27

1.3K 349 88
                                    


Semalam, di rumah Irene.

"Katakan Kang Seulgi, tidakkah aku ini—terlihat familiar di matamu?"

Seulgi menatap Irene seksama, memastikan pendengarannnya berfungsi dengan benar.

"Apa?"

Irene mencondongkan wajah, mendorong Seulgi yang refleks menjauh.

"Wajah ini," Irene mengangkat jemarinya naik turun mengikuti lekuk wajahnya, persis seorang sales yang sedang mempromosikan merek dagangnya pada Seulgi, " Tidak cukup asing, kan? Mata, hidung, mulut—" ia menunjuk setiap anggota wajah yang disebutkan secara menggebu. "—setidaknya salah satunya mungkin sedikit terlintas dalam ingatanmu!"

Seulgi terbengong ditempatnya. Mendengus kecil mendengar kegilaan Irene.

"Kalau memang begitu caranya, aku bisa pergi ke asrama para 'idol' terkenal itu , lalu kita lihat di mana aku berada hari esoknya—" Seulgi ikut memajukan wajah dengan ekspresi jengah. "—Rumah sakit, penjara, atau kuburan, huh?"

"Haish, bukan begitu maksudku—"

"Setidaknya cari alasan lebih baik jika ingin menarik perhatianku!"

"—Aku tidak sedang menarik perhatianmu!"

"Lalu apa? Kau menyukaiku, 'kan?"

Keduanya sama-sama bergeming dengan pandangan saling menyulut.

"Aku hanya ingin tahu alasanmu yang sebenarnya, berhentilah bermain-main." Lelah Seulgi.

"Untuk apa? Apa yang akan kau lakukan jika kuberitahu? Kau mau membalasku, karena menekanmu hari itu? Karena aku mengetahui rahasia kalian? Hm?" Seringaian Irene kembali muncul melihat Seulgi yang seperti mati kutu. "Kau pikir aku tidak tahu pola pikirmu? Kau itu seperti air dalam gelas bening, mudah sekali terbaca. Tahu?"

Tangan Seulgi yang berada diatas pahanya tanpa sadar mengepal kuat, menyeret serta kain rok yang ia pakai.

"Apa kau masih belum jera? Berhentilah melakukan hal-hal yang tidak berguna, perilaku destruktifmu itu lambat laun hanya akan menghancurkanmu."

"Tahu apa?" Sanggah Seulgi tidak terima. Matanya menyorot tajam, "kubilang tahu apa?! Berapa banyak pikirmu yang kau ketahui tentangku? Apa kau tahu apa yang kulalui selama ini? Siapa memangnya dirimu, Hah?!"

Napas Seulgi mulai menderu seiring emosi yang semakin memuncak. Dadanya naik turun karena tarikan napas yang tidak beraturan.

Irene di sisi lain masih berusaha tenang. Menatap tak kalah tajam pada gadis yang lebih muda.

"Hidupku, tak semestinya menjadi urusanmu. Jangan bertingkah sok suci, diantara kita berdua jelas terlihat siapa yang lebih bermasalah. Aku bukan siswa yang dicap sebagai biang onar di sekolah. Tapi kau! Maka berhentilah mengurusi hidupku. Perbaiki saja hidupmu sendiri. Lagipula, jika bukan karena kau yang memulai, kita tidak akan pernah berada di situasi sekarang."  Seulgi tersenyum remeh. "Aku juga tidak sudi berurusan dengan orang semacam kalian, sampah masyarakat."

Cukup, ucapan Seulgi sudah mulai keluar batas. Terutama untuk dua kata terakhir.

Irene yang mulai terpancing emosi tanpa kata menampar sebelah pipi Seulgi yang masih bengkak. Keras.

Tidak terima Seulgi memanggil dirinya dan seluruh temannya sebagai sampah masyarakat.

"AKH!!"

"Seharusnya aku menendang kedua belah wajahmu tadi, biar kau tak bisa menggerakkan mulut sialanmu itu."

