26. Cinta Tak Terbalas

463 56 14
                                    

📖 Happy reading 📖

_____

Gelap. Semuanya gelap. Aku melihat gelap. Tidak, lebih tepatnya aku di dalam gelap. Apa ini mimpi? Ya, ini mimpi. Pasti ini mimpi yang buruk. Tapi mimpi buruk selalu berakhir dengan terbangun. Dan aku tidak bangun.

Tembakan. Oh, ya Tuhan. Aku mengingat itu. Aku tertembak. Sebuah peluru menembus tubuhku. Melukaiku. Menodai baju hangat pemberian ibu.

Apakah aku mati? Aku tidak akan mati, kan? Oh, Tuhan yang baik. Tolonglah aku. Beritahu aku, apa yang sebenarnya terjadi?

Aku tidak mungkin mati dan meninggalkan keluargaku. Meninggalkan Harriette. Meninggalkan pekerjaanku, studiku. Bahkan Pierce.

Oh, ya ampun! Pierce. Si mata indah yang terus mengawasiku di ruang konferensi pers. Aku merindukannya. Aku sungguh-sungguh merindukannya. Aku ingin dia ada di sisiku dan menggenggam tanganku tanpa melepaskannya. Dimana dia? Apakah dia juga mengkhawatirkanku?

Aku ingin mengetahui itu semua, namun di sini begitu hampa. Begitu hening. Begitu damai. Aku bahkan merasakan diriku melayang. Melayang di luar angkasa, ruang tanpa udara. Udara. Apa aku bernapas sekarang?

Aku mencoba menarik napas, mencoba memasukkan apa pun di dalam paru-paruku. Itu bekerja. Aku bisa bernapas. Jadi aku tahu aku baik-baik saja.

Dan sesuatu terjadi.

Aku merasa sakit. Oh, tidak. Aku tidak baik-baik saja. Sulit memastikan di mana tepatnya bagian tubuhku yang sakit. Mungkin di bahuku? Atau di dadaku? Entahlah. Ini benar-benar sakit sampai ke tulang-tulangku. Apakah timah panas itu menembus tulangku juga? Apakah itu masih bersarang di sana?

Lalu aku mendengar sesuatu. Sebuah suara. Tidak, banyak suara di sekitarku. Sibuk. Gaduh. Resah. Sedih.

Chérie. Chérie. Suara ibu terdengar kali ini. Tepat di bawah telingaku. Aku merasakan ada kesedihan di dalam suaranya. Dia terisak. Apakah dia menangis?

Oh, ayolah. Jangan menangis. Aku tidak apa-apa, Mom. Aku baik-baik saja. Aku bersumpah. Meskipun rasa sakit ini semakin menggila, aku tahu aku akan bisa menanganinya. Aku yakin aku akan kuat. Semua itu untuk menghapus kesedihan ibuku. Dia tidak boleh bersedih karena aku.

"Kenapa dia belum sadar juga? Ini sudah 24 jam. Katamu setelah operasi berjalan lancar, dia akan segera bangun. Tapi lihatlah ini." Itu suara ayah. Dia jelas terdengar marah. Ada apa dengannya? Apakah dia sedang membicarakanku?

"Aku mengerti, Mr. Grenville. Brie mungkin masih dalam pengaruh bius. Tapi aku yakin dia akan sadar beberapa menit lagi." Seorang dokter, asumsiku. Dia pasti kewalahan dengan sikap ayah dan ibu.

Ibu masih terus menangis, dan samar aku bisa mendengar Harriette, mungkin sedang menenangkan ibu. Sebuah tangan menyentuh wajahku yang aku pikir pasti milik ibu. Aku bahkan bisa merasakan kesedihan hanya lewat sentuhannya.

Apakah Pierce juga sesedih ini? Oh, ya ampun. Kekasihku yang malang. Wajahnya waktu itu benar-benar kalut. Tapi tunggu sebentar. Aku mengenali suara ibu, Harriette, ayah, tapi tidak dengan Pierce. Dimana dia? Baru kusadari bahwa suaranya tidak kudengar sama sekali. Apa yang terjadi padanya? Mengapa dia tidak berada di sisiku? Apakah dia belum berani bertemu dengan orang tuaku? Atau apakah Harriette melarangnya untuk berada di sini?

"Kumohon, buka matamu, sayang. Kumohon. Kumohon." Ibu berbisik lagi.

Jadi apakah itu caranya agar kesedihanmu pergi, mom? Apakah itu cara untuk mengetahui bahwa dimana Pierce? Ya, ya. Aku harus membuka mataku. Tapi ketika aku mencobanya, mataku begitu berat, seperti ada lem super yang sengaja direkatkan di sela-sela mataku.

Glimmer Of The Sight Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang