Cafe.
Biasanya orang datang untuk mencari ketenangan. Merilekskan pikiran dari beban-beban yang menghampirinya atau sekedar untuk bersantai bersama orang-orang terdekat.
Meja yang ada di luar ruangan yang nampak tidak ramai menjadi pilihan Rimba dan Fayla. Cafe bukanlah tempat yang sering Fayla datangi, kesehariannya hanya disibukkan dengan kuliah dan urusan pribadi.
Rimba bilang, orang yang mereka tunggu masih di jalan terjebak macet. Tak apa, setidaknya dengan begitu, Fayla bisa mempersiapkan hatinya. Dia berjaga-jaga untuk kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Walaupun sama sekali dia tak berharap seperti itu.
"Jangan takut!" Rimba menggengam tangan Fayla yang ada di pangkuannya. Tangan yang terasa dingin dan sedikit berkeringat.
"Semuanya bakal baik-baik aja," kalimat penenang Rimba sepertinya tak mampu menghilangkan kepanikan dan ketakutan Fayla.
Bukan hal mudah untuk duduk di posisi ini. Berpura-pura tenang padahal hati sedang dirundung kegelisahan.
"Aku takut dia bakal nyakitin dedek bayi." Gumam Fayla sambil mengelus perut buncitnya. Matanya sendunya memancarkan ketakutan yang ketara.
"Sstt. Itu gak bakal terjadi, kan ada aku." Balas Rimba menenangkan. Tangan kanannya mengelus lembut surai hitam milik Fayla sedangkan tangan kirinya ikut mengelus perut Fayla.
Rimba menguatkan hatinya. Dia paham ketakutan Fayla. Sejujurnya ada sedikit rasa takut akan pertemuan ini, Rimba tak ingin anak dan istrinya ini tersakiti. Hanya karena keegoisannya Fayla harus menerima kenyataan ini.
"Maaf." Gumam Rimba sambil memeluk Fayla. "Jangan pernah tinggalin aku."
Lima menit kemudian orang yang ditunggu-tunggu datang. Ia duduk dihadapan Rimba dan Fayla dengan sorot mata yang tidak mengenakan seakan dia tahu akan ada hal buruk yang menghampirinya.
"Ngapain bawa dia kesini?!" Katanya bersamaan meletakkan tasnya di meja.
"Dia istri aku, wajar kalau aku ajak dia." Balas Rimba sambil menggenggam tangan Fayla yang mulai berkeringat.
Pandangan Clara menajam, menelisik Rimba heran. "Kenapa tiba-tiba ngakuin dia istri? Diguna-guna nih kamu sama si jalang."
"Ngomong yang sopan!" Sentak Rimba tak suka.
"Dulu kamu sendiri yang bilang dia jalang." Rimba mengeraskan rahangnya. Tangannya mengencang menggenggam tangan Fayla yang mulai berontak.
"Gue mau ngomong serius sama lo." Rimba menarik napas mempersiapkan kalimat berikutnya yang akan di ucapkan.
"Gue gak bisa terus-terusan ada di hubungan yabg toxic kayak gini. Gue mau keluar dari situ. Hubungan kita gak sehat, ra, dan lo jelas-jelas tau kalau gue udah nikah. Gue mau memperbaiki diri, menata hidup gue yang udah terlanjur hancur ini. Ra, ayo kita akhiri hubungan ini baik-baik. Kita terusin hidup kita masing-masing."
"Toxic? Hubungan kamu sama si jalang tuh yang toxic. Dateng-dateng ngerusak yang udah tertata. Aku gak terima. Haruanya yang kamu akhiri hubungan kamu sama dia bukan sama aku." Marah Clara.
"Ra, plis. Jangan persulit gue. Gue cuna mau kita sama-sama cari kebahagiaan kita masing-masing tanpa ada yang menyakiti ataupun tersakiti. Udah cukup! Kita udah selesai sampai disini." Jelas Rimba.
Mata Clara bergerak menatap tajam Fayla yang hanya diam. "Lo! Lo apain cowok gue ha?! Lo tuh pelakor! Lo orang ketiga di hubungan gue!" Pekiknya. Tak peduli jika dia menjadi pusat perhatian di tempat ini.
"Pelanin suara lo! Lo gak pantes teriak ke Fayla. Yang salah gue bukan dia."
Napas Clara memburu dia terlalu marah, tangannya mengebrak meja dengan keras.
"Jalang sialan! Lo apain Cowok gue hah?" Teriaknya sambil menjambak rambut Fayla.
Rimba berdiri dan mengambil tindakan cepat. Ia segera mengamankan Fayla dibelakang tubuhnya tak peduli jika kini tubuhnya yang menjadi sasaran perempuan gila itu.