"Akh! Kau gila!"

Irene menghela napas kasar, mati-matian menahan amarah. Bisa-bisa Seulgi mati di tangannya jika ia sampai lepas kontrol.

"Asal kau tahu, aku tidak pernah mengganggu siapapun tanpa alasan. Kenapa menurutmu aku mengganti meja dan kursi nayeon dari kelas 11-5 kemarin? Jika ia tidak pernah menggangguku lebih dulu dengan membuang isi lokerku dan menggantinya dengan sampah serta menyebar rumor palsu tentangku yang tidur dengan semua temanku sampai mereka rela menjadi kacungku, aku tidak akan pernah melakukan itu padanya."

Seulgi memegangi pipi kirinya yang kembali berdenyut sangat perih seperti saat pertama tadi.

"Aku mungkin tidak banyak tahu tentangmu, atau seberapa berat hidup yang harus kau lalui. Tetapi, aku tidak pernah bermain-main tentang kita yang pernah bertemu dulu. Jika boleh jujur, justru kaulah penyebab aku menjadi seperti sekarang ini."

Seulgi tidak bisa menggerakkan mulutnya, karena rasa perih yang tidak tertahankan. Hanya berupa rintihan seperti yang ia lakukan sepanjang jalan menuju rumah Irene.

"Aku hanyalah rerumputan yang menempati tangga bawah rantai makanan. Jika aku tidak berjuang keras, bagaimana aku bisa mempertahankan diri?"

Satu tegukan saliva melewati kerongkongan Seulgi yang mengering, mendengar rentetan kalimat Irene sedikit membuatnya merasa tak enak.

"Setidaknya kau masih punya keluarga, dengan rumah yang nyaman. Kenapa terus berpikir jika kehidupan tidak bergulir baik untukmu? Ketika aku di sini, setengah mati untuk bertahan. Kenapa tidak mencoba hidup dengan lebih baik?"

Kedua mata mereka kembali bertemu. Bola mata Irene menyorot kelam pada milik Seulgi yang gusar.

Irene kemudian berdiri, membawa serta kain dengan es batu yang mulai mencair dan berjalan keluar. Namun kembali terhenti ketika sampai di ambang pintu, gadis itu sekali lagi menoleh pada Seulgi.

"Cukup jawab aku. Apa sedikitpun, tidak ada yang tersisa dariku diingatanmu?" Tanyanya dengan suara rendah. "Karena aku selalu mengingatnya seperti hari kemarin. Jelas dan nyata."

Seulgi menggigit bibir bawahnya. Tidak yakin harus merespon apa. Ia jelas tidak mengingat satu detail kecil pun tentang Irene di masa lalu.

Irene masih menunggu.

Sekian detik berlalu dan Seulgi masih tak kunjung menjawab. Irene mengasumsikan jika gadis itu benar-benar melupakannya. Maka dengan tarikan napas final, ia akhirnya menyerah untuk mencari tahu. Menerima kenyataan seumpama mereka memang tidak dapat terhubung. Hanya ia sendiri yang terlalu berharap.

Garis tipis tertarik dari satu sudut bibirnya, Irene tersenyum masam.

Tak mau berdiri lebih lama di sana, ia memutuskan untuk segera keluar, namun saat itu suara Seulgi justru terdengar;

"Lalu, jika memang kita pernah bertemu sebelumnya—tidak, jika kau memang mengenalku sebelumnya, kenapa kau tidak pernah menghampiriku? Setidaknya, meski sekali, harusnya kau menyapaku, bukan?"

Irene berbalik. Menoleh pada Seulgi yang menatapnya dengan penuh kebingungan. Meminta penjelasan.

Irene menelan ludahnya, "karena.. Aku tidak yakin."

Mata Irene bergetar nanar.

"Kau—terlihat berbeda dari terakhir kali kita bertemu."








Besok libur yak. Malming jangan baca ff mulu.

Pacaran napa!

Bye!😁

1 Sendok Takar ParacetamolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang