Aku (juga) ada

362 52 6
                                    

Yeri berusia 15 tahun, Clarissa 18. Tapi yang Sehun lihat berbeda. Yeri terasa 17 tahun. Pikirannya dewasa, tidak pernah marah, jarang protes, selalu menurut.

Tapi, makin mendingin, makin sulit disentuh.

Hari ini Yeri tampak pucat, ART mereka tengah cuti jadi Yeri kurang bersemangat, merasa kurang puas untuk melakukan apa-apa.

Kini tengah berbaring lemah, tangannya yang kecil memegang ujung selimut untuk ia angkat sebatas dada dan bersiap tidur. Kepalanya terasa berputar tapi tetap tidak meminta bantuan siapapun.

Seolah jika ada manusia yang mau membantunyapun dia tidak akan memintanya.

Sehun masuk, menatap sedih tubuh ringkih dengan banyak beban itu.

"Sayang," Dan memberanikan diri memanggil pelan.

"Iya, Papah?"

"Lapar?"

"Tidak." Tidak ada ucapan lain setelahnya.

"Papah bawakan bubur?"

"Yeri tid-"

"Tidak apa, Papah akan segera kembali." Dan memutar arah tanpa mendengar kelanjutannya.

Istrinya paling bersemangat, menjadi sangat antusias saat mendengar Yeri mau dimasakkan bubur.

Jiwanya sebagai sosok keibuan terasa menghangat, Yeri itu jarang merengek dan meminta apapun dari kecil jadi ketika tahu bahwa anaknya butuh sesuatu ia menjadi yang sangat berlebihan.

Dari tadi terus tersenyum menularkan senyum lain dibibir Sehun.

"Awas panas. Nanti suapi dulu, ya?" Mangkok beserta segelas air putih di atas nampan kini berpindah tangan.

Sehun tersenyum"Iya." Dan menjawab.

"Aku akan menelpon dokter, rawat anakku dengan baik!" Eris pura-pura melotot garang membuat keduanya tertawa.

Ah, nyaman sekali.

Langkah Sehun berhenti di depan kamar Sang putri, lalu membuka kenop pintu dengan sikunya lalu masuk.

"Yeri?" Anaknya memejamkan mata.

"Papah bawakan bubur." Lalu mendekat.

"Papah." Yeri membuka matanya dan memanggil.

Suaranya lirih, seperti hendak menangis.

"Yeri tidak pernah suka bubur." Sehun mematung untuk pernyataan itu.

Yeri menjadi sedikit bergetar.

"Tapi, waktu itu..."

"Ketika di rumah Chanyeol kamu lahap sekali."

"P-pah..."

"Ini sama sayang, buburnya sama." Sehun tersenyum tenang.

"Itu bukan Yeri, Pah. Itu kakak. Yeri tidak boleh ikut waktu itu. Papah lupakah?" Ya, Sehun menjadi ingat.

Saat ia dan istrinya dengan egois meminta Yeri tinggal untuk mengawasi asisten rumah tangga baru mereka untuk menggantikan Baby sitter nya sementara.

"Papah, bahkah ketika Yeri sakit. Yang ada dipikiran Papah hanya Kak Clarissa kah?"

Yeri tidak pernah mengungkapkan seberapa cemburunya dia. Tapi ketika mata mereka bertemu, Sehun melihat ada kekecewaan besar yang tengah terkurung di mata kecil itu. Tampak sangat tidak bebas.

"Maaf, Papah lupa."

Yeri menggeleng, dan beralih duduk dengan punggung menyandar di kepala ranjang.

"Tidak-" Sehun kira Yeri akan memakluminya seperti biasa, seperti seolah kejadian semacam ini hanya angin lalu, hanya kejadian kecil.

Tapi ucapan selanjutnya malah menjadi yang paling Sehun tidak ingin dengar.

"Tidak apa. Papah bukan tidak ingat, Papah tidak tahu."

"Iya, Yeri paham." Lanjutnya sedih.

"Sayang."

"Yeri mau tidur." Dan kembali berbaring dengan meringkuk.

Terkadang, menyakitkan untuk selalu menjadi pengalah. Yeri bukan bayangan, ia ingin juga, ia juga iri.

"Yeri-"

"Pah, tidak apa, sungguh." Memejamkan matanya menghalau sesuatu yang hendak keluar.

Dadanya berdentum tidak terima. Sakit.

"Papah harap, kamu paham." Mendengar pernyataan itu Yeri menjadi sedikit tersinggung.

"Yeri selalu paham." Matanya masih terpejam rapat.

"Untuk sekali ini saja." Sehun menjawab.

"Yeri paham, berkali-kali paham."

"Yeri, tolong..."

"Papah, tolong juga untuk menghentikannya. Yeri juga lelah, ingin tidur."

"Nak..."

"Papah, papah ingin Yeri paham bahwa tidak ada yang lebih penting dari Kakak kan?"

"Bukan begitu."

"Iya, Pah, Yeri paham. Paham sekali."

Sehun mendekat, menaruh nampan tadi di atas meja makan. Tangannya hendak menyentuh lembut pucuk kepala itu tapi Yeri telah lebih dulu menyembunyikan kepalanya di balik guling yang dia peluk dan terisak lirih.

Yeri tidak pernah mengeluh, ini keluhan pertamanya.

Yeri tidak pernah protes, ini pernyataan pertamanya.

Rasanya Sehun menjadi yang terburuk disitu.

"Yeri?"

Tidak ada sahutan.

Dan Sehun menghela napas, mencium pucuk kepala anaknya dengan kata maaf yang terus lelaki itu gumamkan.

Sampai diujung pintu Yeri memanggilnya lagi.

"Papah terlalu takut kehilangan Kakak. Sampai lupa aku juga bisa pergi." Anak itu menarik napas.

" Papah terlalu memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada Kakak sampai lupa aku juga bisa mendapatkannya."

"Yang Papah pikirkan hanya bagaiman agar Kakak tetap sehat, padahal anak kalian yang lain tengah merangkak untuk mendapatkan semangatnya sendiri."

Sehun mulai melemas.

"Papah, Yeri juga bisa pergi. Bisa, Pah."

"Putri Papah dua, bukan hanya satu."

"Papah, Yeri ingin jadi Kakak. Ingin sekali." Ucapan itu kembali terlontar.

Masihlah dengan nada kecewa yang sama, masihlah dengan luka yang sama.

MAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang