Pesan 23

446 25 1
                                    

Memang menyakitkan ketika bertahan disaat bisa berpergi. Mengesampingkan ego yang selalu tersakiti.

Tapi Fayla tetap mencoba tegar dengan apa yang terjadi. Hubungan yang ia dan Rimba jalani bukanlah hubungan main-main layaknya pacaran. Yang kalau sudah bosan atau ada masalah bisa langsung  putus hubungan.

Fayla tak mau membiarkan egonya menguasai diri. Egonya memang sudah meronta untuk dibebaskan. Tapi fayla tak akan membiarkan itu.

"Hai Fay?" sapa Rendi dengan senyum menawannya. Tangannya membawa bunga besar yang nampak indah. Siapapun yang melihatnya akan menyukai itu.

"Lho mas rendi kok ada disini? Maaf ya aku gak dateng ke Kantor tanpa kabar." ucap Fayla yang semula duduk di kursi beranjak untuk menyambut kedatangan Rendi.

"Gak papa Fay, tadi aku kira kamu sakit jadi aku langsung ke sini." jelas Rendi. "Oh iya, nih bunga buat kamu."

"Makasih mas. Silakan duduk. Mau minum apa?"

"Gak usah Fay. Rimba kemana?" tanya Rendi. Matanya menatap sekeliling untuk mencari keberadaan Rimba.

"Em ... masih tidur."

"Gak pernah berubah dia. Sekalipun udah punya tanggung jawab." ucap Rendi.

"Aku ke dapur dulu, mas." pamit Fayla. Dia membawa bunga pemberian Rendi ke dapur.

Menurut Fayla menjamu seorang tamu itu wajib, dia harus memuliakan tamunya. Secangkir teh dan beberapa cemilan dia siapkan untuk menjamu Rendi.

"Lagi ngapain?" tanya Rimba yang tiba-tiba datang. Dia langsung duduk di bangku makan. Terlihat jelas dia baru bangun tidur, atau orang biasa menyebut muka bantal.

"Kamu buta?" Fayla balik bertanya, membuat Rimba berdecak kesal.

"Bunga dari siapa?"

"Mas Rendi." jawab Fayla seperlunya.

"Dia ke sini?"

"Ya."

"Ngapain dia ngasih bunga?"

"Gak tau."

"Lo buat minum buat dia?"

"Ya."

"Lo gak kerja?"

"Gak."

"Kenapa?"

"Karena."

"Bisa gak sih, jawab yang bener?!" kesal Rimba.

"Gak." kata Fayla sambil melirik Rimba. Lalu tangannya mengambil nampan untuk dibawa ke ruang tamu.

"Kemana?"

"Ruang tamu." jawabnya sebelum benar-benar pergi dari hadapan Rimba.

Rimba berdiri, mengikuti Fayla untuk menuju ruang tamu. Rasanya Rimba benar-benar tidak ikhlas jika Fayla berduaan dengan Rendi.

Dengan berani Rimba duduk di sebelah Fayla. Tangan kanannya melingkari pinggang Fayla. Tak diam di situ, jemari Rimba juga ikut mengelus perut buncit Fayla.

Fayla tersentak. Ia menatap Rimba tajam seolah protes jika ia tidak nyaman dengan posisi itu. Ditambah ada Rendi di hadapan mereka. Namun yang dilakukan Rimba hanya mengedihkan bahu tak acuh.

Yang dilakukan Rimba hanya diam mendengarkan pembicaraan kakanya dan Fayla mengenai masalah kerja juga Bisma. Tapi kedua tangan Rimba tidak bisa benar-benar diam sedari tadi.

Entah itu mengelus perut Fayla, membenarkan rambut Fayla, mengambilkan minum ataupun memainkan jemari Fayla.

Fayla Juga heran, ada apa dengan Rimba hari ini. Tak bisanya dia berlaku semanis ini.

Setelah Rendi berpamitan, Rimba pun ikut berdiri.

"Fayla, gue mau ngomong serius sama lo." ujarnya menginterupsi Fayla yang tengah membereskan cangkir bekas minum Rendi.

"Gue tunggu di kamar." ujar Rimba. Laki-laki itu melangkah pelan menuju kamar mereka.

Rimba duduk dipinggir kasur. Kedua sikunya bertumpu di lututnya. Kepalanya menunduk. Memikirkan hal yang bebedapa hari ini mengganggu pikirannya.

