Titik Terang

3.1K 54 13
                                        

"Teh, es krimnya cair," aku melirik es krim yang ternyata memang benar sudah meleleh. Sebenarnya, aku juga sudah tak berminat lagi memakannya. Nafsu makan ku hilang, begitu pun nafsu hidupku. Hari ini buruk. Sangat buruk!!

Bagaimana bisa masalah beramai-ramai datang menyerangku bersamaan di hari yang sama. Hari dimana aku kehilangan kepercayaan pada Al, kehilangan Andre, sekaligus kehilangan kepercayaan dari ibuku sendiri. Huhuhu, can this day get any worse? Atau aku harus goyang dumang agar semua masalah jadi hilang?

Pukul 9.30 malam aku mulai memasukan tart dari etalase ke chiller di kitchen, lalu lanjut membantu Dhita inventory.

"Hari ini di jemput Kang Al teh?" Aku menggeleng.

"Dia sibuk Tha," sibuk sms'n sama mantannya, batinku.

"Loh, aku pikir laki-laki yang dari tadi nunggu diluar, itu Kang Al," aku melirik ke arah yang di tunjuk Dhita.

"Laki-laki mana Tha?" Aku tidak melihat ada orang di luar.

"Tadi ada teh, pake jaket abu. Orangnya tinggi, mancung. Kasep teh!" Mendengar ciri fisik yang Dhita sebutkan, aku jadi curiga, apakah itu memang benar Al?

Aku berjalan sedikit ke arah kaca, menyapukan pandanganku ke sekeliling area parkir yang tidak terlalu luas, dan, oke baik, ekor mataku akhirnya menemukan Al yang tengah duduk di atas motornya, dan sialnya Al memergoki aku saat tengah menatap ke arahnya. Ia hanya diam, tidak melambai, menatapku nanar, lalu menunduk.

Aku kembali, menghitung toples di rak. "Dari kapan dia di sana?" Aku penasaran.

"Aku tadi liat dari jam 9 kurang udah disitu teh. Jadi bener itu Kang Alfaro? Ganteng banget!" Aku mengangguk. "Cie di jemput sang kekasih super tampan. Cocok sih sama teteh yang cantiknya mirip Nabilah JKT48, hehe, witwiw," Dhita malah menggodaku.

Mengingat kembali apa yang sudah dilakukan lelaki anjing itu, yang sudah membuat aku sangat marah, kecewa, ingin rasanya ku ludahi saja wajahnya! Tapi melihat usahanya untuk menemuiku malam ini, aku jadi bingung. Apa yang harus aku lakukan kalau nanti diajak pulang bareng? Sebaiknya aku ikut atau tolak? Aku tidak mau lagi bersikap lunak ke Alfar. Membiarkan aku menjadi wanita gampangan akan membuat Alfar semakin berani coba-coba menyakitiku.

Setelah toko tutup, aku berjalan menuju halte bus tanpa melirik ke Al. Aku harus melindungi diriku sendiri dari drama percintaan yang pelik ini. Tapi yang terjadi justru semakin drama karena Al lalu mengejarku.

"Sierra tunggu!!" Al lalu berlari menahanku dan berlutut.

"Bangun! Ngapain sih Al, ntar temenku liat!"

"Aku nggak akan bangun kalau belum di maafin."

Aku mengibaskan tangan Al, "Bodo!" Lalu berlari. Tapi Al mengejar dan meraih tanganku lagi. "Ra, liat aku! Aku minta maaf! Aku mohon, kasih aku kesempatan," aku lalu menatap lurus ke matanya yang sayu. Oh damn!

Al lalu mengeluarkan setangkai bunga mawar merah, setangkai bunga mawar putih, dan sebatang besar coklat chunky bar dari balik jaketnya, lalu memberikannya padaku. Setelahnya, sudah dapat dipastikan emosiku lalu mencair. Lembek banget Nabilaaaa, kamu manusia apa jelly rasa stroberi siiih?!!

Ku pikir makhluk cuek macam Al nggak akan pernah melakukan hal seperti ini seumur hidupnya. Nggak ada sejarahnya Al ngasih bunga ke cewek, tapi ternyata dia lakuin ini ke aku, memohon, dan berlutut, huhuhu, apa aku boleh bangga??

"Kita baikan ya Ra! Demi Allah aku janji nggak akan bales sms dari cewe mana pun yang kamu nggak suka," aku menatapnya lama, seolah mencari jawaban.

Al mengusap pipiku, "percaya ya sama aku," matanya begitu sendu, membuat aku yakin jika tidak ada kebohongan disana. Aku lalu mengangguk. Baikan.

Setibanya dirumah, sudah tentu aku disuguhi muka masam Mama sesuai dugaanku. Petuah, hujatan, dan retorika yang luar biasa dahsyat mengalun begitu nyaring bak kaleng-kaleng kosong yang berkelontrang tanpa serius ku dengar. Aku sudah tau, intinya Mama hanya mencoba memanipulasi pikiranku agar ingin kembali ke Andre. Jangan harap!

Commuter LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang