Sahabat Sejati Selamanya

1.7K 43 7
                                    

Aku tidak tau salahnya di mana sampai waffle yang ku buat berakhir bantat tidak se fluffly adonan Kang Angga.

"Apa menteganya tadi kurang ya kang?" Aku mencoba mengingat sambil mengunyah waffle bantatku. Sayang daripada terbuang, karena tentu tidak akan ada manusia yang sudi memakannya selain diriku sendiri.

Orang-orang kitchen sudah pulang, hanya tersisa Kang Angga yang sengaja pulang terlambat karena sudah terlanjur janji mengajarkanku membuat waffle, dan gagal.

Ia lalu merapatkan kursinya ke kursi ku, menatap wajahku begitu dekat hingga membuatku tidak nyaman. Kenapa sih ni orang?

"Artinya Nabila harus lebih sering latihan sama akang. Nanti pulangnya akang anterin aja ya?"

"Hah?" Sialan. Manusia ini modus ternyata. Duh ya, bukan masalah mukanya yang lebih mirip adonan roti ketimbang manusia, hanya saja hidupku sekarang tak ubahnya ketek Mamang Cuanki, asem! Tolong donk jangan ditambah!

Tiba-tiba handphone ku bergetar lama, menandakan ada telepon masuk. Dan betapa senangnya aku ternyata itu adalah telpon dari Yoga. Yeaayy, alhamdulillah sahabatku ini benar-benar penyelamat dalam situasi awkward seperti ini.

"Dimana La? Aku udah di parkiran nih. Kamu jadi pulang jam 6 kan?" suara Yoga terdengar jelas dari speaker BB yang ku dekatkan di telinga.

"Jadi-jadi. Aku keluar sekarang ya. Tunggu bentar. Bye." Aku buru-buru mengambil tas, dan memakai sepatuku dengan benar.

"Kang Angga, maaf aku pulang duluan ya. Temen aku udah jemput. Hehe. Makasih ya buat sesi latihannya hari ini. Aku seneng. Dadah Kang Angga," aku melambai sambil buru-buru keluar dan menghampiri Xenia merah marun yang terparkir tepat di depan pintu keluar.

Nafasku masih terengah saat aku masuk dan duduk di samping Yoga dengan percaya diri.

Walau sudah 3 tahun menghilang, ia tentu masih sahabatku seperti 3 tahun yang lalu. Dia yang selalu ada kapanpun dan dimanapun saat aku membutuhkannya.

"Hai," sapanya. Aku melihat ke matanya dan entah mengapa suasana menjadi sedikit awkward.

Aku lalu mengulurkan tangan, "apa kabar?" pertanyaan basa-basi ini selalu ampuh untuk mencairkan suasana.

"Baik. Udah lama banget ya La nggak ketemu, kamu makin cantik."

Aku tersipu,"hehe, iya donk. Mau kemana kita?"

"Makan di punclut mau?" tanyanya.

''Mau donk! aku menjawab cepat.'' Kalau sama Yoga di ajak kemana pun aku tinggal mau saja, karena sudah pasti dia yang akan bayar, hehe.

Yoga menyalakan mesin, menggerakan tongkat persneling, dan menginjak pedal gas. Mobil pun mundur kebelakang, meliuk ke kiri, lalu maju melesat di jalan raya. Tubuhku yang semula gerah, perlahan-lahan semakin dingin diselimuti udara AC.

"Tadi lagi sibuk waktu aku telpon Ra?" Yoga memutar setir mobilnya ke kiri, mengarah ke jalan Ciumbuleuit.

"Engga, tadi aku lagi latihan bikin waffle."

"Udah jadi?" Yoga sepertinya penasaran.

"Udah," ku jawab saja sesuai fakta.

"Terus, enak?" ia semakin penasaran.

"Engga. Bantet! Hahaha," Yoga lalu ikut tertawa. Diam-diam aku melirik kekanan, memperhatiakan dia yang tengah tertawa lepas. Dipikir-pikir, sahabatku ini memang manis kalau dilihat dari samping. Rasanya ingin ku jambak saking kangennya.

''Haha, kamu emang nggak ada bakat masak La, keliatan dari mukanya. Bego.''

''Haha. Sial!'' Bersamanya aku sama sekali tidak takut terlihat bodoh. Dia sahabat terbaik yang pernah aku punya. Aku bahkan tidak marah ketika dia tiba-tiba menghilang 3 tahun lalu. Aku tau, akan ada hari dimana Yoga pasti kembali. Dan kali ini, waktu akhirnya menjawab. Sahabat terbaik tidak akan pernah pergi.

Commuter LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang