📖 Happy reading 📖
_____
Aku tidak ingin terburu-buru, begitu pula dengan Pierce. Kami benar-benar memulai dari awal, berciuman selama dan sepelan mungkin, menikmati lidah kami masing-masing yang saling menjelajah satu dengan yang lain.
Satu tanganku turun ke dada Pierce, mencari kancing kemejanya. Satu demi satu kulepas, tidak sabar menyentuh kulitnya. Dan itu sukses. Kulit dadanya begitu halus, sehalus beludru mahal yang pernah kusentuh, dan ada sedikit rambut di dadanya. Begitu menggemaskan.
Aku pernah menyentuh banyak dada pria, maksudku saat aku bekerja di depan kamera. Tapi itu tidak ada bandingnya dengan pria ini. Dadanya begitu padat, keras, panas, kokoh, menonjol, dan aku tahu ada magnet di sana karena tanganku tidak mau terlepas. Otot-ototnya meliuk dengan indah di bawah telapakku, seperti pahatan patung David, buatan tangan sang legenda Michaelangelo. Oh, Brie! Kumohon ingatlah ini sampai seabad lagi.
Saat Pierce membantuku untuk melepas kemejanya, aku dengan sukacita melepas pagutan bibir kami demi melahap semua lekuk tubuhnya. Sial! Sudah kuduga. Dia begitu indah dengan semua otot-otot kerasnya yang terpahat sempurna. Itu membuatku menitikkan liur. Biseps dan perut bawahnya dihiasi pembuluh darah maskulin yang mencolok. Otot perutnya berlekuk sempurna.
Dia benar-benar indah dengan caranya. Aku tahu sekarang bahwa dia seorang dewa. Dewa cinta yang dikirimkan untukku untuk memberikan kenikmatan duniawi padaku. Lalu aku menatap matanya. Oh, ya ampun. Dia seperti tidak bisa bernapas dengan benar membuat lututku lemah dalam waktu singkat.
"Astaga, pumpkin. Jangan membuatku gugup dengan tatapan napsumu." Dia tersenyum memandangku, dan kembali mendekat, menciumku. Begitu manis caranya sampai membuatku berputar-putar dalam kabut yang kami ciptakan. Sepertinya aku tak sanggup menanggungnya sampai ingin menangis.
"Aku bertanya-tanya..." Pierce beralih dari bibir ke leherku, menggigit kecil, lalu menyapu bibirnya ke seluruh rahang kiriku. "Bagaimana sekarang? Serius, Brie. Bagaimana?"
Erangan kecilnya membuatku lupa siapa namaku. Berat tubuhnya menindihku dan panas tubuhnya menguasaiku. "Lakukan." Ucapanku benar-benar tidak mantap. Aku bergetar begitu pula dengannya.
"Bayangkan apa yang akan kita lakukan." Mendengar Pierce mengatakannya, membuatku seakan sedang berlari menuju puncak. Persetan dengan membayangkan. Aku ingin merasakannya. Aku ingin tahu bagaimana cara kita melalui ini.
Napasnya panas meletup di bawah telingaku, semakin membakarku. Bibirnya kembali menemukan milikku, kali ini gerakannya sedikit cepat namun begitu terukur. Dia menindihku dan aku tahu aku di dalam api ketika kami bersentuhan, dia bergerak, memperdayaku. Astaga! Apakah dia serius dengan ini?
"Pierce... kumohon." Aku mengerang di dalam mulutnya, sulit bernapas. Aku terlalu menghayati semua rasanya hingga menutup mataku dengan kuat. Ketika sadar bibirnya meninggalkanku, mataku terbuka, menangkap tatapan Pierce yang sama berhasratnya, dan semakin berhasrat. Pupil matanya segelap lubang hitam, memakan semua warna abu-abu di irisnya.
"Lepaskan celanamu sekarang!" Aku tahu bahwa aku tidak memintanya, tapi aku memerintahkannya.
Keterkejutan bercampur geli dan napsu terlihat jelas di sorot matanya. "Baiklah, tuan putri."
Dalam sekali gerakan, Pierce berdiri lalu melepaskan celananya. Ini benar-benar saat yang kutunggu-tunggu. Ketika celana itu melorot, masih ada celana dalam hitam yang terpasang membentuk semua kekuatannya. Aku menggigit jariku ketika celana dalam hitam itu tanggal, menunjukkan betapa spektakulernya dia.
Aku tidak tahu ekspresi apa yang terbentuk di wajahku. Ternganga? Terkesima? Euforia? Gugup? Takut? Entahlah. Semuanya bercampur menjadi satu.
"Bolehkah aku melepaskan celana dalammu?" Suara Pierce penuh khidmat bercampur napsu, membuat perasaan ini semakin menggelegak. Oh, ya Tuhan. Lakukanlah. Lakukanlah sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glimmer Of The Sight
RomanceTERIMA KASIH JIKA KALIAN SUKA DENGAN CERITAKU _________________________________________________ Blurb : "Hidupku sudah berakhir. Tidak ada jalan yang bisa mengembalikannya lagi. Karirku yang hancur, pendidikanku berantakan, semua mata dunia yang men...