14. Penginapan

2.9K 393 88
                                    

"Kau suka?"

Jimin melihat Jungkook saat mendengar pria itu bertanya.
Saat ini mereka berdua sudah berada di sebuah restoran yang diberitahukan oleh Jungkook sebelumnya.

Sambil mengunyah Jimin pun menganggukan kepala, "Ini enak." Katanya.

"Syukurlah."

Jimin tersenyum saja sambil kembali makan. Namun tidak bagi Jungkook yang menatap Jimin terus-terusan.
"Kau baik-baik saja, kan?"

"Memangnya aku kenapa?"

"Kau pergi begitu saja. Saat aku bangun kau sudah tidak ada. Kau juga tidak menjawab panggilan teleponku."

Jimin hampir tersedak, tapi ia berusaha menahannya. Oh, sial. Tolong jangan diingatkan lagi. Jimin merasa canggung setiap kali mengingatnya. Memang Jungkook tidak ingat karena mabuk, tapi tetap saja ia merasa aneh.
Jimin, seharusnya kau tidak boleh bersikap seperti ini. Jungkook pasti akan bertanya-tanya, pikirnya.

"Aku sedang tidur dan sibuk mengurus keperluan untuk ke desa. Jadi aku tidak sempat menjawab panggilan teleponmu. Maaf." Jimin beralasan.

"Begitu. Aku pikir kau ingin menghindariku."

"Menghindarimu? Kenapa aku harus menghindarimu?"

Jungkook menatap pria mungil itu dengan ekspresi kecewa. Jimin bisa melihatnya, tapi ia diam saja dan beralih ke topik lain.

"Kau bisa melukis." Itu sebuah pernyataan dari Jimin.

Jungkook kaget. "Dari mana kau tau?"

"Saat aku ke apartmenmu. Aku mencari toilet, tapi aku malah tersesat di kamar lain. Ada banyak lukisan di ruangan itu."

Jungkook diam saja. Tapi Jimin bisa melihat pria itu mencengkram sendoknya kuat. Oh, apa ini hal yang seharusnya tidak boleh ia bicarakan?

"Maaf." kata Jimin.

"Untuk?"

"Kau tidak suka aku melihat lukisanmu, kan?"

Jungkook terdiam sesaat, kemudian ia tersenyum. "Tidak apa-apa. Kalau itu kau, aku tidak keberatan untuk berbagi rahasiaku."

Itu sebuah rahasia? Oh, entah kenapa dada Jimin berdebar aneh saat Jungkook berkata seperti itu padanya.

"Ra..rahasia?"

Jungkook mengangguk. "Aku suka menggambar, melukis.. ya seperti itu." Ada senyuman bahagia ketika Jungkook mengatakannya. "Sejak kecil aku suka menggambar. Aku bercita-cita ingin jadi pelukis. Tapi orangtuaku tidak mengijinkan. Mereka berusaha menjauhkanku dari semua itu. Mereka juga pernah memukulku saat mengetahui aku menggambar lagi." Senyum bahagia yang sebelumnya Jimin lihat mendadak hilang begitu saja. Hatinya merasa nyeri ketika mengetahui itu semua. Karena ia juga merasakan hal yang sama. Bagaimana rasanya cita-cita itu tidak bisa terwujud, tidak bisa digapai dan tidak bisa diterima oleh orang yang kau harapkan bisa menerimanya.

"Aku mungkin lupa mengunci ruangan itu. Untung saja itu kau." Jungkook berkata sambil mengangkat bahu. Lalu Jungkook merasakan tangannya disentuh. Ia melihat Jimin dan melihat pria itu sedang meneteskan air mata sambil menyentuh tangannya. Jungkook kebingungan. Apa yang terjadi?
"Jimin-sshi, kau kenapa?"

"Hiks.. aku mengerti bagaimana perasaanmu. Karena aku juga punya cita-cita seperti itu. Mereka juga tidak mengijinkanku."

"Kau ingin jadi pelukis juga?" Jungkook kaget sambil memberikan tisu.

"Tidak, bodoh." Jimin mengambil tisu itu dan menghapus air matanya.
"Jungkook-sshi, kau ingat ketika kau memergokiku? Dan bertanya apa yang kulakukan? Kau masih ingat?"

