Amarah adalah sisi gelap manusia. Sulit memang untuk mengontrol emosi yang rasanya ingin diledakkan pada orang yang bersangkutan. Namun, ketika kita kehilangan kendali akan emosi ini, maka akan berpengaruh buruk bagi diri kita. Disinilah proses pendewasaan manusia. Apakah kita bisa berteman dengannya atau justru kita terhanyut olehnya.
Tingkat kedewasaan seseorang bukan diukur dari berapa usianya, melainkan dari seberapa kuat ia mengendalikan emosi dalam menghadapi masalah.
Jika diamati Rimba belum mendapatkan sikap dewasa, sikapnya masih kekanakan karena ia belum bisa mengontrol emosinya. Dia masih memiliki ego yang besar.
Dia duduk di sofa depan TV menunggu Fayla. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam lebih. Tapi Fayla belum juga memunculkan batang hidungnya.
Kesal rasanya karena Fayla lebih mementingkan kakak dan juga keponakannya.
Tak lama Fayla datang, raut wajahnya yang terlihat lelah itu melewati Rimba begitu saja.
"Dari mana?" tanya Rimba ketus.
"Kerja."
"Cuma itu?"
"Ya." Entahlah, ada apa dengan Fayla. Biasanya dia tak pernah bersikap dingin pada Rimba. Tapi rasanya kali ini Fayla benar-benar lelah dan ingin marah.
Apalagi melihat rak sepatu di depan tadi yang berantakan. Tidak bisakah Rimba bisa disiplin dan rapi?
"Yakin? Bukannya lo baru aja ke rumah selingkuhan lo?"
"Maksud kamu apa?" tanya Fayla dengan nada sedikit tinggi. Emosinya benar-benar tersulut karena Rimba.
"Lo kalo cari selingkuhan jangan sama abang gue."
Fayla yang sebelumnya mematung di depan pintu kamar kini berbalik dan mendekati Rimba.
Dengan tangan yang mengepal dan mata yang menatap tajam Rimba ia berkata dengan penuh tekanan.
"Aku gak pernah selingkuh."
"Ngeles aja lo. Jangan-jangan lo yang godain abang gue."
Sesak. Itulah yang Fayla rasa. Jantungnya bagaikan diremas-remas oleh sesuatu yang tak terlihat.
"Udah ngapain aja lo sama abang gue? Lo gak jual diri kan? Atau lo bisa kerja di sana karena hasil dari godain dia?"
"Aku gak pernah selingkuh dan aku gak pernah godain mas Rendi." tutur Fayla dengan suara rendah.
"Mana ada maling ngaku!" kata Rimba. Ia berdiri dengan bersedekap dada dan tersenyum miring.
"Bukannya kamu yang selama ini selingkuh?" Rimba diam dan merubah ekspresinya menjadi datar.
"Aku kerja di kantor mas Rendi itu punya alasan. Salah satunya karena suami aku sendiri gak pernah nafkahin aku." kata Fayla sebelum pergi memasuki kamar dengan bergelimangan air mata.
***
Fayla dan Rimba tak lagi bertegur sapa setelah insiden malam itu. Yang biasanya Fayla begitu legowo memaafkan Rimba, kali ini tidak. Ada rasa yang tak bisa dijelaskan dalam hatinya.
Tak perlu repot-repot membuat sarapan dan makan malam. Karena Fayla sejak saat itu mulai sarapan jam 5 pagi sebelum Rimba bangun.
"Tau kaos warna abu diman gak?" ucap Rimba yang sudah frustasi karena tidak menemukannya saat mencari.
Fayla diam.
"Fay, gue ngomong sama lo!"
"Masih di cucian mungkin. Kamu kan belum nyuci baju." ucap Fayla acuh tak acuh sambil membaca buku tentang kehamilan.
Rimba diam. Otaknya berpikir bahwa biasanya Fayla lah yang mencucinya.
"Lo gak masakin gue, gak nyuciin baju gue, gak siapin baju gue. Lo itu kenapa sih Fay? Itu tugas lo sebagai istri. Itu kewajiban." Kata Rimba sambil mengusap rambut frustasi.
"Kewajiban ya?" Fayla tertawa pelan. "Buat apa aku jalanin kewajiban tapi aku gak pernah dapetin hak aku?"
"Kalau bicara tentang kewajiban, tolong lihat diri kamu, udah belum kamu jalanin kewajiban?"
"Lo bukan Fayla yang gue kenal."
"Emang Fayla yang kamu kenal seperti apa? Yang lugu, polos, pemaaf atau gimana? Aku cuma capek Mas. Aku harus bisa bagi waktu buat kuliah kerja dan rumah tangga. Sedangkan dilain sisi aku juga harus merhatiin bayi yang aku kandung.
Aku gaj bisa diem aja, sedangkan aku tahu kalau aku butuh uang banyak buat lahiran. Emang selama ini kamu perduli? Pernah gak kamu mikirin tentang masa depan anak kita?
Yang selalu ada di pikiran kamu cuma pacar kamu. Aku tahu aku cuma orang ketiga di hubungan kamu. Tapi aku juga manusia, aku punya hati. Aku cuma mau dihargai dan dimengerti. " curah Fayla. Matanya mengembun siap menangis.
Tiba-tiba ponsel Rimba berdering keras.
"Sial!" Umpat Rimba.
"Kenapa? Pacara kamu telfon?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan Dari Hati
RomanceCinta datang karena terbiasa. Terbiasa bersama hingga timbul rasa ketergantungan. Sulit mengucap rasa namun begitu mudah bertindak akan rasa. Dia yang tengah jatuh cinta, ingin rasanya menghilang jauh. Namun cinta mengombang-ambingkan perasaannya...