21

1.3K 331 56
                                    

Sila dengerin sambil baca, biar mantap.





"Apa yang kau lakukan?"

Irene melihat Seulgi dengan heran. Mereka berjalan bersisian menuju halte bus. Yang mengejutkannya, Seulgi justru ikut mengantar Irene selepas keluar dari rumah Suho.

"Aku sedang berusaha bersikap ramah, apa kau tidak bisa melihat?"

"Aku bisa melihatnya. Maksudku kenapa? Otakmu terbentur sesuatu sampai terpikir begitu?"

Seulgi menghentikan langkah. Mendengus sebal pada Irene.

"Sepertinya begitu. Lanjutkan jalanmu sendiri! seharusnya aku tidak perlu bersikap ramah." Seulgi merajuk. Ia sudah berbalik untuk kembali tetapi tangan Irene menahannya.

"Sudah setengah jalan, sekalian mengantarku sampai halte depan. Kenapa kau bersikap seperti gadis yang sedang datang bulan, sih?"

"Aku memang sedang datang bulan, masalah?" Mata Seulgi turun pada tangan Irene yang memegangi tangannya. Irene mengikuti arah pandang Seulgi, keduanya lalu saling bertatap mata.

Merasa Irene tidak kunjung melepas tangannya, Seulgi lantas menggoyangkan lengannya. Memberi isyarat pada gadis itu untuk lekas melepaskan pegangan tangannya.

Tetapi Irene malah tersenyum jahil, lalu dengan gerakan cepat beralih menggenggam jemari Seulgi.

Apa-apaan?!

"Begitu rupanya." Irene mengangguk santai, jelas mengabaikan tatapan kaget Seulgi. "Sebaiknya kita berjalan lebih cepat, atau aku bisa ketinggalan bus." Gadis itu malah menarik Seulgi untuk kembali berjalan dengan tangan saling menggenggam.

Irene yang menggenggam.

"Hey! Lepaskan!" Protes Seulgi. Tangannya berusaha melepaskan tautan jemari mereka, namun Irene malah semakin mengeratkan genggamannya. "Apa sih maumu?!"

Irene hanya menoleh singkat pada Seulgi, "hm? Aku? Kenapa?"

Seulgi menatap Irene tak percaya, "bagaimana kau bisa bertanya dengan wajah begitu?! Lepaskan tanganku!"

Bukannya menurut, Irene malah menjadi-jadi. Ia dengan sengaja memasukkan tangan mereka ke dalam saku blazer seragam sekolahnya. Membuat Seulgi makin histeris.

"Hey! Bae Irene!"

"Tanganku kedinginan." Ucapnya beralasan.

"Woah.. " Seulgi tidak sanggup berkata-kata. Berulangkali ia membuang napas panjang. Menatap Irene curiga, "apa kau menyukaiku?"

Irene sempat tergelak. Melirik Seulgi dengan ekspresi geli.

"Kenapa menanyakannya? Apa terlihat begitu?"

"Lalu kenapa kau terus menggangguku jika bukan karena itu?!"

"Mengganggumu? Kapan?"

"Sekarang! Kenapa tidak melepaskan tanganku?!"

"Tanganku kedinginan."

Seulgi menggigit bibir bawahnya, kesal.

"Rupanya kau benar-benar menguji kesabaranku. Kubilang lepaskan! Lepas tidak?!"

"Kalau tidak mau?" Tantang Irene. Matanya menyorot usil.

"Kuhajar juga kau!" Seulgi mulai habis kesabaran.

Irene hanya tertawa. Jelas mengabaikan ancaman Seulgi.

"Oh, kita sudah sampai." Ucap Irene mengalihkan topik.

Mereka berhenti di depan halte bus. Dari arah barat terlihat bus yang akan Irene tumpangi sudah berjalan mendekati halte.

Tepat waktu.

Irene berpaling menatap Seulgi. Gadis itu menatap ke segala arah kecuali Irene, merajuk. Irene terkekeh kecil.

"Nah, sampai di sini saja. Bus-ku sudah datang, kembalilah ke rumahmu." Irene menarik keluar tangan mereka dari saku blazernya namun belum melepaskan tautan jemari mereka.

"Jangan mengaturku." Tukas Seulgi, masih menolak menatap Irene.

Irene terkekeh.

"Kalau begitu sampai jumpa besok di sekolah. Jangan lupa untuk menghapal lagunya, lalu hubungi aku untuk sesi latihan berikutnya."

Seulgi ingin mendecih.

Bus Irene sudah berhenti tepat di depan mereka.

"Jangan terlalu sering menekuk wajahmu seperti itu, kau mirip beruang yang keriput. Jelek." Komentar Irene asal melihat wajah masam Seulgi.

Menarik kembali perhatian Seulgi yang melotot, menatap dengan wajah garang pada Irene.

Irene; yang hanya membalas dengan tawa renyah, yang mengusap dua kali permukaan kulit tangan Seulgi dengan jempolnya sebelum melepas genggaman tangan mereka, namun gagal ia sadari karena sibuk merasa tersinggung dengan ucapan terakhir gadis itu.

Irene yang pandai menyulut api.

Bisa-bisanya..

Beruang keriput?!


Jelek?!





-






"Hoy!" Suho memanggil. Pemuda itu menunggu Seulgi di depan pagar rumahnya. "Bae Irene sudah pulang dengan selamat?"

Suho berlari kecil mendekati Seulgi lalu menyamai langkah temannya itu.

"Aku yang hampir tidak selamat." Tukas Seulgi datar.

Suho terbahak.

"Kalau kupikir-pikir, hubungan kalian seperti-apa ungkapannya?" Suho menaruh telunjuknya di depan bibir, berpikir.

"Jangan berani-berani, Suho." Sela Seulgi cepat.

"Ah! Hubungan cinta-benci." Tetapi Suho kadung melanjutkan, "mirip."

Seulgi menoleh pada Suho galak, "sejak tadi tanganku rasanya sudah sangat gatal. Mau kutampar?"

Suho melebarkan kedua matanya, berpura-pura takut.

"Maafkan aku, yang mulia." Candanya.

Seulgi mencebik sebal.

Suho kembali tertawa.

Kemudian Seulgi mengingat satu hal penting, ekspresi wajahnya segera berubah dingin.

Suho menyadarinya.

"Kenapa?"

Seulgi berbalik menatap arah dia datang, matanya kemudian menatap Suho serius.

"Aku lupa memberitahumu kemarin, jika Bae Irene sudah mengetahuinya."

"Tentang?"

"Misi kita yang tidak pernah diketahui Sooyoung."

Suho terdiam mencerna ucapan Seulgi, lalu matanya berpindah pada arah Seulgi datang, jalan keluar komplek rumah mereka.

"Apa kau-tidak akan melakukan apapun?"

Seulgi mengikuti arah pandangan Suho.

"Apa aku-pernah tidak melakukan apapun?"

Keduanya bertukar tatap. Wajah mereka sama-sama dihiasi seringaian misterius.

"Tos?"

"Tos!"











Sembari menulis, membayangkan tiap adegan Seulrene ditemani lagunya James Arthur yang Breath diatas. Rasanya cocok dijadiin official soundtracknya wkwk.

Diliriknya juga, terdapat hint kenapa ff ini berjudul sedemikian aneh. Yg juga mengarah pada inti dari plot cerita ini.

See ya! 😂

1 Sendok Takar ParacetamolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang