Pesan 4

584 31 1
                                    

Persiapan pernikahan sudah disiapkan secara cepat, terhitung sejak empat hari yang lalu. Walaupun tanpa rumah berdekorasi, tanpa hantaran pernikahan, tanpa duduk di pelaminan dengan disaksikan banyak tamu undangan. Semua dilakukan seadanya.

Di kantor KUA tepat pukul 8 WIB ijab qobul diucapkan. Gaun pengantin berwarna putih yang terkesan jadul, melekat ditubuh Fayla, lebih tepatnya gaun milik mendiang ibunya. Dandanannya juga terkesan alakadarnya. Namun tetap saja, aura kecantikan Fayla menguar pada setiap orang yang melihatnya.

Hanya satu orang yang tak bisa melihat kecantikan itu, Rimba. Laki-laki yang duduk disampingnya dengan jas hitam yang ia kenakan, rambut hitamnya tertutup peci hitam dan raut wajahnya datar tanpa ekspresi.

Tak ada tamu yang menghadiri, hanya ada orangtua Rimba, kakaknya, ponakannya dan Fatimah beserta suaminya sebagai pendamping Fayla.

Rendi, kakaknya Rimba itu tak jadi menikahi Fayla. Usulan yang ia berikan waktu itu ditolak mentah-mentah oleh papa mereka. Rendi hanya tak mau wanita sebaik Fayla harus menikah dengan lelaki macam Rimba.

Rendi akui jika sejak pertemuan pertamanya dengan Fayla ia sudah terpesona. Bahkan putranya pun juga, terbukti dengan Bisma yang selalu berada disisi Fayla jika mereka bertemu dan susah untuk memisahkan mereka.

Sebenarnya mudah saja bagi Fayla untuk menjebloskan Rimba ke penjara. Namun setelah dipikir panjang ia tak akan membuat ayah anaknya mendekam dijeruji besi. Dan ia harus berjuang membesarkan anaknya sendiri. Apa Fayla siap menjadi single mother? Tentu saja tidak, Fayla tidak akan sanggup menjadi single mother.

Seperangkat alat sholat dan uang tunai Rp 5.000.000,00 menjadi mahar yang Rimba berikan untuk Fayla.

Rina, mama Rimba, menatap tajam pada Fayla yang duduk disebelah Rimba. Separuh hatinya masih tak rela menyerahkan Rimba untuk Fayla. Seakan Fayla merebut Rimba secara tiba-tiba dengan paksaan. Sulit bagi Rina untuk menerima Fayla sebagai menantu.

Secercah harapan Fayla panjatkan ketika mencium punggung tangan Rimba.

"Semoga kamu dan keluargamu bisa menerima aku dan anak kita. Aku berharap menjadi pelabuhan terakhirmu, menjadi rumah bagimu. Menjadi wanita yang kamu cinta dan mencintaimu. Aku akan berusaha menjadi istri yang sempurna untukmu dan menjadi ibu yang baik bagi anak kita."

Rimba segera menarik tangannya yang dicium oleh Fayla tanpa membalas Fayla dengan ciuman kening. Fayla hanya tersenyum miris. Bukan seperti ini pernikahan yang ia inginkan. Seandainya semua tak terjadi seperti ini mungkin suatu hari ia bisa menikah dengan senyuman yang tulus.

Kedua pengantin baru itu segera mengikuti apa yang disuruh oleh petugas KUA, termasuk menandatangani buku nikah mereka.

Setelah semua selesai, keluarga Bramantyo memboyong Fayla ke rumah megah mereka.

Selama perjalananpun tak ada yang membuka suara. Bocah cilik yang berada dipangkuan Fayla sudah tertidur pulas tak lama setelah mobil keluar dari area kantor KUA. Itupun Fayla mengetahuinya ketika Rimba menaruh pecinya di dasbor dan bergumam kecil, cepet banget tidurnya.

Mobil jaguar putih itu hanya menampung tiga orang, sang pengantin baru dan Bisma. Sejak akad selesai, Bisma tak mau dipisahkan dari Fayla. Entah apa yang sudah Fayla beri kepada Bisma, hingga anak kecil itu sudah seperti kecanduan berdekatan dengan Fayla. Bahkan ketika akan pulang, ia menentang keras papa dan neneknya yang membujuk Bisma agar mau satu mobil dengan mereka.

Rimba membelokkan mobilnya memasuki pelataran sebuah rumah makan padang. Sejujurnya sejak kemarin siang Rimba belum makan sama sekali. Ia terlalu sibuk memikirkan pernikahan tanpa resepsi ini. Pikirannya terlalu kalut. Membuatnya hanya diam merenung di dalam kamar.

Pesan Dari HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang