Seulgi mematikan alarm yang berdering dinakas samping ranjang. Masih dalam keadaan setengah mengantuk berusaha untuk bangun.
Hari lain untuk dilalui.
Piyamanya tersingkap sedikit saat ia menggaruk kulit perutnya yang terasa gatal. Sembari menguap turun menuju dapur.
Hidungnya mencium aroma masakan dari arah dapur. Sontak alisnya mengernyit.
Siapa yang memasak sepagi ini?
Cepat-cepat Seulgi turun untuk melihat, lalu tertegun mendapati seorang perempuan dipertengahan 40 tahun sedang asik mengaduk-aduk sesuatu di atas wajan.
Ibunya tengah memasak.
Seulgi menelan ludah. Mengingat kapan terakhir kali ia melihat ibunya memasak makanan untuk mereka. Biasanya hanya makanan cepat saji yang dipesan via online. Itupun seringnya untuk Seulgi makan sendiri karena ibunya jarang berada di rumah.
Perlahan Seulgi mendekati meja dapur, berdiri dibelakang ibunya—memperhatikan detail tubuh belakang sang ibu.
Ibunya berbalik, dengan wajan di tangan hendak memindahkan isinya ke atas piring ketika matanya melihat Seulgi berdiri di sana.
"Oh, kau sudah bangun? Selamat pagi."
Entah, seberapa besar Seulgi menampik, hatinya kecilnya tidak bisa membohongi jika ia masih merindu perempuan—hampir—paruh baya itu.
-
"Kau terlihat murung," tegur Sooyoung dijalan menuju kelas. "Apa karena masalah kemarin?" Tambahnya hati-hati. Masih merasa tak enak.
Seulgi menoleh sekilas, menggeleng kecil. "Bukan,"
"Mau menceritakannya padaku?"
Seulgi menimang, pikirannya kembali kalut dengan siluet sang ibu yang berputar di dalamnya.
Menghela napas dalam, Seulgi kembali menggeleng. "Nanti saja,"
Sooyoung tidak mendorong lebih jauh, hanya menganggukkan kepalanya penuh pengertian.
"Baiklah." Sooyoung merangkul Seulgi di sisa perjalanan menuju kelas mereka.
Selanjutnya perjalanan mereka diisi guyonan random Sooyoung dan gosip-gosip terbaru yang mereka dengar.
Tanpa sadar keduanya sudah mencapai ruang kelas dan tinggal berbelok untuk masuk. Namun kemudian—
"Seulgi?"
Mereka mengerem tepat di pintu kelas, menoleh pada asal suara.
Seulgi yang merasa terpanggil mengernyitkan alis melihat siapa yang berdiri di sana.
Sooyoung yang lebih dulu bertanya, "apa yang kau lakukan di kelas kami?"
Irene mengabaikan pertanyaan Sooyoung, berdiri tepat di depan keduanya.
"aku hanya ingin tau kapan kita bisa memulai berlatih untuk proyek duet di festival nanti?"
Seulgi menoleh penuh pada Irene, melepaskan rangkulan Sooyoung.
"Apa?"
"Kupikir akan lebih baik jika kita menyiapkannya sejak awal, untuk itu kita perlu saling berkontak satu sama lain. Setidaknya sampai acara selesai."
Seulgi melihat Irene mengambil sesuatu dari saku seragamnya dan menjulurkan benda persegi itu kehadapannya.
"Minta nomormu,"
Seulgi mengerjap. Begitupun Sooyoung yang gagal menahan mulutnya untuk terbuka lebar.
"Aku butuh kontakmu untuk mengabari dikemudian hari."
-
Seulgi menarik Irene ke tempat yang lebih tertutup, menghindari kerumunan orang yang akan menjadikan mereka pusat perhatian—karena Irene adalah topik utama per-gosip-an sejak kemarin diantara siswa angkatannya.
"Apa-apaan kau?!" Seulgi mendesis jengkel. "Mengapa datang ke kelasku?"
Irene memutar matanya, "aku sudah mengatakannya, mana nomormu?"
"Untuk apa?"
"Perlu kujelaskan dua kali?" Suara Irene terdengar jengah.
"Tidak mau," tolak Seulgi mentah-mentah. "Tidak ada jaminan jika kau tidak akan berlaku macam-macam dengan nomorku."
Irene tergelak.
"Kau pikir aku orang mesum?"
"Siapa yang tahu?"
"Kau bisa langsung meblokir nomorku jika itu yang terjadi."
"Kau bisa memakai nomor lain."
Irene menggaruk pelipisnya.
"Lalu maumu bagaimana? Festival digelar kurang dari 3 minggu lagi. Kita perlu menentukan lagu yang akan dibawakan bersama,"
Seulgi melipat tangannya, "aku tidak bilang bersedia untuk berduet denganmu."
Alis Irene menyatu, ia ikut melipat tangannya. Menatap Seulgi nyalang, "kau tidak dalam posisi memutuskan apapun, Siwon yang menentukan." Irene mendekatkan tubuhnya pada Seulgi.
Seulgi yang juga keras kepala ikut maju, ujung hidung mereka hampir menyentuh, dengan mata saling bersulut satu-sama lain.
"Persetan dengan Siwon! Hidupku, keputusanku." Seulgi, memantik api.
Keduanya berada dalam perang mata yang intens. Baik Seulgi maupun Irene saling mengeraskan ego mereka. Kobaran api imajiner jelas melingkupi tubuh keduanya.
"Enyahlah dari hadapanku." Titah akhir Seulgi sebelum berbalik untuk pergi.
Irene yang merasa darahnya mulai mendidih sesaat memejamkan matanya, berusaha mengatur ritme jantungnya yang menggebu. Setelahnya menarik napas panjang. Ia baru membuka matanya lagi setelah ketenangannya kembali.
Menatap punggung Seulgi yang mulai menjauh dengan dingin. Kemudian berucap—
"Bagaimana jika—kuungkapkan perilakumu yang sengaja menjebak pak Changmin dan Seo Joohyun demi kepentinganmu semata kepada mereka?"
Langkah Seulgi terhenti, menoleh kaget pada Irene yang kembali membahas perihal insiden tempo lalu. Kedua matanya membesar.
"Kau pikir aku tidak mengetahui kebenaran dari skema yang kau lakukan hari itu? Tentang keaslian dari isi surat tersebut?"
Irene mengangkat ponselnya, layarnya menunjukkan sebuah gambar yang tidak seharusnya ada.
"Kau—jauh lebih brengsek dari dugaanku, Kang Seulgi."
Gue jd oh jisoo di extracurricular udh gue pletekin tulang2 si baegyul.
Hmp!
KAMU SEDANG MEMBACA
1 Sendok Takar Paracetamol
FanfictionUntuk hatimu yang dilanda demam. Alternative title : the pursuit of happiness.