29

1.4K 373 36
                                    




Sooyoung sejak tadi merasa tidak nyaman. Pasalnya, ia dengan jelas menyadari tatapan sengit yang dilayangkan si sekretaris OSIS padanya sejak memulai pekerjaan.

Tidak seperti pekan lalu, gadis dengan rambut pirang itu mengawasi mereka bekerja tepat dibalik punggung keduanya. Dengan sorot mata tajam dan ekspresi wajah dingin—ia percis putri kerajaan es.

Apa namanya? Elsa?

Sooyoung diam-diam melirik ke belakang, dan langsung disambut dua bola mata Seungwan yang pijarnya mengeringkan kerongkongan Sooyoung.

Sooyoung menelan ludah, merasa ciut seketika.

"Apa perasaanku saja, tapi sepertinya punggungku memanas." Terdengar bisikan Suho dari samping. "Aku bisa meleleh jika ditatap terus-menerus, seintens itu."

Oh, rupanya bukan hanya dia seorang yang menyadari.

Sooyoung berdeham canggung.

"Rasanya seperti sorot matanya sedang mencabik kulit punggungku."

Keduanya kemudian kompak mencuri pandang pada Seungwan, namun segera berbalik karena tak tahan pada aura kelam yang gadis itu pancarkan.

"Mari lekas selesaikan saja tugas kita." Putus Suho akhirnya.

Dan mereka mulai bergerak lebih gesit—jauh lebih gesit dari biasanya.

Sedangkan Seungwan di sisi lain, tidak pernah melonggarkan tatapannya.

Beraninya kau mengambil buku incaranku semudah itu.





-





Seulgi mengantar Irene sampai keluar gerbang rumahnya. Seusai perdebatan panjang tadi diikuti kecanggungan aneh setelahnya, Irene memutuskan untuk pulang. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah hari.

"Tidak usah mengantarku, sampai di sini saja." Ucap Irene ketika mereka sudah melewati pagar.

"Aku memang tidak berniat mengantarmu, kok." Beritahu Seulgi datar.

Irene tersenyum malu. "Begitu ya." Gadis itu memggaruk pelipisnya kikuk.

Seulgi mengawasi dengan heran, karena Irene hanya berdiri di sana dan tidak kunjung pergi.

"Tidak jadi pulang?" Tanyanya kemudian.

"Hm?" Irene yang terlihat tengah memikirkan sesuatu bergumam, lalu seperti tersadar menoleh pada Seulgi dengan terkejut. "Oh! Ya, aku akan pulang." Tetapi kakinya masih menapak tempat yang sama sejak tiga menit lalu.

Menilik dari gelagatnya, Seulgi mengamsumsikan jika gadis itu tengah menimbang sesuatu untuk diungkapkan.

Maka, Seulgi menunggu.

Sedetik, dua detik, tiga puluh detik, sanpai berubah menit. Dan Irene belum juga membuka mulutnya.

Seulgi mulai bosan.

"Cepat utarakan apapun yang ada dibongkahan kepalamu itu, terik matahari sudah sampai ke ubun-ubunku yang memanas." Seulgi menyela Irene yang tengah—kembali—berkelut dalam pikirannya.

Irene hanya merespon dengan kedipan mata cepat, khas orang kaget.

Seulgi memutar matanya, mulai jengah.

"Kalau tidak ada kutinggal masuk. Sana pergi!" Juteknya sudah berbalik.

"Tunggu!" Panggil Irene akhirnya. Lewat ujung mata terlihat jika gadis itu menggigit kecil bibir bawahnya, Seulgi menghela napas.

1 Sendok Takar ParacetamolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang