Dari atas balkon kamar Rimba, Fayla bisa melihat anggota keluarga bramantyo yang tengah berkumbul di halaman belakang itu. Dari situ juga Fayla merasa hembusan angin lebih kencang. Dingin. Tapi Fayla tak mau beranjak dari sana.Mata Fayla beralih pada ribuan bintang yang bertaburan di langit malam.
Mama ... papa ... Fayla kangen, batinnya. Matanya berkaca, seolah beban yang ia tanggung berkumbul menjadi satu di pelupuk mata.
Fayla ingin seperti remaja pada umumnya yang masih memiliki orang tua, yang masih bisa bermanja-manja dan merasakan kasih sayangnya.
Tapi semua itu semu. Sudah tak ada.
"Ma, pa, Fayla udah nikah ..." Fayla mengatakannya sambil menatap ribuan bintang seolah tengah bertatap muka dengan orangtuanya.
"kalian bakal punya cucu. Mama sama papa seneng kan, bakal punya cucu? Fayla juga seneng, karena akan ada yang menemani hidup Fayla." Fayla tersenyum kecil sambil mengelus perutnya yang belum kelihatan buncit.
"Tapi Fayla juga sedih, karena Fayla ingin seperti wanita pada umumnya. Fayla ingin papa yang nikahin Fayla. Fayla pengen papa yang nyerahin Fayla ke suami Fayla." Fayla menggigit bibir bawahnya guna menahan isakan. Tenggorokannya terasa tercekat dan bibirnya sedikit bergetar menahan tangis.
"Fayla tersiksa ma, pa. Fayla tersiksa hidup sendiri. Dulu Fayla ikhlas di jahati om Budi. Dulu Fayla bisa tegar. Tapi sekarang enggak. Disini ..." Fayla terisak pelan.
"fayla dibenci ma, pa. Kesalahan apa yang udah pernah Fayla buat? Kenapa Allah kasih cobaan kayak gini." Fayla diam. Walaupun harus dengan susah payah ia menghentikan tangisnya.
Ia menghipnotis dirinya agar kuat menghadai semua yang ada di depannya. Ia akan menghadi semampu yang ia bisa.
"Ma, udah seminggu ini Fayla pengen banget makan coklat. Sangking pengennya sampai aku nggak bisa tidur. Apa ini yang namanya ngidam, ma?" Sudah tiga hari ini Fayla menginginkan makanan manis itu. Bahkan ia tak bisa tidur tiga hari terakhir ini. Setiap ia memejamkan mata yang ada hanya bayangan coklat yang akan terasa lumer jika sudah berada di mulutnya.
Awalnya Fayla juga tak berpikir jika ini ngidam. Karena yang ia tahu kebanyakan wanita hamil ngidamnya mangga muda atau lebih terkesan ke hal-hal yang asam.
Kehamilannya memasuki minggu ke-9 dan makin ke sini banyak hal yang ia rasakan yang sebelumnya tak ia rasakan.
"Ya ampun kamu masih pengen coklat ya, sayang?" Fayla berkata sambil mengelus perutnya. Di dalam perutnya ia merasa ada sesuatu yang bergerak. Seperti semut yang sedang berjalan.
"Sabar ya sayang, bunda kan belum ada uang. Besok ya kalau bunda udah kerja lagi." Katanya lagi. Harusnya malan ini Fayla bernyanyi di kafe. Namun, demi menghormati suami dan keluarganya ia menolaknya. Sayang sebenarnya, karena upahnya lumayan, 30% lebih banyak dari biasanya.
"Nih!" Sebuah coklat batangan yang sudah setengah di kupas kulitnya ada di depan matanya. Tampak menggiurkan bagi Fayla karena ia sudah menginginkannya sejak beberapa hari yang lalu.
Diikutinya tangan yang mengulurkan coklat tersebut. Hingga ia berbalik menemukan Rimba yang sudah berdiri tegak di hadapannya. Tangan kirinya masuk pada saku celana yang ia pakai.
"Gue nggak mau anak gue ileran." Katanya. Ia menyodorkan coklat tadi tepat di depan mulut Fayla.
