Seulgi memegangi sebelah pipinya yang membengkak. Terdapat tanda biru keunguan yang mulai tercetak di tulang pipi kirinya. Sayup-sayup terdengar rintihan kecil keluar dari mulutnya saat menahan perih.
Irene, yang berjalan di sisinya mendelik canggung. Diam-diam merasa tak enak karena melukai gadis itu.
Padahal memar di dahinya saja belum sepenuhnya sembuh.
"Jika memang sangat ingin tahu rumahku, cukup bilang saja. Apa kau sungguh tidak bisa bersikap layaknya orang normal, barang sekali saja?"
Hanya terdengar rintihan dari Seulgi.
Irene mendesah dengan napas berat. Udara malam terasa semakin dingin menyusupi tubuhnya.
"Kita kompres lukamu dengan es saat tiba di rumahku."
Lagi-lagi hanya rintihan dari Seulgi, sebab untuk membuka mulut saja rasanya seperti wajahnya akan remuk.
Air mata mulai berkumpul dipelupuk mata Seulgi.
Sakit...
-
Seulgi menyadari dua hal;
Pertama; jalan yang mereka lewati untuk sampai ke rumah Irene tidak pernah melewati gang kecil tadi. Mereka justru berbalik arah keluar gang setelah Irene menyadari Seulgi-lah yang membuntutinya.
Kedua; rumah yang Irene maksud sebagai rumahnya, bukanlah seperti kebanyakan rumah pada umumnya.
Maksud Seulgi—rumah itu adalah bangunan dengan luas yang cukup besar dan memiliki beberapa lantai. Bentuknya mirip dengan bangunan gedung asrama kebanyakan, lengkap dengan sebuah lobby sebagai pintu masuk. Di depan pagarnya pun terdapat sebuah plang yang bertuliskan;
Panti Asuhan Haengbok.
Rumah Irene adalah panti asuhan.
Panti asuhan.
Seulgi mematung.
Irene menyadari hilangnya bunyi langkah Seulgi. Menoleh ke belakang dan mendapati gadis itu tengah menatap plang luar rumahnya dengan ekspresi kosong. Alis Irene saling bertaut.
"Kenapa? Belum pernah mendatangi sebuah panti asuhan?"
Seulgi menelan ludah, separuh karena menahan rasa perih, sisanya karena akhirnya mengetahui satu fakta tentang gadis itu.
Mata mereka bertemu saat Seulgi mengalihkan pandangannya pada Irene.
Irene, gadis itu menatap dengan raut wajah serius yang jarang ia tampakkan.
Seulgi kembali menelan ludahnya.
-
"Akh!" Seulgi merintih kencang ketika Irene menempelkan kain yang terisi batu es ke pipinya.
"Sakit?" Tanya Irene dengan wajah datar. Seulgi mendelik garang.
Irene mendengus, menekan lebih keras pada kain yang menempel di pipi Seulgi.
"AKH! J-jangan ditekan!" Cicit Seulgi menahan sakit. Tangannya berusaha menggapai kain itu untuk mengambil alih pegangan Irene.
Irene menghempaskan tangan Seulgi dengan tangannya yang lain. "Biar aku saja."
Kali ini mengompres luka memar Seulgi dengan lebih lembut.
"Tanyakan," ucap Irene setelah beberapa saat.
Kedua bola mata Seulgi berkedip bingung. Tangan Irene masih setia menahan kain balutan es itu lembut, sesekali menekan pelan, memijat kecil pipi Seulgi.
"Bukannya itu yang ingin kau lakukan? Mencari tahu tentangku. Sampai nekat menguntitku segala?"
Mata Seulgi cepat-cepat beralih pada hal lain.
Apa dia bisa membaca pikiran orang?
"Aku tidak bisa membaca pikiran orang, hanya kau yang payah menyembunyikan isi pikiranmu." Kali ini Seulgi tidak bisa menutupi keterkejutannya karena Irene—yang kembali mampu membaca pikirannya. "Tanyakan apapun yang ingin kau ketahui, lalu berhentilah bersikap bodoh."
Mata mereka kembali bertemu. Kali ini, tatapan mata Irene terlihat sayu.
Untuk ke sekian kali Seulgi menelan ludahnya. Entah kenapa, mendadak perasaannya bergejolak. Banyak hal yang ada dipikirannya; tentang siapa Irene? Kenapa dia tinggal ditempat seperti ini? Kemana keluarganya? Atau, bagaimana bisa ia selalu menyadari saat Seulgi berusaha menguntitnya?
Maka dengan tarikan napas berat, Seulgi akhirnya sanggup bersuara;
"Siapa kau?"
Sesaat Seulgi menangkap kilat nostalgia dari pupil gadis itu, kemudian setelah satu kedipan, kilat matanya berubah kembali normal.
"Bae Joohyun, atau Irene jika kau lupa namaku. Hanya seorang anak yatim-piatu yang tumbuh dan besar di panti asuhan." Menjadi jawaban template Irene.
"Bukan itu," sangkal Seulgi. "Maksudku—kenapa rasanya seperti kita pernah bertemu? Kenapa kau selalu menatapku seolah aku, adalah bagian dari ingatan yang pernah tertanam di memori otakmu?" Seulgi mengingat kembali pandangan Irene yang beberapa kali terasa mengganggu, "aku baru menyadarinya akhir-akhir ini, tetapi tatapanmu terlalu lekat untuk ukuran orang yang sekedar ingin menggangguku. Apa yang ingin kau sampaikan, sebenarnya?"
Irene terkekeh. Tangannya kembali bergerak mengompres pipi Seulgi setelah sesaat tadi terdiam mendengar pertanyaan gadis itu.
"Jadi, kau benar-benar tidak mengingatku." Terdengar nada kekecewaan di sana. Irene membuang napas panjang, tatapannya tak pernah lepas dari Seulgi. "Kupikir selama ini kau sengaja bersikap tidak peduli, tetapi ternyata kau memang tidak mengingatnya. Aku tidak tahu mana yang lebih mengecewakan."
"Apa maksudmu? Apa yang tidak kuingat? Berhenti berbicara dengan teka-teki? Otakku tidak sanggup memprosesnya!"
Irene lagi-lagi terkekeh.
Menyita perhatian penuh Seulgi yang menatapnya tidak sabar.
"Irene," desisnya.
Irene menghentikan tawanya, menatap lurus Seulgi dengan ekspresi wajah yang serius. Menatap Seulgi lekat.
"Katakan Kang Seulgi, tidakkah aku ini—terlihat familiar di matamu?"
"Apa?"
Suasananya mendayu banget dari sore. Akibat hujan rintik yang gak berenti.
Btw, bisa kasih tanggapan soal alur nih ff sejauh ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
1 Sendok Takar Paracetamol
FanfictionUntuk hatimu yang dilanda demam. Alternative title : the pursuit of happiness.