"Jangan sekali-kali lo sentuh istri gue! Gue dari tadi udah sabar, tapi lo malah bertingkat kek gini."
"Aku gak terima kamu putusin tiba-tiba! Kenapa? Gara-gara dia istri kamu? Kamu bisa cerai in dia."
"Dia lagi hamil gue gak bisa cerai in dia."
Fayla menunduk dalam, matanya berkaca-kaca siap untuk menangis. Ucapan Rimba seakan-akan mengatakan bahwa dia terpaksa melakukan ini. Jika saja Fayla tidak hamil mungkin Rimba akan menceraikannya.
"Belum tentu dia hamil anak kamu. Udah berapa kali lo ngangkang di depan laki-laki?" Kata Clara ia menatap Fayla angkuh. "Lo butuh uang berapa? Gue kasih yang penting kalian cerai." Tambahnya.
Tak bisa, Fayla tak bisa lagi membendung air matanya. Ia terisak pelan di belakang tubuh Rimba.
"Anjing! Lo bisa gak sih gak usah ngomong kek gitu. Terserah lo mau terima atau enggak yang jelas kita udah putus dan gak ada hubungan lagi." Putus Rimba sambil menuntun Fayla keluar dari cafe itu.
"Aku bakal buat perhitungan!" Pekik perempuan gila itu ketika mereka sampai di depan pintu.
Rimba tak menghiraukannya, yang terpenting sekarang dia harus membawa Fayla pulang. Dia harus segera memastikan bahwa Fayla baik-baik saja.
"Hei jangan nangis lagi." Kata Rimba sambil mengusap air mata Fayla. Ia mendudukkan Fayla di kursi ruang makan rumah mereka.
"Aku takut." Isak Fayla, tangannya bergetar menandakan bahwa dia benar-benar ketakutan.
"Tenang aku gak bakal biarin dia nyentuh kamu." Rimba menarik perempuan hamil itu dalam pelukannya. "Udah ya nangisnya, kasian dedek bayi ikut sedih."
"Dia bakal buat perhitungan. Aku takut."
"Kamu bakal aman, percaya sama aku. Aku suami kamu, aku bakal lindungi kamu, Fayla. Kamu harus percaya sama aku, Aku gak bakal biarin kamu tersakiti lagi."
Tangan Rimba bergerak mengelus surai rambut Fayla menenangkannya dengan kata-kata yang meyakinkannya. Rimba menjaukan tubuhnya mengecup sekilas puncak kepala Fayla dan berjongkok didepan Fayla. Kedua telapak tangannya berada di sisi perut buncitnya dan mengelusnya pelan. Sedangkan wajahnya menempel pada depan perut Fayla.
"Dek, bilang ke bunda jangan sedih lagi, kan ada ayah sama adek yang jagain bunda. Bunda harus seneng biar adek juga seneng." Katanya diikuti dengan kecupan panjang di perut.
Fayla terkekeh disela kucuran air matanya. Tangannya bergerak mengelus rambut Rimba.
Rimba tersenyum senang menatap Fayla sebelum kembali mendekatkan wajahnya ke perut Fayla.
"Masih ada yang kurang." Katanya.
"Apa?" Kening fayla berkerut bingung.
"Adek kok diam aja diajak ngobrol sama ayah? Adek gak mau main sama ayah? Ayo nendang dong?" Tutur Rimba. Laki-laki itu menggesekkan hidungnya dengan perut Fayla.
"Geli, mas."
"Hehe, abisnya dia diem aja di dalem. Biasanya juga banyak gerak."
"Adek laper ayah belum makan, capek." Kata Fayla sambil menirukan suara anak kecil.
Rimba terkekeh dan baru menyadari kalau tadi mereka tidak sempat makan.
"Mau makan di luar atau kamu mau masak?"
"Aku masak aja deh, mas mau makan apa?"
"Apa aja asal kamu yang masakin pasti enak.
"Rica-rica sendal mau?"
Rimba tertawa, "ya enggak gitu juga dong sayang." Katanya sambil mencuri satu kecupan di bibir pink milik Fayla.
Dengan wajah memerah, Fayla berpamitan untuk segera masak untuk makan mereka.
"Aku masak dulu."
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan Dari Hati
RomanceCinta datang karena terbiasa. Terbiasa bersama hingga timbul rasa ketergantungan. Sulit mengucap rasa namun begitu mudah bertindak akan rasa. Dia yang tengah jatuh cinta, ingin rasanya menghilang jauh. Namun cinta mengombang-ambingkan perasaannya...