Jungkook mengangguk. "Jadi, kau keluar untuk melukis?"

"Aish..." Jimin ingin mengumpat. "Aku tidak bisa melukis. Dan cita-citaku bukan untuk menjadi seorang pelukis atau pun dokter."

"Lalu, apa?"

Jimin diam saja, lalu menunduk.

Jungkook mengerti. Pria mungil itu tidak ingin membicarakannya. Jadi ia memilih mengalihkan pembicaraan. "Apa kau sudah melihat semua lukisanku, Jimin-sshi?"

Jimin mendongak, lalu menggeleng. "Aku tidak sempat melihat semuanya. Ada banyak sekali."

"Begitu. Berarti kau belum melihat lukisan favoritku."

"Lukisan favorit?"

"Ya. Lukisan yang kubuat saat kecil. Ayahku pernah membakarnya, tapi berhasil kuselamatkan. Sedikit rusak, tapi sudah kuperbaiki."

"Aku.. aku mau melihatnya."

"Akan kutunjukan padamu nanti." Jungkook berkata sambil tersenyum. Ia senang bisa berbagi hal seperti ini dengan Jimin.

---***---

Penginapan itu hanyalah bangunan sederhana yang berdiri di antara kota dan desa. Namjoon sudah memprediksi semuanya agar staf medis tidak terlalu jauh dari desa dan tidak kesulitan menuju kota. Namun di lobi kecil penginapan sederhana yang akan mereka tempati, para staf medis sedang berkasak-kusuk disana.
Berkumpul menunggu kedua orang yang belum juga tiba.

"Itu mereka." Salah seorang perawat menunjuk ke arah Jungkook dan Jimin yang datang bersama.

"Ada apa ini?" Jungkook bertanya lebih dulu ketika menyadari ada hal yang tidak beres. "Kalian sudah makan siang, kan? Kenapa berada disini dan tidak memasuki kamar?"

"Dokter Jeon. Begini, seperti sebelumnya.. ada yang tidak mendapatkan kamar karena terjadi kesalahan saat pendataan." Dokter Shim memilih untuk menjawab keheranan Jungkook.

Dokter muda itu pun berdecak. Ia merasa bingung dengan kesalahan ini.
"Apa tidak ada kamar yang tersisa?"

"Tidak ada. Aku sudah menanyakannya tadi."

"Kalau begitu siapa yang tidak mendapatkan kamar?" Jungkook bertanya.

Dengan cepat Dokter Na menyahut, "Dokter Park. Dokter Park Jimin yang tidak mendapatkan kamar."

Jimin langsung memandang wanita licik itu. Sialan.

Jungkook tidak menyadari arah pandangan Jimin, karena ia sendiri sedang berpikir. "Baiklah. Dokter Park bisa tidur denganku. Lagipula kamarku memiliki tempat tidur yang paling besar disini. Kau tidak keberatan kan, Dokter Park?"

"Ya?" Jimin bertanya karena keterkejutannya, tapi Jungkook mengira itu adalah sebuah jawaban persetujuan.

"Jadi, semuanya sudah beres. Kalian bisa beristirahat sekarang."

Para staf medis pun mulai membawa barang bawaan mereka dan segera memasuki kamar masing-masing.
Jimin sendiri sedang bersama Jungkook di meja penerimaan tamu, mengambil kunci kamar.

"Ayo." Jungkook memimpin di depan. Jimin mengekorinya di belakang.

Ketika mereka sudah berada di kamar, Jimin menahan tangan Jungkook ketika pria itu ingin membereskan barang bawaannya. "Tunggu.. tunggu dulu. Kenapa aku harus tidur denganmu?" Ia baru tersadar.

"Apa kau tidak mendengarkan tadi?"

"Aku mendengarkan. Tapi kenapa harus aku yang tidur denganmu?"

"Kenapa?" Jungkook balik bertanya.

"Apa?"

Dokter muda itu menghela nafas. Ia mulai muak. "Aku menunggumu untuk membicarakannya padaku, Park Jimin."

"Membicarakan apa?" Jimin bingung.

"Dua hari yang lalu. Malam itu. Kau yang mendesah untukku. Aku ingin membicarakannya."

Dan tubuh Jimin pun menegang.






>>>>>

"OUR DREAMS"/KookMinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang