
Senja mengamati Wahyu yang duduk diKursi paling belakang.
"Kamu naksir juga sama Wahyu?" Suara Rustom mengalihkan perhatian Senja. Kini Senja menoleh ke arah Rustom yang duduk disampingnya.
"Orang itu memang warga kelas kita ya? Seingat aku selama hampir setengah tahun kita dikelas ini, nggak ada tuh wajah dia."
"Wahyu kan emang baru beberapa hari ini pindah ke kelas ini."
"Nah kan benar dugaan ku. Dia itu siswa pindahan," ujar Senja yang merasa tebakannya waktu itu tepat dan benar. "Pindahan dari sekolah mana?"
"Pindahan dari kelas IPA 1."
Senja mengerutkan kening bingung. "Maksud kamu itu bagaimana ya? Kok aku sama sekali nggak mengerti?"
"Hmm. Istilahnya pertukaran pelajar gitu. Tapi ini pertukaran pelajarnya antar kelas. Dari kelas IPA ke IPS," jelas Rustom.
"Kok bisa begitu?" Tanya Senja heran.
"Ya aku juga nggak tau sih." Hening sejenak. "Tapi ini aku masih penasaran, kamu naksir atau nggak sama Wahyu?"
Senja menggeleng. "Terlalu tinggi untuk dijangkau."
Rustom menghela nafas lega. Senja menatap Rustom ngeri. "Jangan bilang kamu yang naksir Wahyu."
Rustom tersenyum salah tingkah. "Kelihatan ya?"
"Tapi kan kamu cowok," ujar Senja tidak percaya.
"Cowok kan juga punya hati dan hak untuk jatuh cinta pada siapapun, Sen," ujar Rustom membela diri.
Senja menoleh ke arah selangkangan Rustom. Bergidik ngeri membayangkan ada orang yang main perang-perangan.
"Senja," sebuah panggilan membuyarkan pikiran Senja akan hal yang berbau aneh. Senja menoleh ke arah si pemanggil yang berdiri tepat di sampingnya, Wahyu.
"Mulai sekarang aku akan menjadi guru les pribadi kamu," ujar Wahyu tanpa ada kalimat basa basi.
Senja mengerutkan kening bingung. "Untuk?"
"Permintaan pak Dolan. Menurut beliau nilai kamu paling memprihatikan dari siswa lain dikelas ini, jadi jika kamu ingin lulus dari sekolah ini, kamu harus memperbaiki nilai kamu," jelas Wahyu.
Senja menggeleng. "Kamu nggak perlu repot-repot, aku sudah punya Raina yang bisa menjadi guru les pribadi aku."
Wahyu menyodorkan sebuah kartu seukuran ktp. "Ini ATM milik aku. Isinya kamu bisa cek sendiri berapa nanti. Jika kamu bersedia menjadi murid lesku. Maka aku bisa memberitahu kamu berapa nomor pinnya. Dan kamu bebas membeli apa saja dengan ATM ini."
Sontak Senja langsung berdiri. "Setuju!"
Senja langsung menjabat tangan Wahyu dengan semangat, setelah itu melepaskan jabatannya begitu saja. Wahyu hanya bisa menatap tangannya dengan tatapan seolah ada ribuan kuman yang menghinggapi tangannya.
Senja mengambil kartu ATM yang diberikan Wahyu dengan tatapan berbinar-binar. "Shopping, shopping."
"Nomor ponsel."
Senja langsung menoleh ke arah Wahyu dengan tatapan menyelidik. "Untuk apa?"
"Kamu perlu nomor pinnya kan?" Tanya Wahyu dengan wajah datar.
Sontak Senja langsung mengambil buku dan pulpen milik Rustom, siap mencatat nomor ponsel miliknya.
"Sebutkan saja, aku bisa menggapainya dengan mudah," ujar Wahyu yang tidak ingin berlama-lama menunggu Senja mencatat nomor ponsel.
"081350119999," jawab Senja dengan begitu cepat.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Wahyu melangkah kembali menuju tempat duduknya. Sementara Senja kembali menatap ATM pemberian Wahyu dengan tatapan haru.
Rustom dan beberapa teman-teman yang ada di kelas hanya bisa menyaksikan kejadian itu dengan tatapan tidak percaya.
***
Raina dan Senja berjalan bersama menuju meja makan. Raina duduk di samping sang ayah, sementara Senja duduk di samping sang ibu.
"Bagaimana Jurnal Penelitian yang papa berikan kemarin?" Tanya sang ayah yang sudah jelas ditunjukan untuk Raina.
Raina tersenyum. "Jurnalnya menarik."
"Kamu sudah selesai membacanya?" Tanya sang ayah memastikan.
"Tentu saja. Hal menarik seperti itu harus dibaca hingga tuntas," jawab Raina.
Sang ayah tersenyum bangga.
"Ck. Untuk apa membicarakan tentang jurnal saat sarapan? Sungguh pembicaraan yang tidak berbobot," komentar sang ibu yang kurang suka mendengar topik pembahasan sang suami dan anak.
"Memang hal apa yang cocok dibahas saat sarapan seperti ini? Tentang lipstik?" Sindir sang suami tidak mau kalah.
"Ngomong-ngomong soal lipstik, sepertinya persediaan lipstikku sudah hampir habis, Ma," ujar Senja yang jika membicarakan masalah make up, jiwanya langsung bersemangat.
"Oh, ya? Nanti sepulang sekolah kita ke mall, beli alat make up yang kamu mau," ujar sang ibu bersemangat.
"Ma, Senja itu seharusnya disuruh belajar supaya pintar seperti Raina, bukannya diajarkan berdandan," ujar sang suami tidak terima.
Sang istri menatap suaminya dengan jengkel. "Cukup ya pa. Cukup Raina yang jadi anak papa. Biar Senja jadi anak Mama. Iya kan sayang." Sambil mengalihkan tatapannya pada Senja, dengan penuh kasih sayang.
Sang suami hanya bisa mengelus dada. "Jika kamu terus mendidik Senja seperti itu, papa ragu dia bisa menjadi sarjana."
"Kalau papa terus mendidik Raina seperti itu, Mama ragu Raina akan punya suami," balas sang istri tidak mau kalah.
Sementara kedua orangtuanya berdebat. Senja dan Raina saling bertatapan dan tersenyum geli.
Tbc
Naskah aslinya baru nyampe sini. Jadi sabar ya nunggu kelanjutannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Batas Kota (You Make Me Pregnant 8)
Romance2 garis merah 2 garis merah di tespack Gadis itu menatap tegang pada 2 garis merah yang terlihat di tespack Panik, gelisah, takut, sedih, semua rasa yang menakutkan bercampur baur dihari gadis itu. Semua rasa itu seharusnya tidak perlu ia rasakan ji...