Karena sudah terlanjur ingin, Fayla dengan sedikit ragu namun dalam hati ada semangat yang mengebu menggigit sedikit coklat tersebut."Gue mau ngomong," tutur Rimba. Ia menatap lekat mata Fayla.
"Menurut lo ... pernikahan ini apa?" Fayla diam. Entah apa yang harus dia jawab. Ini pertanyaan sama yang ada di kepalannya. Namun setelah ucapan ijab qobul waktu itu, hatinya sudah berjanji untuk berusah mencintai suaminya.
"Menurutku, pernikahan itu hubungn dua orang, dua perbedaan, dua pemikiran dan dua keluarga yang harus bisa bersatu. Pernikahan itu ikatan reami baik secara agama, hukum dan sosial." Fayla memberikan senyum kecil pada Rimba yang masih pada posisinya tadi. Ia masih setiap menyuapi Fayla.
"Harus saling menerima, saling percaya, saling menghargai, saling terbuka, saling mengasihi dan ..." Fayla meneguk ludahnya.
"saling mencintai." Bisiknya. Rasa sedih muncul di hatinya. Karena hanya beberapa poin yang ia dapatkan. Lainnya tak terlaksana.
"Apa lo bakal cinta gue?" tanya Rimba.
"Ya." Tanpa ragu Fayla menjawabnya.
"Aku menjalani pernikahan ini tulus bukan hanya karena dia yang ada di sini." Fayla mengelus perutnya. Rimba ikut memperhatikan gerakan tangan Fayla yang mengelus perutnya. Tangannya bergerak pelan menuju perut Fayla.
"Apa yang lo rasain di dalem sini?" tanyanya ketika ia berhasil menyentuh perut itu. Tubuhnya terasa seperti tersengat listrik. Entah kenapa hatinya bergetar. Ada sesuatu yang berbeda.
"Seperti ada semut yang lagi jalan."
"Itu anak gue, bukan semut." Sungut Rimba. Tiba-tiba kesal ketika Fayla menyamakan anaknya dengan semut.
Fayla terkekeh,"Tadi kamu nanya rasanya apa,"
"Hm." Rimba mendengus kesal. "Lo udah pernah periksa ke dokter?"
"Belum." Fayla menggeleng. "Eh, tapi waktu itu pernah ke bidan, sekali."
"Besok kita ke rumah sakit," katanya tak terbantah.
"Apa kamu bakal nerima aku?" tanyanya. Pertanyaan yang ada di hatinya saat ini. Fayla berharap Rimba mau menerimanya.
"Entahlah." Rimba mengedihkan bahu. Lalu ia berjalan masuk kamar. "Tapi gue bakal coba. Ayo masuk, di luar dingin." Senyum tipis tercetak di bibir Fayla.
Mama papa, boleh nggak Fayla ngerasa bahagia? Batinnya.
Mereka memasuki kamar, dan membaringkan tubuh mereka di kasur.
Hati Fayla mendadak cemas, lantaran ia menginginkan tidur dipelukan Rimba.
Fayla menggigit bibir bawahnya. Ia tak berani mengungkapkannya. Ia tidur menyamping memunggungi Rimba.
Astaga, baru saja ngidamnya terpenuhi kanapa sekarang datang lagi.
"Kalau pengen sesuatu bilang sama gue."
Ok, ini terbilang tidak terlalu buruk.
"Kalau aku bilang aku pengen tidur dipelukan kamu, apa bakal kamu turutin?" Fayla memejamkan matanya erat-erat. Seolah tak mau mendengar penolakan dari Rimba.
15 detik
30 detik
"Oke." Mata Fayla terbuka. Mulutnya sedikit mengangga. Apa ia salah dengar?
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan Dari Hati
RomantizmCinta datang karena terbiasa. Terbiasa bersama hingga timbul rasa ketergantungan. Sulit mengucap rasa namun begitu mudah bertindak akan rasa. Dia yang tengah jatuh cinta, ingin rasanya menghilang jauh. Namun cinta mengombang-ambingkan perasaannya...