3. Malaikat Pelindung

3.7K 298 39
                                    

📖 Happy reading 📖

_____


Aku mendongak lagi, menatapnya tidak percaya. Apakah aku harus menceritakan masalahku padanya? Tapi dia orang yang baru kukenal, dan aku tak yakin apakah dia punya maksud yang jahat padaku?

"Dengar, aku tak punya maksud jahat padamu. Aku hanya ingin membantumu."

Duh! Dia membaca pikiranku. Apakah dia bisa membaca pikiranku? "Apakah kau bisa membaca pikiranku?" Dengan bodoh, aku menyuarakan pikiranku dengan keras.

"Tidak. Itu tidak mungkin. Aku bukan pembaca pikiran. itu hanya terlihat jelas di wajahmu." Pria itu sedikit tersenyum, namun masih tetap memasang ekspresi ngerinya. Oh Tuhan, apakah aku seburuk itu?

"Berarti kau seorang pembaca gestur tubuh? Mimik wajah?"

"Percayalah, itu juga bukan."

"Berarti hanya aku yang mudah dibaca. Itu benar-benar payah." Kataku, kembali menunduk kepalaku.

Dia sedikit mendekat, mencoba membuatku nyaman. Tapi tidak mengintimidasiku. "Tidak, kau tidak seburuk itu. Lihat, apakah kau tidak keberatan jika aku berlama-lama di sini? Aku hanya ingin memastikan bahwa teman-temanku di luar sana sudah meinggalkan tempat ini."

Aku sedikit mendongak, meliriknya dibalik bulu mataku.

"Mm, selama aku di sini, aku bisa membantumu. Kau tahu, membersihkan tempat ini, misalnya? Aku sangat handal dalam hal bersih-bersih." Dia tampak menahan sesuatu. "Maafkan aku, tapi jujur saja, kau pasti sanggup menahan aromanya, tapi tidak denganku. Aku hampir pingsan menghirup udara di sini. Ini seperti berada dalam ruang gas beracun."

Ruang gas beracun? Benarkah? Ini pasti sangat buruk. Jawabanku hanya dengan gelengan kepala. Meskipun dia menawarkannya dengan wajah yang bersemangat, tapi tidak. Dan meskipun ini seperti ruang gas beracun, juga tidak. Aku tak peduli. Itu bisa mencemari jari-jarinya yang lentik dengan segala makanan busuk di sini. Jari itu hanya boleh digunakan untuk menyentuhku. Tidak boleh yang lain. Ya, itu sepertinya ide yang bagus.

"Mm.. Baiklah. Jadi kau ingin aku keluar dari sini?"

Aku juga menggelengkan kepalaku. Dan aku menyesal melakukannya. Dasar kau, gadis bodoh! Pria tampan di hadapanmu ini sudah mengetahui aibmu. Kau malah menyuruhnya tetap tinggal. Dia bahkan tidak nyaman berada di sini dengan tumpukkan sampah di seantero rumahmu. Oh ya ampun!

"Jadi kau ingin aku tetap tinggal di sini?" Aku kembali menggelengkan kepalaku. Sekarang aku benar-benar seorang idiot. Apa yang salah denganku. Sepertinya tali itu mencekikku terlalu kuat, hingga aku hanya mampu menggelengkan kepala. Tanpa sadar, jari-jariku dilarikan ke bekas jeratan tali di leherku.

"Baiklah, aku minta maaf. Aku akan keluar dari sini." Aku berdiri memandanginya, dan tatapannya tertuju di leherku.

"Hei, ada apa dengan lehermu?" Tiba-tiba dia meraih wajahku dan memindahkan jari-jariku, lalu menyentuh leherku. Dan baru kusadari bahwa itu sangat sakit. Aku merasakan panas tangannya membakar leherku.

"Ouch." Dia serentak melepaskanku.

"Maafkan aku, aku tidak sengaja menyakitimu." Ekspresinya begitu mengerikan ketika matanya tertuju di bawah selasar, lokasi kejadian bunuh diriku yang gagal. Sepertinya tadi dia tidak memperhatikan itu. Dan sekarang iya. Aku pun mengikuti arah pandangannya, melihat kursi yang terbalik, dan tali yang... putus. Oh ya ampun! Itu pasti tali yang sudah usang. Atau aku yang terlalu berat. Tidak mungkin.

"Kau... Oh Tuhan!" Dia hanya menatapku tidak percaya bercampur kengerian, seperti tengah menonton film Saw.

"Hei, apa yang terjadi? Biarkan aku menolongmu. Aku bisa mengompresnya untuk menenangkan sakitnya. Atau dengan salep. Aku punya itu."

Glimmer Of The Sight Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang