Sudah lumayan lama Rimba tidak menginjakkan kaki di tempat bermain biliar ini. Dia, yang di kenal sebagai rajanya biliar mendadak muncul setelah hilang bagai ditelan bumi selama beberapa minggu.
Kedatangannya membuat heboh orang-orang di tempat biliar. Hampir semu orang disana mengenalnya dan mengakui kehebatan Rimba.
Rimba berjalan menuju tempat favoritnya dengan sesekali bersalaman ala laki-laki dengan orang yang ia kenal.
"Weistt, kemana aja lo? Kok baru nongol." tanya salah satu pengunjung tetap di tempat itu. Orin, laki-laki yang tak pernah absen datang ke tempat biliar ini. Orin menepuk bahu Rimba beberapa kali.
"Banyak urusan gue," jawab Rimba. Ia tak mau berlama-lama bersama Orin, karena ia merasa kurang nyaman.
"Gue duluan ya. Gue mau main dulu," kata Rimba sambil berlalu begitu saja.
"Main sama gue sini, udah lama gak main bareng." ujar Orin sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
Rimba mengedihkan bahu acuh, tak urung juga mengambil Cue dan mulai mendekati Orin yang sudah menunggunya dengan wanita cantik di sampingnya.
Disela permainan mereka, Orin seringkali mengumpat karena begitu mudahnya Rimba memasukkan bola ke pocket.
"Ridho sama Alan kemana? Tumben gak ngikutin elo, biasanya juga udah kayak pantat sama ekor lo pada." tanya Orin ketika bidikannya masuk ke pocket.
Rimba mendengkus, apa-apan laki-laki di depannya ini, enak banget ngatain dia dan sahabatnya pantat dan ekor. Kalau gitu ia kotorannya saja.
"Gak tau." jawab Rimba kesal.
Niat hati datang ke tempat ini untuk menenangkan diri yang entah kenapa saat melihat Fayla dan Rendi pergi bersama membuatnya meradang, justru membuat dirinya bertambah kesal.
Dengan sekali sodokan, semua bola berwarna-warni itu masuk ke pocket. Lalu Rimba meletakkan cue begitu saja.
"Gue balik." tutur Rimba sambil membenarkan jambulnya.
"Come on man, ini baru setengah duabelas." Orin mengatakan setelah mengumpat akan kekalahannya.
"Ya." jawab Rimba lalu segera berbalik keluar dari gedung itu. Ia hanya merasa ingin bertemu dengan istrinya.
Ketika Rimba bangun tidur tadi, ia tak menemukan keberadaan istrinya. Rimba juga bingung kemana perginya Fayla.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, motor Rimba sudah memasuki kawasan komplek temannya dan Fayla tinggal.
Jam tangannya menunjukkan pukul 12 lewat 20, itu artinya Fayla sudah tidur. Karena biasanya Fayla tidur dibawah jam 9 malam.
Rimba mengernyit ketika melihat kondisi rumahnya yang masih terang benderang. Tak biasanya seperti ini. Biasanya Fayla akan mematikan semua lampu kecuali lampu teras. Tapi kenapa sekarang berbeda?
Setelah memasukkan motornya dari pintu samping. Rimba bergegas masuk ke dalam rumahnya.
Dengkusan kesal terdengar ketika mata Rimba menangkap Fayla yang tengah tidur di sofa ruang tengah. Dan lihatlah, dia hanya mengenakan kaos lengan pendek dan celana selutut. Apa dia tidak takut kedinginan?
Rimba mendekati Fayla. Tangan kanannya bersiap membangunkan Fayla, namun niatnya itu ia urungkan setelah mendengar dengkuran halus dari bibir Fayla.
Lalu tangan kanannya dijatuhkan pada puncak kepala Fayla. Mengelus pelan sambil bergumam, "Manis." disertai senyum tipis yang terpatri di bibir Rimba.
Dahi Rimba mengkerut ketika matanya menangkap sesuatu yang dipegang oleh Fayla. Ditariknya pelan-pelan kertas yang ada digenggam Fayla.
Apaan nih? Batinnya. Ia menatap dalam foto yang terlihat buram dan ditengah foto itu ada bulatan. Entahlah sulit bagi Rimba untuk menjabarkan foto tersebut.
Rimba melirik meja dekat sofa, sebuah kertas berlogo rumah sakit.
Rimba tersenyum. Ia tahu maksudnya sekarang. Ia mengusap permukaan foto itu dan menciumnya. Barulah setelah itu Rimba mengangkat Fayla untuk memindahkannya ke kamar.
Baru saja Rimba akan melepas tangannya, tangan Fayla lebih dahulu memeluk lehernya. Padahal jelas-jelas mata Fayla terpejam.
Rimba melepas pelan pelukan Fayla pada lehernya. Ia masih harus mengunci pintu dan mematikan lampu.
Setelah terlepas, tangan kekarnya mengusap pelan perut Fayla.
"Hallo sayang, ini ayah." bisiknya pada perut Fayla yang tentunya tengah berkomunikasi dengan bayinya.
"Sehat-sehat di dalem sana." bisiknya lagi. Barulah ia mengecup perut itu lama. Dan tak lupa juga mengecup kening Fayla.
Rimba melepas jaketnya dan menggantungkannya di gantungan baju. Juga mengganti bajunya yang sudah terkena asap rokok.
Berjalan pelan keluar kamar dibarengi dengan bermain ponsel. Tangan satunya ia gunakan untuk mengunci pintu dan mematikan saklar lampu.
Bersamaan dengan itu, ponselnya bergetar menampilkan nama Clara yang memanggilnya. Dengan cepat Rimba mengangkatnya.
"Hallo, kenapa?" tanya Rimba.
"Aku enggak bisa tidur," rengek Clara dengan suara manja.
"Kok bisa? Kamu laper?" Rimba menuangkan air putih digelas setelah sampai di dapur.
"Enggak." bantahnya. "Kangen kamu deh kayaknya." kata Clara menggoda Rimba.
"Tidur Ra, ini udah tengah malem. Malah bisa di bilang pagi."
"Enggak bisa Rimba," rengeknya lagi. "Kamu nyanyi dong! Siapa tahu aku nanti bisa tidur."
"Enggak bisa." Soalnya Fayla lagi tidur, takutnya dia kebangun.
"Yah Rimba," kata Clara dengan nada kecewa yang di buat-buat.
"Kamu tidur ya! Aku juga mau tidur."
"Yaudah deh. Good night, sayang. I love you."
"Hm." Panggilan terputus. Entah kenapa rasanya sulit bagi Rimba membalas ucapan cinta Clara. Padahal dulu ia yang slalu mengumbar cinta pada Clara. Tapi sekarang laki-laki itu hampir tak pernah mengucapkan kata itu.
Rimba menghela nafas kasar. Ia mematikan ponsel lalu bergegas menuju kamar.
Ia merebahkan dirinya disebelah Fayla. Tangannya terulur menarik Fayla dalam dekapan dan menempatkan wajahnya pada ceruk leher Fayla.
"Good night, Fayla."
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan Dari Hati
RomanceCinta datang karena terbiasa. Terbiasa bersama hingga timbul rasa ketergantungan. Sulit mengucap rasa namun begitu mudah bertindak akan rasa. Dia yang tengah jatuh cinta, ingin rasanya menghilang jauh. Namun cinta mengombang-ambingkan perasaannya...