Yeri POV
Aku menatap Mamah, dia tampak kehilangan kontrolnya.
Dia menangis keras, mengatakan ampun dan sejenis kata minta maaf lainnya padahal yang kulakukan hanya memandangnya.
Aku terasa kosong, melihat bagaimana wajahnya yang tampak begitu terbebani perasaan bersalah tidak juga membuat diriku merasakan apapun.
Hanya kosong, seperti safana tanpa mahluk hidup.
Kudapati Mamah mulai berjalan ke arahku dengan tangan yang hendak memelukku.
Aku menghindar-persis seperti yang biasa dia lakukan.
Aku tidak meminta pelukan itu, ini sudah bukan waktunya. Aku sudah tidak butuh lagi.
"mah, berhenti." Kali ini matanya makin memerah, pecah kembali tangisnya.
Tapi sekali lagi, yang kulakukan hanya memandangnya.
"Nak..." Lirih dan sedih, suara tangisnya mendominasi.
"Mah, untuk luka-luka ditahun kemarin rasanya masih tidak menyenangkan-"
"Kalau begitu peluk aku hiks. Mengadulah, katakan apa yang tidak kau sukai..." Dia menarik napas berusaha tenang.
Lenggang.
Tidak ada yang bersuara.
"Kau." Jawabku.
Pandangan kami bertemu.
Memori tentang pukulan itu tidak pernah membuatku merasa baik.
Tentang cacian, tentang tuduhan yang tidak pernah benar-benar aku laksanakan.
"Yer-"
"Aku tidak pernah menyukaimu."
"Yeri.."
"Jangan pandang aku begitu."
Ya, untuk kali ini aku ingin bersikap egois.
"Mah, mari lihat bagaimana caraku mewujudkan kata-katamu tentang aku," Mamah kau bergetar, tapi aku tidak gentar.
"Yeri, jangan!"
Mah, aku tidak melakukannya.
Suaraku tetap menggema dalam hati.
Tidak mampu direalisasikan lewat ucapan atau bentuk protes.
"Bukan aku." Ya nyatanya bukan aku.
"Ya, bukan kau..." Mata itu memancarkan sedih.
"Clarissa, bukan aku." Kenapa rasanya masih hampa? Padahal Mamah sudah percaya, sudah ada dipihakku.
"Yang lemah dia, kenapa aku dipaksa kuat agar bisa menopangnya?" Bergetar, suaraku tidak bisa kukontrol.
Kali ini aku merasa ada dititik paling bawah bagaimana dunia mendorongku semakin tenggelam pada luka yang semesta rancang dengan apik, mendominasi jiwaku yang tidak pernah merasa tenang, membabat habis semangatku untuk sekedar membela diri.
Dan Mamahku menangis lebih keras, suara sesenggukannya menghantarkan gelombang pada setiap celah ruangan yang seolah menatap kami dengan atensi penuh.
"Yeri..." Di sana, Papah berdiri, tatapannya tidak dapat kutebak.
Kacau... Mungkin (?)
"Aku akan keluar dari sini. Kalian busuk." Ya, aku muak.
Tamparan itu tidak pernah jadi menyenangkan.
Kakak yang lemah, kenapa aku yang dikatakan lalai menjaganya?
Lantas, aku ini apa? Robot penjaga?
Aku hendak menangis, kepalaku pening sekali. Sedang pipi membiruku belum pulih bekas tamparan kemarin.
Punggungku sakit, terkantuk ujung meja saat mereka berusaha mendorongku.
Semua berputar, seolah mengejekku dengan telak.
"Yeri..." Aku menggeleng, isyarat untuk meminta mereka berhenti.
Ingin menangis.
"Pah, setelah ini mohon diingat." Aku mundur selangkah.
Mataku meliar menatap keduanya bergantian.
"Yeri undur diri dari keluarga ini." Selangkah lagi.
Air mataku meruah.
"Aku menyerah, semua terasa payah." Mundur lagi.
Air mataku makin menderas.
Sialan.
Mamah menggeleng, gemetaran tubuhnya sedang Papah mematung.
"Harusnya, aku tidak usah repot-repot menjejali diri sendiri dengan berbagai opini bahwa kalian pasti akan peduli pada ku."
Rasanya ingin mati.
"Papah, ingat."
"Kalau hari Yeri lelah dikehidupan kalian. Yeri lenyap diingatan kalian, Yeri hilang dikeluarga kalian. Yeri babak belur dikeluarga kalian. Yeri sekarat dikeluarga kalian." Aku menarik napas.
Sesak sekali rasanya.
"Terakhir..." Pandanganku bertemu dengan si pengecut Oh Sehun.
Wajahnya pias, lelah.
"Yeri mati dikeluarga Oh." Dua langkah aku ambil mundur.
"Seperti dari dulu, yang kalian miliki hanya Clarissa."
"Bukan masalah besar'kan kalau..."
"Kalau Yeri tidak pernah ada." Lanjutku.
Diruang hatiku yang membeku penuh pesakitan. Penuh air mata dan luka yang tidak pernah cukup semesta hujamkan.
"Yeri ini..." Aku menarik napas.
Melirih, suaraku tercekat.
"Bodoh sekali." Lanjutku.
Mataku bertemu dengan Nyonya Oh, dia juga tampak bergetar.
Bibirnya pucat pasi, arah pandangku turun menatap tangan lentiknya yang mengepal gemetaran.
Tangan secantik itu yang mendorongku penuh brutal.
Menunjuk wajahku dengan kalimat sarkasme penuh dominasi mutlak.
Tidak mau dibandah.
Egois.
Padahal anaknya jadi gila seperti pecandu masokis.
"Bodoh. Keluarga yang buruk sepanjang hidupku. Rekor yang baik." Aku terkekeh remeh.
"Pah, ini yang aku bilang." Arah pandang kami bertemu.
Dengan perasaan kalut yang sama-sama hancur.
"Kalian terlalu memikirkan kemungkinan terburuk Kak Clarissa."
"Sampai lupa aku juga bisa pergi."
Aku berbalik.
Berlari dan pergi.
Sampai ke jalan raya, aku tidak sadar.
Pikiran kacauku membawaku pada cahaya mobil menyilaukan.
Sesuatu menghantam ku telak.
Aku keliangan kesadaran.
Yang aku tahu, ini semua telah berakhir.
Nyatanya aku yang kalah.
Nyatanya aku yang menyerah.
Biarlah...
Takdir memang selalu aneh.
Tapi, saat aku sadar bahwa ketika membuka mata yang kudapati adalah Nenek Baekhyun menantiku disamping ranjang dengan lelehan air mata aku sadar.
Dunia tidak sekejam itu.
Aku kembali membangun hidup.
Aku harus tetap hidup.
Setidaknya untuk diriku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAMA
Proză scurtăTentang Sehun yang mendeskripsikan Ibunya. Atau Baekhyun yang mendeskripsikan anaknya. Chanyeol yang mendeskripsikan Baekhyun ataupun sebaliknya. Sehun yang menceritakan Ayahnya, atau Chanyeol yang mendeskripsikan keduanya.