Ia kembali mematangkan tekadnya. Ia sudah mengambil keputusan dan akan segera mengutarakan keputusannya pada Fayla.

"Mau ngomong apa?" tanya Fayla ketus. Dihati Fayla masih memendam kemarahan pada Rimba karena kejadian tempo hari. Ia belum bisa memaafkan Rimba untuk saat ini.

Rimba mendongak, ia menepuk sisi sampingnya. "Duduk sini!" titahnya yang langsung dikerjakan Fayla.

"Pertama ...," Rimba membuka suara setelah beberapa saat terdiam. "gue minta maaf sama lo. Maafin gue. Gue emang brengsek. Bahkan selama ini gue gak ada tanggung jawab sama sekali."

"Maaf kalau kehadiran gue dan dia nyusahin lo." Rimba kembali terdiam. Ia bingung harus mengatakan apa lagi. Padahal dalam hatinya banyak sekali kata yang ingin dia utarakan.

"Besok gue bakal cari kerja yang bisa diandalin. Maaf kalau gue bisanya cuma bergantung ke elo, nambahin beban lo. Lo mau kan maafin gue?" tanya Rimba. Ia menatap dalam mata Fayla yang juga menatapnya.

"Oke kalau lo belum bisa maafin gue. Tapi lo bisa pegang omongan gue, gue bakal berubah jadi yang lebih baik. Kita benahi rumah tangga kita yang berantakan jadi rapih. Ayo kita bangun rumah tangga kita, sebentar lagi bakal ada baby ditengah-tengah kita. Aku mau dia mendapat kasih sayang yang dari orang tuanya. Dan—"

"Kalau gitu putusin pacar kamu!" potong Fayla dengan berani. Ia menatap dalam mata Rimba yang kini tampak terkejut.

"Kenapa? Gak bisa ya?" tanya Fayla. Perempuan itu menunduk. Matanya berkaca-kaca.

"Gue bakal putusin Clara." giliran Fayla yang terkejut. Ia menatap Rimba tidak percaya. Kabut dimatanya pun langsung hilang entah kemana.

Rimba menarik tangan Fayla dan menggenggamnya. "Kita mulai semuanya dadi awal ya?"

Fayla mengangguk. Matanya kembali berkaca. Ia merasa terharu sampai meneteskan air mata.

"Ini serius?" tanya Fayla.

"Gue harus apa biar lo percaya, hm?" Rimba mengulurkan tangan kanannya. Ia mengusap pelasn pipi Fayla yang banjir air mata.

"Jangan nangis! Gue gak mau liat lo sedih." Setelah mengucapkan itu Rimba menarik Fayla dalam dekapannya. Terasa seperti ada yang menusuk-nusuk jantungnya ketika melihat Fayla menangis.

"Besok ikut gue ketemu Clara ya?" Fayla hanya mengangguk mengiyakan. Karena hanya sekedar untuk mengucapkan kata iya saja rasanya sulit ketika menangis.

Rimba melepas pelukannya. Ia memposisikan dirinya jongkok di depan Fayla. Ia berpindah memeluk perut Fayla.

"Anak ayah lagi ngapain?" Rimba menempelkan telinganya dan mengelus sisi perut Fayla.

"Shh, aduh!" ringis Fayla tiba-tiba.

Rimba mendongak.

"Kenapa?" Tanyanya khawatir. Fayla yang ditanya tidak langsung menjawab, melainkan tangannya memindahkan tangan Rimba ke perut bawahnya.

"Tunggu dan rasain." ucap Fayla. Rimba memusatkan perhatiannya pada perut Fayla. Sampai akhirnya dia mendongak kembali mentap Fayla dengan senyum lebar.

"Dia gerak," katanya.

"Kayaknya kaki dia nendang-nendang." Jelas Fayla.

"Nendangnya jangan kenceng-kenceng sayang. Kasian bundanya jadi sakit. Besok kalau kamu udah lahir main bola sama ayah ya?" ucapnya di akhiri dengan kecupan dan pelukan yang seakan tak ingin dilepaskan.

Fayla tersenyum haru, mungkin mulai sekarang hidupnya akan lebih berwarna-warni. Akan lebih indah.

Ia mengelus rambut Rimba dengan sayang.

"Tetep di sini sama aku dan anak kita." Gumam Fayla pelan.

Tbc.

Oh iya buat temen-temen, jangan lupa juga baca cerita aku di akun rozaquena_dya

Jangan lupa jaga kesehatan temen-temen.

💕💞

Pesan Dari HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang