Bunda

387 39 1
                                    

Aku menatap Bunda dia juga ikut manatapku dengan pandangan terkejut, tangannya dengan gemetar menyembunyikan selembar foto yang menjadi alasannya hari tampak gelisah.

Aku masih menatapnya kian lama kian mendalam.

Bunda berdiri menghampiriku tangannya terulur meraih rambut legamku dengan sedikit menjijit, mengusraknya pelan.

"Bunda..." Bunda menggeleng tanpa mau mendengar kalimat yang akan aku keluarkan membuatku secara influsif mengepalkan tangan kuat-kuat.

Mata itu tampak lelah sekali, mata itu tampak akan menyerah tapi dipaksa terus bertahan walau seluruh hatinya hancur berantakan.

"Biar kakak yang ngomong," Bunda yang asik memainkan rambut hitamku itu tampak dengan kaku menarik kembali tangannya.

"Everything is alright," Katanya berusaha menenangkan.

"Yes, everthing, but you not." Bunda tersenyum manis, teduh sekali seolah lukanya bukan masalah serius, seolah jejak air matanya bisa tertutupi hanya dalam sekali tarikan senyum.

"Sometimes we have to silent,"

"You did, for a long time."

"And, i will do it again,"

"Don't do it anymore."

Bunda masih dengan senyum teduh meraih kepalaku untuk ia cerukan dileher jenjangnya, memelukku seolah mengadu membuat aku ikut merasakan dukanya.

Mom, i won't to admit it, but you look like a poor women...

Ibu tampak menyedihkan.

"I'am okay, trust me because you always with me, and then i will be okay." Aku tak tahu itu hanya kalimat penenang atau sebuah kesungguhan.

Bunda, yang aku tahu adalah setelahnya kamu tampak menjadi luar biasa lagi setelah malam itu.

Hari ini Ayah pulang terlambat, masih dengan kebiasaan yang sama.

Meraih Bunda untuk ia peluk sejenak, mencium keningnya dengan waktu yang lama dan mengusrak rambutku gemas walau usiaku sudah 18 tahun.

Tapi aku tahu dia tampak sadar mataku menatapnya berbeda, dan daguku terangkat penuh congkak.

Malam itu Ibu pamit tidur duluan jadi meninggalkanku yang terdiam di ruang tamu dengan Ayah, alibinya lelah butuh istirahat.

Tapi walau tidur untuk berjam-jampun tidak akan merasa baikan.

Karena yang lelah hatinya, bukan raganya.

"Yah, kakak tahu." Aku memandang ke depan dengan pandangan lurus.

Ayah di sebelahku menoleh "Tahu apa, Kak?" Tanyanya.

"Ayah, pilih Bunda atau wanita itu?" Aku memandangnya kali ini ekspresiku lebih keras.

Di sudut matanya kulihat ia mulai gusar.

"Wanita siapa? Kakak bicara apa?" Katanya.

"Ayah, Bunda tidak cukupkah?" Pupilnya melebar.

"Ayah, Bunda kurangkah?" Aku mengecilkan suaraku yang mulai tercekat.

"Kak..." Aku menunduk, suara penuh penyesalan Ayah bukan prioritasku sekarang.

"Dulu ini pernah terjadi, harusnya Ayah belajar."

"Ayah tahu, tapi..."

"Selingkuh itu candu, ya?" Aku bertanya.

"Kata Bunda, selingkuh tidak ada obatnya." Aku mendongak, menyentuh dada Ayah dengan telunjuk.

"Karena dari dalam hati sudah merasa kurang," Kuketukkan jemariku.

"Karena hasrat Ayah tidak cukup satu,"

Kali ini jariku kuketukkan dua kali di dadanya.

"Karena dari sini memang tidak pernah merasa puas,"

"Ini bukan waktu berdebat, Sehun." Aku terkekeh menarik tanganku dengan segera.

"Ini pembahasan rumah tangga, pembicaraan kekeluargaan." Kataku.

