c e v i l

273 31 3
                                    

Baekhyun tahu, jelas paham sekali gelagat Chanyeol yang mendua.

Tapi, dia mati rasa untuk semua kesakitan yang pria itu hujamkan dengan kasar padanya.

Tidak lagi terkejut oleh runtuhnya ekspetasi dimasa lalu.

Baekhyun sadar, sedetik terasa tidak berarti, bahkan ketika lelaki jangkung itu memberikannya sebuah amplop.

Surat perceraian.

Baekhyun tidak perlu sibuk menduga-duga ataupun menghabiskan energinya untuk mengajukan pertanyaan skeptis.

"Di mana aku harus tanda tangan?"

Katanya.

Datar.

Chanyeol tekejut, diluar perkiraannya jika Baekhyun akan meresponnya dengan tindakan acuh seperti ini.

Tiba-tiba merasa bersalah untuk mata Baekhyun yang menyorotnya datar.

Kesakitan.

Matanya menyorot kosong Chanyeol yang malah termenung.

Menyelami raut wajah submisif nya yang putih bak porselen.

Jantungnya berdetak.

Ikut sakit.

Padahal, ini keputusannya untuk mengakhiri semuanya.

"Mr. Park?"

Ah, suara Baekhyun terdengar asing dengan nada yang tidak dia kenali sebelumnya.

Mr. Park?

Biasanya Baekhyun akan memanggilnya Chanyeolie dengan rengekan manja khas bocah 5 tahun.

Diselingi senyum lebar yang menenggelamkan matanya ditelan bulatnya pipi lelaki manis itu.

"Di sini." Telunjuknya terulur, hampir bersentuhan dengan jemari lentik Baekhyun.

Baekhyun menarik tangannya mundur, menolak sentuhan sekecil apapun itu.

Chanyeol jelas kecewa.

"Bagaimana kalau aku katakan, aku tidak ingin kita bercerai?"

Baekhyun yang hendak menandatangani surat itu jelas menulikan telinganya. Tidak mau mendengar apapun.

"Baekhyun..."

Selesai membubuhkan tinta pada surat itu ia menyerahkan nya tanpa sepatah katapun.

Berbalik, menuju lantai atas rumah mereka.

Chanyeol memang begitu.

Gila.

Cinta dan obsesi nya membuatnya terkurung.

Sedang laki-laki itu tak pernah cukup hanya dengan dirinya.

Surat tadi bagai angin segar.

Dia lepas dari sangkar mewah yang menjerat nya tanpa jeda.

Menenggelamkan jiwa bebas Baekhyun untuk sekedar memberontak.

Robekan kertas terdengar.

Chanyeol merobek kertas itu.

Baekhyun menghentikan langkahnya di anak tangga ke sepuluh.

Kakinya memaku, wajahnya memandang dingin sandal rumahan yang tengah ia kenakan.

"Aku membatalkan perceraian kita."

Chanyeol selalu egois.

Dan Baekhyun menggila.

"Chanyeol jangan egois."

Jantung Chanyeol berdentum menyakitkan.

"Sejak kau membawa surat itu masuk ke rumah ini. Aku menganggap hubungan kita telah mati."

"Kita yang berjanji sehidup semati dengan suara lantang yang percaya diri, akan berakhir hanya dengan seutas surat yang dibubuhi tanda tangan."

"Itu mencoreng rasa cintaku padamu."

"Kalau begitu kembalilah padaku."

Lucu.

Chanyeol dengan selera humornya tidak dapat ditebak.

"Dan kau akan melakukannya lagi kan? Berselingkuh, dan mengajak ku bercerai. Selalu seperti itu. Berputar tanpa menemui titik jenuh."

"Pengacara ku akan membawakan surat yang baru. Biarkan aku yang menuntut kita untuk berpisah."

Lalu melangkahkan kakinya ringan.

Perpisahan selalu seperti itu.

Mereka rela menyakiti jiwa masing-masing yang menuntut kesetiaan lebih panjang.

Tapi, Baekhyun ingin ini berakhir.

Cepat atau lambat.

Suara tembakan terdengar.

Pungungnnya ngilu.

Dia terjatuh.

Tubuhnya luruh ke lantai lalu jatuh meneruni tangga dengan menyakitkan.

Matanya menyanyu.

"Kalau kau tidak bisa kumiliki. Orang lain tidak boleh."

Perlahan, dia pulih kembali.

Tubuhnya segar, dengan ingatan yang hilang tentang perceraian tadi

Menyambut pelukan Chanyeol tanpa beban.

Baekhyun salah karena menikah dengan iblis.

Baekhyun salah karena membuat perjanjian dengan bangsa iblis.

Baekhyun salah karena memilih menikahi lucifer sedangkan dirinya buta pada konsekuensinya.

Sudah kubilang.

Ini akan terus berputar tanpa menemui titik jenuh.

End

Yak, ini plot twist sekali.
Whahaha

MAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang