19

1.2K 346 21
                                    




Irene duduk manis di sofa ruang tamu rumah Suho. Sang pemilik rumah—Suho, menggeret adik perempuan satu-satunya itu naik ke lantai atas bersama Seulgi. Meninggalkan tamu mereka sendirian .

Sesekali Irene bisa mendengar jerit Yerim yang masih histeris. Irene mendengus geli, tersenyum kecil mengingat ekspresi lucu bocah itu.

Pandangan Irene mengedar, memperhatikan detail dari ruang tamu keluarga Suho. Ekspresi gadis itu menyiratkan kekaguman dan kecemburuan sekaligus melihat seisi ruangan. Jika Irene harus mendeskripsikan kesan pertama yang ia dapat dari rumah Suho dalam satu kata ialah—hangat.

Menilik dari bingkai-bingkai foto keluarga mereka yang terpampang bangga di dinding ruang, lalu ornamen dan furniture yang tertata rapih, serta keseluruhan atmosfer yang ia rasakan hanya dengan memasuki saja, benar-benar membuat nyaman.

Irene merasa iri.

Karena apa yang dimiliki keluarga ini adalah hal paling mewah yang tak akan pernah ia rengkuh.

Keluarga.

Irene tersenyum masam.

Tidak lama suara ibu Suho kembali terdengar. Beliau membawa secangkir teh hangat dan kukis.

"Mereka benar-benar kekanakan. Bisa-bisanya meninggalkan tamu mereka sendirian." Ibu Suho menghela napas dalam lalu tersenyum hangat pada Irene. "Aku meminta maaf untuk kelakuan anak-anakku."

Irene membalas senyuman ibu Suho tak kalah hangat. "Itu bukan masalah, tak perlu meminta maaf."

"Tunggulah sebentar, biar kupanggil mereka. Minum tehnya."

Setelahnya ibu Suho beranjak naik untuk menjemput kedua anaknya dan Seulgi turun.

Irene mencicipi teh buatan ibu Suho. Harum daun teh dan manisnya gula bercampur, menghangatkan perasaannya. Irene berpikir, bagaimana rasanya hidup dengan satu keluarga utuh.

"Itu hanya mimpi."



-




"Oppa, dia benar Bae Joohyun?! Dia satu sekolah denganmu?!" Jerit Yerim memborbardir kakak laki-lakinya dengan pertanyaan.

Suho dan Seulgi berpandangan.

"Kau mengenal Irene?"

Jeritan Yerim kembali terdengar.

Kedua orang yang lebih tua kompak menutup telinga mereka. Suara Yerim benar-benar tak terkendali.

"Apa adikmu salah makan? Kupingku sakit." Bisik Seulgi pada Suho.

"Bisa berhenti berteriak?" Pinta Suho pada Yerim yang masih menjerit tak jelas.

"TAPI DIA BAE JOOHYUN, OPPA! BAE JOOHYUN!"

"LALU KENAPA?!" Tanya Suho yang ikut menjerit karena kesal. Kedua jari telunjuk menutupi dua sisi telinganya, meminimalisir akses suara yang masuk ke sana.

Seulgi yang tersentak hanya bisa menutup kedua mata dan kupingnya. Kesal pada pasang kakak-adik yang malah beradu jeritan.

"Oppa ingat festival musik yang diadakan sekolahku ketika aku kelas 5 SD? Saat aku pulang dan mengatakan pada ibu jika aku ingin jadi penyanyi?"

Suho mengingat, otaknya mengulas kembali memori beberapa tahun silam. Satu gambaran muncul diingatannya.

"Saat kau pulang dengan baju basah dan kotor karena tercebur saluran air dekat sekolahmu, karena keasyikan menari?"

Seulgi yang baru mendengarnya melebarkan mata, "kau pernah tercebur got?!"

"Iya!"

"Lalu?"

"Itu karena Bae Joohyun!"

Oke, Yerim terdengar semakin melantur.

"Apa hubungannya?"

"Oppa, kenapa kau masih tidak mengerti?!" Yerim merengek pada kakaknya yang masih kebingungan. "Seulgi unnie, kau paham kan?"

Dengan polos Seulgi menggelengkan kepalanya.

"Ah, kenapa kalian bodoh sih?"

"HEH!" Tegur keduanya.

Yerim menghentikan rengekannya, menatap kedua orang di depannya serius.

"Bae Joohyun, menjadi tamu khusus hari itu. Dia bernyanyi dengan iringan gitar akustik, suaranya sangat bagus sampai aku tidak pernah bisa melupakannya dalam ingatanku. Secara instan menjadi role model bagiku yang juga menyukai musik. Aku bahkan rela melanjutkan sekolah ke SMP-ku saat ini karena dia seorang. Karena saat itu ia memakai seragam SMP almamaterku sekarang ketika bernyanyi di panggung." Wajah Yerim mulai bersemu kemerahan, senyumnya mengembang menarik lebar kedua pipinya. "Pada intinya, aku—adalah penggemar beratnya."

Keduanya tidak langsung memberi respon.

Seulgi memandang bodoh adik Suho itu karena penjelasannya yang—sulit dipercaya.

Sedangkan Suho menatap datar Yerim karena gadis itu mengatakan alasan yang—tidak masuk akal.

"Jadi, selama ini kau rela bangun dipagi buta dan melewati jauhnya dua terminal subway untuk ke sekolahmu—demi Irene?"

"Aku ingin mengikuti jejaknya."

"Tidak boleh!" Sahut Seulgi dan Suho berbarengan. Menolak keras ide Yerim untuk menjadi seperti Irene.

Apa dia juga mau jadi tukang onar sepertinya?!

"Dengar Yerim, Irene bukan contoh figur yang baik untuk dijadikan teladan. Tidak usah menggemarinya."

"Benar!" Angguk Seulgi menyetujui perkataan Suho. "Lagipula dia bukan selebritis."

"Kenapa tidak? Dia cantik, pintar bernyanyi dan baik."

"Kau tahu apa? Dia jauh dari kata baik."

Ekspresi Yerim mengeras. Menatap nyalang kakaknya. "Kenapa kalian yang mengaturku? Hidupku, keputusanku."

Sesaat Seulgi merasa dejavu mendengar kalimat akhir Yerim. Memori dua hari lalu di koridor sekolah dengan Irene kembali melintas.

"Sekali penggemarnya, tetap penggemarnya. Aku orang yang royal, titik." Yerim kemudian bangkit dan bergegas membuka pintu. Tidak ketinggalan adegan klise saat bocah itu menahan langkah saat pintunya terbuka, hanya untuk menoleh pada kedua orang di dalam dengan tatapan sengit. Lalu berlalu keluar.

Suho dan Seulgi hanya bisa menatap kepergian Yerim dengan pandangan nanar.

"Apa itu tadi?"

"Adikmu baru saja membanting pintu karena marah menyoal Irene."

Keduanya kompak mendengus kasar.

Bocah tengik!

Tidak lama muncul ibu Suho yang membuka pintu tanpa mengetuk. Beliau memasang wajah curiga.

"Kenapa Yerim berjalan sambil marah?"








Udeh mau lanjut ngebucin lagi. Kesayangan lagi ngelive hmp!

1 Sendok Takar ParacetamolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang