Kediaman Bramantyo tengah disibukkan dengan persiapan perayaan tahun baru. Seperti tahun-tahun sebelumnya mereka merayakan bersama keluarga besar mereka.
Fayla sendiri hanya terdiam di kamar Rimba. Kamar yang kini juga menjadi hak miliknya. Ia bingung, apakah ia harus turun membantu atau tidak? Fayla cukup sadar jika mama mertuanya itu sangat tidak suka dengannya. Namun, jika ia tidak turun apakah ia sopan? Membiarkan mama mertuanya menyiapkan sendirian. Ya walaupun sudah ada mbak Asih, tetap saja rasanya tidak sopan jika ia tidak turun. Tapi kalau Fayla turun ia takut dengan mama mertuanya itu.
Rimba sendiri pergi bersama Bisma. Bocah cilik itu sudah sejak Rimba terbangun dari tidurnya merengek untuk diantar membeli kembang api.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Fayla memutuskan untuk turun. Ia tak perduli akan seperti apa jadinya setelah ia menginjakkan wilayah kekuasaan mama mertuanya itu. Entah diusir atau dikata-katai. Fayla sudah menyiapkan telinga lebar-lebar dan menutup hatinya.
Sebelum memasuki dapur ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan pelan.
Fayla mendekati Rina yang tengah mencicipi masakannya. Dilihat dari warna dan baunya seperti ayam bacem.
"Emm ... ada yang bisa Fayla bantu, ma?" tanya Fayla yang kini berdiri disebelah Rina. Tangannya saling meremas dibelakang tubuhnya.
Rina hanya melirik sekilas pada Fayla, ia tak acuh pada kehadiran Fayla tepat disebelah kanannya.
"Mbak, tolong ambilkan garam sama gula merah!" titah Rina pada Mbak Asih yang tengah mengupas jagung, memisahkan kulit dengan jagungnya.
"Iya, Bu."
Fayla hanya diam. Menguatkan hati dengan mata yang menyorot pergerakan Mbak Asih yang tengah membuka lemari yang isinya toples berbagai bumbu. Setelah mendapat yang diminta majikannya, Mbak Asih dengan sedikit berlari memberikan pada Rina.
"Ini, Bu." Setelah mengulurkan itu, Mbak Asih kembali ketempat semula. Mbak Asih sedikit merasa tak enak dengan Fayla. Fayla yang siap memberikan bantuan pada mama mertuanya. Namun sayang, mama mertuanya malah lebih memilih Mbak Asih yang justru hanyalah pembantu di rumah ini.
"Ma, aku harus bantu apa?" tanya Fayla lagi. Fayla hanya bisa membesarkan hatinya. Ia faham betul jika Rina belum menerima kehadirannya. Lagi-lagi ia harus menelan kekecewaan. Rina tak menjawab, namun ia justru memandang sinis ke arah Fayla. Tatapannya menyiratkan syarat kebencian.
Fayla hanya menahan air matanya ketika mendapat tatapan sinis dari mama mertuanya. Ia bisa apa? Disini pun statusnya mungkin hanya menumpang.
Fayla hanya berdoa dalam hati. Semoga Allah membuka pintu hati mama.
"Mbak itu tolong ya, Nanti matiin kompornya, sama tolong buatin sambal tomat!" Rina pergi berlalu. Melewati Fayla tanpa melirik sedikitpun.
Fayla memejamkan matanya erat mengakibatkan genangan air di pelupuk matanya terjatuh.
"Mbak Fayla, enggak apa-apa?" tanya Mbak Asih. Ia mendekati Fayla yang masih berdiri kaku di dekat kompor dengan kepala menunduk.
Disekanya air mata itu kasar, lalu mendongak memandang Mbak Asih dengan senyuman khasnya.
"Enggak apa-apa kok, Mbak." ujarnya dengan suara sedikit parau. "Biar aku aja ya, Mbak, yang bikin sambalnya?!" Fayla meminta persetujuan Mbak Asih dengan pandangan penuh harapan.
Mbak Asih tak sanggup menolak permintaan wanita hamil didepannya itu. Ia hanya mengangguk kaku dan meneruskan kegiatannya.
Fayla mulai menyiapkan bahan-bahan dan memulai aksinya. Cukup mudah bagi Fayla untuk membuat sambal tomat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan Dari Hati
Roman d'amourCinta datang karena terbiasa. Terbiasa bersama hingga timbul rasa ketergantungan. Sulit mengucap rasa namun begitu mudah bertindak akan rasa. Dia yang tengah jatuh cinta, ingin rasanya menghilang jauh. Namun cinta mengombang-ambingkan perasaannya...