"Kalau begitu biarkan Ayah yang berbicara dengan Ibumu." Pria di depanku ini egois sekali.

"Lalu ujungnya apa? Minta maaf seolah Bunda bisa Ayah buang dan ambil?"

"Sehun!"

Aku berdiri "Iyakan? Dari dulu selalu begitu, seperti roda. Suwaktu-waktu Ayah akan minta maaf seolah menjadi pria paling menyesal di dunia ini." Aku kali ini terkekeh nyaring.

"Tapi, setelah itu kau akan berulah lagi menjadi pria paling egois yang pernah aku kenal."

"Berhenti ikut campur!" Dia ikut berdiri, tingginya tidak beda jauh dariku tapi tubuhnya masihlah tegap.

"Wanita itu yang harusnya berhenti ikut campur! Ini urusan keluarga kita!" Ya, wanita itu, Rose yang harus berhenti.

"Sehunnie, kamu tidak akan mengerti," Suaranya lirih, menyahut dengan sedih.

Aku mengusap kasar sudut mataku,"Jelas aku tidak akan mengerti cara berpikir orang serakah."

"Lepaskan Bunda,"

Wajahnya mengeras.

"Siapa kau? Berani-beraninya berkata begitu!"

"Aku anakmu, harusnya pertanyaan itu Ayah lontarkan pada selingkuhanmu." Ayah, harusnya paham bahwa anakmu ini pandai berdebat.

"Biarkan Bunda bersamaku dan Kakek,"

"Dia istriku! Jika kau mau pergi, pergi sendiri dan jangan harap bisa membawa Istriku pergi,"

Napas Ayah ku perhatikan mulai memburu"Seinchi pun tidak akan bisa. Tidak akan." Dan memberi penekanan di ujung kalimat.

"Lalu apa yang akan kau lakukan? Membiarkannya mati perlahan karena ulahmu?!"

"Kalau begitu apa yang kau bisa berikan pada Bundamu, hah?!" Jalinan urat tipis tampak menonjol di pelipisnya.

"Kau tanyakan itu pada dirimu, apa yang bisa kau berikan selain kenyataan bahwa dirimu tidak pernah cukup dengannya?!"

"SEHUN!" Ia melayangkan tangannya, dan aku memejamkan mata, pasrah.

Tangan Ayah bergerak cepat, bunyi tamparan terdengar keras, tapi aku tidak merasakan apapun.

Saat membuka mata Ibu hampir tersungkur, Ibu melindungiku.

Ayah menjadi panik saat tamparannya salah sasaran.

"Sayang? Kau tidak apa-apa? Say-"

Ibu menepis tangan besar Ayah dan meraih jariku yang terulur berdiri di depanku.

"Chanyeol," Ia menyeka darah di sudut bibirnya membuatku dan Ayah menjadi tambah khawatir.

"Ayo bercerai," Dan Ayah mulai panik.

"Baekhyun, aku mohon, jangan..." Ayah menangis pilu membuatku membeku.

"Aku akan mati kalau kau pergi, " Dan tubuh besar itu bergetar.

"Di sini sama saja aku yang akan mati."

Kedua pasangan itu menangis.

"Chanyeol, dari dulu sudah aku katakan, kamu boleh menjadi seberengsek mungkin. Tapi ketika menikah, aku harap aku jadi satu-satunya."

"Kau yang pertama, aku bersumpah!"

"Tapi kamu tidak pernah merasa cukup denganku."

"Say-"

"Pertama bukan berarti satu-satunya'kan?"

"Aku... Sa-sangat mencintaimu."

"Aku tahu," Ibu menoleh padaku, yang balik kupandang dengan mata mengabur penuh air mata.

"Kalau begitu lepaskan aku."

Bu, kau hebat sekali.

Tapi benar kata Ayah, kalau ia akan mati jika kau pergi darinya.

Ayah, semoga tenang, aku dan Bunda sangat menyayangimu.

MAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang