Seungwan sudah menunggu di depan gerbang seperti pekan lalu. Matanya sibuk memerhatikan jarum jam analognya. Menghitung tiap detik yang terlewat.
Dari jauh Sooyoung sudah menghela napas malas. Pikirannya masih dipusingkan tentang alasan mengapa Seulgi bisa menginap di rumah Irene dan sekarang ia harus berkelut dengan Seungwan dan klub teater.
"Kalian terlambat tiga belas menit, sembilan detik." Suara Seungwan menyambut keduanya dengan informasi akurat keterlambatan mereka. "Di mana Seulgi?"
"Sakit."
Satu alis Seungwan menukik naik, "yakin?"
Mereka tahu akan seperti ini.
Maka Suho segera menunjukkan layar ponselnya yang memperlihatkan wajah bengkak Seulgi.
"Kenapa dengan wajahnya?"
"Terpeleset dari tangga."
"Oh." Begitu saja, kemudian Seungwan langsung berbalik masuk melewati gerbang. "Ayo."
Suho dan Sooyoung hanya mampu menghela napas. Sesekali Sooyoung menepuki dadanya yang sesak karena kesal—pada Seulgi dan Seungwan.
Tarik napas..
buang...
fiuhhh!
-
Seulgi terbangun dari tidurnya. Seseorang membuat kerusuhan dengan memencet bel rumahnya terus-menerus. Melihat jam di dinding kamar; masih pukul sepuluh pagi.
Membuang napas berat, ia terpaksa berdiri. Tombol bel rumahnya bisa amblas kalau terus ditekan begitu.
"Berhenti menekan bel-nya, brengsek!" Teriak Seulgi saat keluar dari pintu depan. Emosi membuatnya lupa sesaat akan rasa perih di pipinya.
Pagar rumah Seulgi tidak terlalu tinggi—kira-kira hanya seukuran bahunya—makanya ia bisa melihat siapa yang berdiri dibalik pagar, sibuk memenceti bel rumahnya meskipun sudah ia teriaki.
Kepala Irene menyembul dari balik pagar dengan senyuman manis terpatri di wajahnya, tetapi tangannya belum berhenti memencet bel.
"Tombol bel-ku bisa rusak, bedebah! Aku sudah keluar, berhenti memencetinya!" Seulgi berteriak lebih kencang, berjalan terburu menuju pagar rumah.
"Aku hanya akan berhenti jika pagarnya sudah terbuka." Balas Irene.
Seulgi segera membuka pagarnya, lalu berdiri dihadapan Irene dengan berkacak pinggang.
"Apa yang kau lakukan di rumahku pagi-pagi begini?!" Tanyanya galak.
Irene tidak langsung menjawab, alih-alih—"geser sedikit." Lewat tangannya menginstruksikan si pemilik rumah untuk sedikit berpindah posisi. Seulgi yang bingung tanpa sadar menuruti kemauan 'tamu' nya itu untuk bergeser. Setelahnya Irene memanfaatkan ruang kosong diantara Seulgi dan sisi pagar untuk menerobos memasuki halaman depan rumah Seulgi tanpa ijin.
"Siapa yang memberimu ijin masuk?!" Protes Seulgi melihat Irene yang nyelonong tanpa permisi.
"Diriku sendiri."
"Apa?!"
Irene melihat-lihat sebentar sekitar halaman rumah milik Seulgi sebelum kemudian menoleh pada si pemilik.
"Apa yang kau tunggu? Ayo masuk! Aku bawa makanan." Irene menunjukkan dua renteng plastik hitam yang dijinjingnya.
Mulut Seulgi menganga, "memang siapa pemilik rumah di sini?!"
-
Mata Seulgi mengikuti gerak tangan Irene yang membuka penutup mangkuk plastik tteokbokki yang dibawanya. Lalu gadis itu mengambil sepasang sumpit yang ia oper pada Seulgi sebelum mengambil sepasang sumpit lain untuk dirinya.
"Mari makan," ucap Irene sebelum memisahkan sumpitnya dan mulai melahap hidangan yang tersaji.
Di sana, terdapat beberapa jenis makanan jalanan yang Irene bawa; tteokbokki, sundae, odeng, dan berbagai macam gorengan. Tidak ketinggalan dua botol cola ukuran sedang.
Seulgi meletakkan kembali sumpitnya diatas meja, menatap tajam pada Irene.
"Kenapa kau kemari?"
Awalnya Irene tidak begitu menghiraukan pertanyaan Seulgi. Lebih memilih melanjutkan makan seolah ia tidak pernah menerobos masuk rumah orang seenaknya. Sampai tangan Seulgi menggebrak cukup keras meja tempatnya makan.
"Bae Irene! Kenapa kau datang ke rumahku?!"
Barulah Irene mendongak pada Seulgi yang hidungnya sudah mulai kembang-kempis karena emosi.
Irene menaruh kue beras yang belum sempat memasuki mulutnya kembali pada wadah—Seulgi menatap jijik pada satu potong kue beras itu—sebelum menaruh sumpitnya diatas meja—lagi, mata Seulgi tidak lepas pada noda dimeja akibat sumpit penuh saos kuah tteokboki itu ditaruh sembarang di sana.
"Berkunjung. Tidak boleh? Bukannya teman seharusnya saling berkunjung?"
Mata Seulgi membulat. "Teman?! Sejak kapan?!"
"Apa maksudmu? Kita memang teman satu ekskul, kan?" Irene mengambil kembali sumpitnya, mengambil satu buah gorengan lalu mencelupkan sedikit ujungnya pada kuah tteokbokki sebelum mengigit lahap. "Lagi pula, kau sudah berkunjung ke rumahku semalam, kini giliranku."
Seulgi hanya bisa menghela napas. Memijat keningnya yang pening.
Berbicara dengannya hanya akan memangkas umurku lebih cepat.
Lalu mengingat kata 'semalam', otaknya langsung terhubung pada pertanyaan tentang Irene yang belum terjawab.
"Kalau begitu," mulai Seulgi setelah menyingkirkan rasa kesalnya sesaat. "Selagi di sini, buat dirimu bermanfaat."
Permainan harus selalu berjalan dua arah, kan?
Irene yang belum mengerti arah pembicaraan Seulgi hanya mengerjap lambat.
"Jelaskan segalanya tentang ucapanmu semalam."
Siapa disini yg akhlakless macam Irene?
Gue! Wkwk
Udh ah, bay!
KAMU SEDANG MEMBACA
1 Sendok Takar Paracetamol
FanfictionUntuk hatimu yang dilanda demam. Alternative title : the pursuit of happiness.