4. Penyamaran

3K 293 82
                                    

📖 Happy reading 📖

_____

Holy moly! Ini sangat luar biasa. Aku menarik lepas tanganku dan berjalan mendahuluinya. Perasaan nyeri di leherku berangsur-angsur pergi ketika kegirangan merasukiku.

Aku tak peduli jika dia melihatku seperti seorang anak kecil yang mendapatkan gulali terlezat, atau seorang wanita yang mendapatkan sebongkah berlian dari kekasihnya. Untuk urusan itu, aku tak ingin berkomentar lebih jauh, karena tentu saja aku tak pernah berkencan.

Aku bertanya-tanya, apakah dia akan memberiku sebongkah berlian? Aku bersumpah, jika itu terjadi, aku akan menyesali perbuatanku satu atau dua jam yang lalu. Bunuh diri dan tidak pernah merasakan berkencan? Phew! Itu terdengar menyedihkan sekarang.

"Apa kau sudah punya pacar?" Aku membalikkan tubuhku, menatapnya.

"Kau mau jadi pacarku?"

Demi Tuhan! Umpan balik macam apa itu? Aku benar-benar tercengang. Sedetik kemudian aku menggeleng dengan cepat, "tidak, terima kasih." Kata-kataku sama cepatnya dengan gelengan kepalaku. Aku segera membalikkan tubuhku lagi, dan aku bersumpah melihatnya menahan tawa.

Beruntung aku punya gerakan refleks untuk menolak seseorang. Wanita perlu jual mahal, kan? Aku tidak akan bodoh menganggap serius tawarannya. Aku bahkan baru saja tertangkap basah olehnya dengan mencoba membunuh diriku sendiri setengah jam yang lalu. Dia pasti akan berpikir aku wanita ternaif yang pernah dia jumpai.

Aku kembali berjalan menjauhinya, melihat-lihat ruangan di depanku yang besar dan megah. Lalu aku mendengar suara batuk di belakangku, sepertinya dia tampak membersihkan kerongkongan dari menahan tawa tadi. Aku tak peduli. Aku ingin menyenangkan hatiku dengan melihat-melihat surga ini.

"Brie, aku akan segera kembali dengan obatmu. Kau boleh melakukan apa pun yang kau mau."

"He-eh." Aku membalikkan tubuhku sedikit, menatapnya. Dia tersenyum dan segera meninggalkanku sendirian.

Ya, pergilah. Aku membutuhkan waktu untuk diriku sendiri. Lalu aku seperti melewatkan sesuatu. Tapi apa? Oh ya ampun! Tentu saja namanya. Dia tahu namaku, dan aku tidak tahu namanya. Itu sangat sangat lucu! Apakah aku ini seorang idiot? Aku rasa tidak. Aku punya nilai akademik yang mengesankan, kan? Columbia juga tak akan menerimaku begitu saja jika nilaiku buruk.

Ini pasti karena masalah sialanku itu. Tarik napas Brie! Tenang. Tenang. Jika dia kembali, pasti akan kutanyakan namanya. Siapa dia sebenarnya. Apa pekerjaannya. Intinya seluruh latar belakangnya. Dia tidak mungkin menjadi orang asing terus-menerus.

Baik. Sekarang cobalah kembali melihat-lihat. Kau sudah berada di tempat terindahmu, surgamu. Sebelum pria itu datang lagi, aku harus bisa melihat semuanya.

Aku melangkah lebih dalam, berjalan cepat, dan melihat ruangan ini. Apakah ini ruang tamu? Mm... tidak. Ini seperti ruang bersantai. Ruang tamu tidak berbentuk seperti ini.

Dinding luarnya terbuat dari kaca, memperlihatkan bagian balkon di luar sana. Ruangan ini tiga kali lebih luas dari punyaku. Lantai kayunya berwarna coklat gelap mengkilap, hampir senada dengan warna dinding di bagian elevator, tapi di dinding yang lain berwarna putih, dan ada juga yang berwarna coklat terang. Kombinasinya cukup keren dan modis. Lukisan hitam putih ditata berkelas di dinding-dinding itu. Sangat indah.

Perabotan di ruangan ini begitu elegan, mahal, dan sangat cowok! Sofa-sofa, meja, kursi berlengan, hampir semuanya berwarna gelap dan abu-abu. Karpetnya tebal dan berwarna sama. Juga tampak mahal. Ada LED TV ukuran 80 inci diletakkan di meja dekat sofa-sofa itu. Di tengah ruangan terdapat meja biliar besar. Aku bertanya-tanya, siapa yang suka dia ajak ke tempat ini. Tidak mungkin dia hanya menikmati semua ini sendirian.

Glimmer Of The Sight Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang