"Bagaimana?"
Irene menghela napas panjang sebelum menjawab. "Berjalan cukup lancar,"
"Tapi?"
"Kupikir aku sedikit mengacau diakhir. Sulit menahan perasaan saat didekatnya. Kau tahu 'kan bagaimana sikapnya itu?"
Irene mendengar kekehan kecil dari pemuda disebrang telepon itu.
"Yeah, dia memang agak sulit ditaklukkan. Tetapi, kau juga sudah menunggu cukup lama selama ini. Tiga tahun, benar?"
"Ya."
"Kupikir kau pasti bisa mengatasinya, seperti tiga tahun belakangan. Ini kesempatan bagimu, Irene. Bersemangatlah!"
Irene tersenyum, "kau benar. Setidaknya aku tidak boleh membiarkan penantianku selama ini berakhir sia-sia." Irene memberi jeda sesaat sebelum bertanya. "Bogum?"
"Hum?"
"Apa menurutmu—aku cukup gila?"
Terdengar bunyi gemerisik dari sebrang jaringan, Bogum mungkin sedang merubah posisinya supaya bisa menelepon lebih nyaman.
"Kenapa bertanya begitu?"
"Bayangkan—jika seseorang menunggumu selama tiga tahun padahal kalian hanya bertemu satu kali dan kau bahkan tidak mengingatnya sama sekali. Terdengar gila, bukan?"
"Jika dipikir lagi.. "
"Aku bahkan tidak pernah bisa melupakan wajahnya hari itu." Irene tersenyum masam, "benar-benar gila."
Bogum tidak langsung memberikan respon. Pemuda itu mungkin tengah menimbang kata-kata yang harus ia ucapkan untuk situasi sekarang. Karena Bogum baik hati dan pengertian, Irene mengerti jika pada akhirnya ia memilih untuk tidak mengucapkan apapun. Atau malah membelokkan arah pembicaraan pada hal lain.
Irene bersandar pada punggung kursi belajarnya. Matanya menerawang langit-langit kamar dengan pikiran kosong.
Kemudian terdengar suara Bogum yang akhirnya merespon.
"Jika itu aku—aku akan lebih senang jika orang itu langsung menyapaku ketika pertama bertemu kembali setelah 'hari itu', sekedar berterima kasih atau memberitahuku perubahan positif dalam hidupnya karena andilku. Alih-alih menunggu tiga tahun dan datang dengan cara yang ekstrim. Mengguncang kehidupanku. Tapi—" Irene menegakkan tubuhnya kembali menunggu lanjutan kalimat Bogum. "—Seulgi bukan aku. Dan jikapun kau ingin mendekatinya, kupikir lebih baik jika kau melepas semua bayang-bayang tentangnya di masa lalu. Karena Seulgi yang kau kenali sekarang adalah ia yang hidup di masa kini, bukan tiga tahun lalu.
"Dia mungkin akan kebingungan—atau lebih parah, merasa tersinggung. Karena masa lalunya terus kau ungkit. Jika kau ingin ia menerimamu, maka kau harus lebih dulu menerima dia dengan apa adanya."
Irene termenung menelaah wejangan Bogum yang cukup panjang.
"Menurutmu begitu?"
"Hm. Jangan lupa untuk memberinya waktu beradaptasi juga, dari yang kulihat dia tipe orang yang cenderung tertutup dan ekslusif dalam lingkup sosialnya."
Irene sebenarnya juga menyadari dua hal itu. Dari pengamatannya tiga tahun belakangan, ia hanya sesekali melihat Seulgi berkumpul dengan orang lain selain Suho dan Sooyoung.
Pemilih, ya?
-
Ketika hari senin tiba, Seulgi yang tengah berjalan melewati lorong kelas bersama dua temannya menyadari berbagai tatapan yang ditujukan padanya.
Alasannya?
Apa lagi kalau bukan memar di wajah yang masih tercetak jelas.
Sial!
Meskipun luka akibat tendangan Irene di pipi kirinya coba ia tutupi dengan telapak tangan, tetap saja orang-orang bisa melihat ukuran dua sisi wajahnya yang berbeda karena bengkak.
"Kenapa tidak ditutupi pakai masker?" Tanya Sooyoung yang mulai jengah menjadi pusat perhatian orang-orang yang mereka lewati.
"Ketinggalan."
"Tidak apa-apa. Sekali-kali kita merasakan jadi siswa populer yang diperhatikan banyak siswa." Tenang Suho yang tetap berjalan santai seperti hari biasanya.
Dua siswi di samping kanannya kompak mendelik tajam.
Suho yang sadar ditatap begitu melirik polos, "aku salah?" Tunjuknya bingung pada diri sendiri.
Seulgi dan Sooyoung kompak memutar mata malas.
Mereka melanjutkan jalan dengan diam.
Sampai ketika rombongan Irene terlihat keluar dari salah satu kelas di depan. Perhatian mereka lekas terpecah. Terutama saat Irene menoleh pada mereka saat jarak diantara dua belah pihak mendekat dan gadis itu tersenyum ramah menyapa mereka.
"Hai Seulgi! Kalian juga!" Sapa Irene dengan senyuman. Bukan hanya itu, yang lebih mengejutkan adalah kelima pemuda di belakangnya yang ikut menyapa dengan senyum ramah dimasing-masing wajah.
Suho dan Sooyoung yang terkejut serempak menoleh pada Seulgi heran.
Seulgi sendiri terbengong ditempat tanpa tahu harus bersikap bagaimana.
Maksudnya, mereka serius menyapa kami semua dilingkup sekolah?
Nonton RM yg eps Tuaise bener2 moodbooster dah. Ngakak terooss.
Dahyuniiii dasar!
Wp error bos! Kagak ada notif, maap yak.
KAMU SEDANG MEMBACA
1 Sendok Takar Paracetamol
FanfictionUntuk hatimu yang dilanda demam. Alternative title : the pursuit of happiness.