Angin sepoi-sepoi menemani pembicaraan dua perempuan yang duduk di bangku taman kampus. Pohon-pohon ikut bergoyang mengikuti irama angin. Daun kering juga berterbangan mengikuti arah angin.
"Aku gak tau musti gimana bu." Kata perempuan yang menggunakan kemeja polos berwarna coklat. Rambutnya tergerai bebas. Wajah polos tanpa make up itu menyiratkan kesedihan.
"Fayla, Kamu gak boleh sedih. Inget! Kamu gak sendirian." Kata Fatimah dengan tangan mengelus punggung Fayla. Dosen Fayla yang berumur 50-an itu sudah menganggap Fayla seperti anak satu-satunya yang telah meninggal.
"Gimana nasib anak aku, bu?" Tanya Fayla. Ia bingung dengan hidupnya. Kemarin ia bertemu lelaki yang menghamilinya. Seharusnya ia memukulinya. Namun apa yang ia lakukan justru pergi dari hadapan lelaki itu. Dan sekarang ia bingung siapa yang akan bertanggungjawab. Sedangkan ia hanya tau nama panggilan lelaki itu. Betapa bodohnya Fayla menyia-nyiakan kesempatan itu.
Namun, kembali ke Fayla lagi. Ia terlalu takut menghadapi lelaki itu. Ia masih trauma. Siapa sih yang tidak takut dengan lelaki yang sudah memperlakukannya seperti hewan?
"Tadi kamu bilang sudah bertemu dengannya. Lalu apa masalahnya?" Tanya Fatimah. Jika ditanya sebenarnya Fatimah juga benar-benar bingung. Selama ia hidup tak pernah ia mengalami hal serumit ini. Tapi demi Fayla ia berusaha membantu apapun itu.
"Iya bu. Tapi kemarin aku langsung pergi. Aku masih takut, Bu." Fayla menatap kosong kedepan. Mengingat kembali pertemuan kedua antara ia dan lelaki brengsek itu.
"Iya ibu ngerti. Tapi kamu juga gak boleh egois gitu. Kamu jangan cuma pentingin ego kamu. Tapi kamu juga harus pikirkan masa depan anak kamu." Fatimah mulai memberi pengertian pada Fayla. Fayla masih belun paham. Ia masih butuh pembimbing.
Fayla diam merenung. Benar apa yang dikatakan bu Fatimah. Tak seharusnya ia egois seperti ini.
"Bu, aku cuma tau nama panggilannya aja." Kata Fayla sedih. Disaat rasa egoisnya pergi sekarang muncul lagi masalah lain.
"Gimana kamu bisa tau? Siapa?" Tanya Fatimah lembut. Ia memberikan senyum manisnya seolah-olah semua akan baik-baik saja. Fayla butuh sandaran dan ia siap jadi tempat Fayla bersandar.
"Waktu aku nganter minuman. Temanya kemarin memanggil dia Rimba." Kata Fayla. Ia mengulang kejadian saat lelaki yang memanggilnya itu pamit pada lelaki brengsek yang disebut Rimba.
"Loh bukannya kamu di sana jadi penyanyi kafe, kan?" Fatimah mengerutkan keningnya. Fayla itu bekerja di kafe itu sebagai penyanyi kafe lalu kenapa tiba-tiba mengantar minum.
"Aku gak ada job, bu. Mbaknya yang ulang tahun udah ngundang penyanyi. Dan dia itu temen dari pacarnya si mbak yang kemarin ulang tahun di kafe, bu. Sepupunya bos aku, mbak Mila." jelas Fayla. Ia menatap dalam pada Fatimah yang menyunggingkan senyum semakin lebar.
"Anak kamu bakal punya ayah. Kamu yang tenang." Kata Fatimah. Ia mengusap puncak kepala Fayla lalu pergi begitu saja. Meninggalkan Fayla yang diam merenungkan apa yang baru saja Fatimah katakan.
"Semoga saja, bu. Semoga bukan hanya omong kosong." Gumam Fayla. Ia segera beranjak. Tiga puluh menit lagi Fayla harus datang ke kafetaria kantor yang mempekerjakan dirinya.
***
Fayla berdiri di halte dekat tempatnya bekerja. Baru saja ia turun dari bus yang sangat penuh itu, membuatnya sesak dan ingin cepat turun.
Sepuluh menit lagi ia harus sampai di kantor. Ia tak punya banyak waktu. Belum lagi ia harus berganti baju pelayan.
Fayla berjalan ke zebra cross. Ia menengok kanan, sepi. Menengok kiri, ramai sekali. Huh! ini sangat membuang waktu, pikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan Dari Hati
RomanceCinta datang karena terbiasa. Terbiasa bersama hingga timbul rasa ketergantungan. Sulit mengucap rasa namun begitu mudah bertindak akan rasa. Dia yang tengah jatuh cinta, ingin rasanya menghilang jauh. Namun cinta mengombang-ambingkan perasaannya...