15

1.4K 338 29
                                    


Irene merapatkan kedua bibirnya, berusaha keras menahan tawa.

Seulgi di depannya memutar mata jengkel dengan plester yang tertempel di dahi.

"Kenapa ditahan? Keluarkan saja. Tertawalah sepuasmu!" Sebal Seulgi.

Irene akhirnya hanya mengeluarkan kekehan kecil, tetapi melihat dari pelupuk matanya yang mulai berair—jelas, Irene menikmati waktunya menertawakan Seulgi dalam diam.

Sialan!

Irene lantas berdeham. Mencoba menetralkan kondisi tubuh kembali dan menatap Seulgi lekat.

"Kau memang drama queen." Ucapan pertama yang keluar dari mulutnya setelah bertemu Seulgi sore itu.

Seulgi menggertakkan gigi semakin kesal.

Keduanya duduk berhadapan dimeja yang berada dalam minimarket tempat Irene bekerja paruh waktu. Mengikuti perintah Irene untuk bertemu tepat pukul tiga sore itu.

Iya, Seulgi akhirnya menelan harga dirinya demi menyelamatkan status pelajar di sekolah.

Ia akhirnya memilih datang.

Sialan!

Entah sudah berapa kali Seulgi mengumpat seharian ini.

"Dahimu baik-baik saja?"

"Bisa kita lewati tahap berbasa-basinya? Waktuku tidak banyak, mari langsung pada inti masalah saja." Tolak Seulgi telak.

Irene meluangkan waktu beberapa saat untuk memperhatikan Seulgi sebelum mengangguk.

"Oke."

Tangan Seulgi bergerak membuka kaleng soda yang tadi ia beli sesampainya di mininarket.

"Soal lagu duet—"

"Ngomong-ngomong aku tidak pandai bernyanyi, sekedar informasi." Potong Seulgi memberitahu sebelum Irene sempat memulai diskusi. Dengan enteng mulai meminum minuman bersodanya.

Irene bersandar pada punggung kursi, melipat tangannya.

"Begitu? Tidak masalah." Jawaban Irene yang tak kalah enteng. Seulgi hampir tersedak dibuatnya.

"Sungguh?"

"Berduet tidak harus bernyanyi, kau bisa bermain salah satu alat musik, kan?"

Seulgi hanya mengerjap, lalu perlahan mengangguk penuh keraguan. "Harmonika," gumamnya yang menarik respon kerutan di wajah Irene yang sejak tadi tenang.

"Yang benar saja." Protes Irene tidak setuju.

Seulgi menghendikkan bahu, "hanya itu alat musik yang bisa kumainkan."

"Bahkan tidak gitar?"

Seulgi mendecih, "kau pikir aku siswa keren super populer yang punya banyak kemampuan? Sadarlah, aku bukan tokoh utama dalam karya fiktif. Aku siswa dengan kemampuan dan kepribadian pas-pasan. Tidak usah neko-neko!"

Mendengarnya membuat Irene mendesah panjang, "kau lebih menyebalkan dari yang kupikir."

"Baru sadar?"

"Jadi kau tidak bisa bernyanyi maupun memainkan alat musik yang berguna—"

"Harmonika tidak seburuk itu!"

"—Lalu bagaimana kita meneruskan proyek ini?"

"Terserah kau."

Irene memijat pelipisnya. Melihat jam dinding dibelakang kasir, sebentar lagi memasuki jadwal shiftnya.

1 Sendok Takar ParacetamolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang